Kamis, 30 Juli 2009

Yahoo bekerjasama dengan Microsoft


Teknologi - IT dan Internet
30/07/2009 - 14:01
Yahoo-Microsoft Keroyok Google


INILAH.COM, Jakarta - Yahoo dan Microsoft akhirnya mencapai kata sepakat kerjasama yang sudah dirancang sejak lama. Melalui kerjasama itu, dua perusahaan menyatukan kekuatan untuk menantang pemimpin pasar Google.

Dalam perjanjian tanpa cash itu, Yahoo akan menggunakan situs pencari Microsoft yang baru Bing. Yahoo akan berperan secara eksklusif sebagai penjual iklan global pencarian premium di situs itu.

Menurut firma ComScore, Google menguasai 65% pasar pencarian. Gabungan antara Yahoo dan Microsoft akan menjadikannya memiliki 30% market share.

Yahoo, yang tahun lalu menolak tawaran US47,5 miliar pengambilalihan dari Microsoft, menyatakan akan mendapat kenaikkan US$500 juta operating income tahunan. Selain juga mendapat US$200 juta penghematan capital expenditure melalui perjanjian dengan Microsoft itu.

Yahoo juga memperkirakan perjanjian itu akan menyediakan US$275 juta operating cash flow tahunan.

"Aku yakin perjanjian itu menjadi fondasi era baru inovasi internet,” kata chief executive Yahoo Carol Bartz.

Chief executive Microsoft Steve Ballmer mengatakan perjanjian itu akan menjadikan Bing makin kuat dalam menantang Google, selain menarik lebih banyak user dan pengiklan.

"Dengan kerjasama dengan Yahoo akan membuat pencarian lebih inovatif dan nilai tambah bagi pengiklan. Kerjasama ini akan memberikan kami kekuatan dan sumber daya untuk membuat pencarin di masa depan,” kata Ballmer.[ito]

Minggu, 26 Juli 2009

Krisis Tak Mampir di Elektronik

Barang Elektronik
Krisis Tak Mampir di Elektronik
Penjualan barang elektronik terus meningkat. Fokus pada peralatan yang cepat laku dan ramah lingkungan.

Masih pagi benar ketika Didik tiba di stan elektronik di lantai dua Carrefour Depok, Jawa Barat, Selasa pekan lalu. Pengunjung pasar modern itu belum banyak. Dia bolak-balik melihat televisi yang dipajang, dan menjatuhkan pilihan pada Toshiba Slim 21 inci. ”Tolong yang ini, Mas,” katanya kepada pramuniaga. Namun stok televisi seharga Rp 1,6 juta itu kosong. Dia beralih ke merek lain, Polytron, tapi sama saja. ”Habis juga, Mas. Belum tahu kapan akan dikirim lagi,” kata sang penjaga toko.

Apa boleh buat, Didik mungkin sedang tak beruntung di pasar modern itu. Penjualan barang elektronik memang kembali menanjak. Banyak barang yang tak lagi menyisakan stok alias ludes disikat pembeli. Alhasil, Didik sebetulnya tak sendiri. Banyak konsumen seperti dia yang mesti menunggu datangnya pasokan baru dari pabrik.

Menurut data Electronic Marketer Club, pada Juni lalu, total penjualan peralatan elektronik naik 2,7 persen menjadi 1,15 juta unit—dibanding 1,12 juta unit bulan sebelumnya. ”Dari pantauan kami, daya beli konsumen memang terus tumbuh,” kata Sekretaris Jenderal Electronic Marketer Club Agus Soejanto, di Jakarta, Rabu pekan lalu.

Agus lalu menunjukkan data penjualan semester pertama tahun ini. Nilainya mencapai Rp 9,39 triliun, naik enam persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Padahal total unit yang terjual malah turun 0,3 persen, cuma 6,38 juta. Ini karena harga jual naik sepanjang tahun ini, terlepas dari banyaknya diskon. ”Penjualan elektronik bisa dibilang stabil sejak krisis,” kata Agus.

Ini memang fenomena aneh. Sejak krisis mendunia pada triwulan ketiga tahun lalu, penjualan semua jenis barang rata-rata turun, bahkan banyak yang anjlok. Di otomotif, misalnya, penjualan tahun ini dibanding tahun lalu turun jauh. Di elektronik, tidak ada kata turun untuk item seperti penyejuk udara (AC), kulkas, atau pompa air. Hanya penjualan televisi dan audio yang naik-turun (lihat tabel).

Menurut Didi Raharja, Group Head Consumer Electronics Produk Marketing Samsung Indonesia, naik-turunnya penjualan televisi mungkin karena konsumen mulai beralih dari televisi tabung cembung ke layar datar, baik dalam format LCD maupun plasma. Tahun ini, Samsung melepas LCD baru yang lebih tipis dan hemat listrik meskipun lebih mahal. Sejauh ini, penjualannya tetap bagus. ”Terus naik sejak diluncurkan Mei lalu,” kata Didi.

Agus membenarkan. Produk baru dengan teknologi yang lebih baik, terutama yang ramah lingkungan, cepat diserap pasar, apalagi yang harganya agak miring. Misalnya AC irit listrik, mesin cuci hemat air, atau vacuum cleaner yang bisa didaur ulang. Bahkan, jika pun harganya mahal, terutama untuk merek ngetop, penyerapan pasarnya juga oke.

Meski demikian, strategi yang terasa paling menonjol, menurut Agus, banyak produsen elektronik yang berfokus pada barang cepat laku alias fast moving. ”Saat ini yang paling cepat dijual ya AC dan kulkas,” katanya. Terakhir, pada Juni lalu, penjualan refrigerator dan freezer mencapai lebih dari 243 ribu unit, naik 15,3 persen dari bulan lalu. Penjualan AC naik 8,8 persen menjadi sekitar 125 ribu unit pada Juni.

Fokus pada produk unggulan ini, menurut Lany Kurniawan, Manajer Marketing Electrolux Indonesia, juga mereka lakukan. ”Kami berfokus pada home appliance yang cocok untuk pasar Indonesia,” katanya. Mereka, misalnya, mendorong penjualan mesin cuci yang hemat air, hemat listrik, dan mencuci lebih cepat, atau kompor yang nyala apinya lebih besar. Mungkin karena target pasarnya kelas menengah ke atas, penjualan Electrolux terus naik.

Yang mungkin akan mengambil langkah berbeda adalah Panasonic. Merasa pasar kelas atas mulai jenuh, produsen elektronik asal Jepang itu telah melontarkan rencana untuk mulai memproduksi ”barang murah”, misalnya televisi LCD dengan harga di bawah sejuta rupiah.

Jika benar, inilah yang dinanti-nanti pembeli seperti Puti Noviyanda. Perempuan 25 tahun ini ditemui Tempo di Plaza Semanggi, Jakarta, Rabu pekan lalu. ”Saya ingin beli LCD yang harganya semurah-murahnya, ukurannya sebesar-besarnya,” katanya sembari terbahak. Sejauh ini, meski harganya turun terus, televisi layar datar tetap saja masih mahal. Toh, penjualannya tetap tinggi. Krisis agaknya tak pernah mampir di toko-toko elektronik.

Philipus Parera, Retno Sulistyowati, Munawwaroh

Pertumbuhan Penjualan Barang Elektronik (Semester I)


Tahun 2008 Tahun 2009
Televisi 2.579.783 2.016.066
Pemutar CD/DVD 508.114 1.124.126
Audio 316.128 224.386
Refrigerator & Freezer 1.041.391 1.095.285
Air Conditioner 535.737 556.24
Mesin Cuci 550.428 602.719
Pompa Air 877.38 770.965
Total 6.408.961 6.389.787

(- 0,3)
Nilai 8.850.094 9.393.899

(6,1)

Data Electronics Marketer Club

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/07/20/EB/mbm.20090720.EB130899.id.html

Sabtu, 25 Juli 2009

Lupakan BlackBerry, Kini Era Android

Teknologi - Komunikasi dan Gadget
26/07/2009 - 11:31
Lupakan BlackBerry, Kini Era Android
Budi Winoto


Android
(istimewa)


INILAH.COM, Jakarta - Lupakan iPhone atau BlackBerry. Google sedang dalam misi untuk mengambil alih dunia ponsel. Sistem operasi inovatif Android makin banyak digunakan ponsel baru, dan suatu saat semua ponsel bisa jadi akan menggunakannya.

Ponsel bisa dikatakan teknologi paling berhasil di generasi sekarang. Dengan produksi empat miliar handset di seluruh dunia berarti dua kali lipat pengguna internet serta dua setengah kali jumlah televisi. Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya di dunia ponsel?

Jika Google ingin masa depan Android sukses, dalam beberapa bulan ke depan akan menjadi masa krusial. Android sendiri sudah mendapat momentum dan disebut sebagai sistem operasi ponsel yang akan mengubah cara menggunakan ponsel.

Saat ini ponsel dioperasikan dengan caranya sendiri-sendiri. Sebaliknya misi Android adalah menyederhanakannya. Termasuk membuat tampilan lebih intuitif dan tersedia secara luas sebagai standar.

"Kombinasi kesederhanaan software dan trend di negara berkembang yang langsung ke fungsi menjadikan Android platform global yang menarik untuk beberapa tahun ke depan," kata Richard Warmsley, head internet dan entertainment operator T-Mobile.

Android diprakarsai perusahaan kecil di Palo Alto California yang kemudian dibeli Google pada 2005. Sejak saat itu, Android telah menjadi flagship dari kelompok 48 perusahaan yang dikenal sebagai Open Handset Alliance.

Yang menarik dari Android dan membedakan dari pesaingnya adalah dibuat berdasarkan Linux. Semua orang tahu, Linux dibidani pakar teknologi di seluruh dunia. Selain itu Linux didistribusikan secara open source yang berarti semua orang yang mempunyai kemampuan teknologi yang relevan bisa ikut mengembangkannya.

Berbagai vendor ponsel sudah mulai menunjukkan handset Androidnya. Termasuk pembuat handset Motorola sangat yakin dengan masa depan Android. Perusahaan itu dilaporkan mempekerjakan tim yang terdiri dari 77 insinyur untuk membuat sistem operasi sendiri, serta mempekerjakan insinyur yang paham sistem Google itu.

Tak hanya ponsel, Android juga telah diujicobakan untuk menjalankan netbook. Tak heran Android ini bisa mengancam smartphone popular BlackBerry serta iPhone. Ponsel Android bisa menjadi pesaing langsung iPhone karena keduanya mengusung spesifikasi tinggi serta harga yang tidak beda jauh.

Namun developer Android berbasis di Inggris Al Sutton mengatakan situasi akan berkembang menyerupai pasar komputer. "Aku lihat masa depan iPhone dan Android akan sama dengan PC Mac dan PC Windows. Apple fokus menjadi merek premium sedangkan Android akan tersedia di mana-mana," jelasnya.

Google menyatakan hingga akhir tahun ini akan tersedia 18 handset Android dari berbagai vendor. Sementara yang sudah menyambangi konsumen adalah Android G2 Touch dan Hero yang diproduksi oleh produsen Taiwan HTC.

Ponsel itu high end dengan mengusung kamera 5 megapiksel serta fungsionalitas video serta GPS. Selain itu tentu saja kelebihan integrasi penuh dengan produk Google termasuk Gmail, Google Talk dan YouTube.

Lalu apakah Android bisa menyaingi iPhone? Salah satu yang membuat salah satu unggul adalah tersedianya aplikasi, sehingga fungsi handset konsumen lebih banyak. Tapi filosofi dua ponsel itu dalam memandang aplikasi sangat berbeda.

iPhone sudah lama melakukan tindakan diktator. Apple hanya mengizinkan aplikasi yang lolos uji dan kadang lewat sensor ketat. Sebaliknya Android membebaskan sepenuhnya pada developer. Mayoritas adalah gratis, dan ada yang harus membayar. Keuntungan yang diambil diserahkan pada developer.

Karena kode software tersedia secara open-source maka bisa diubah oleh developer di seluruh dunia. Developer tinggal menyesuaikan untuk kebutuhan lokal dan akan menjadi pesaing ketat Apple App Store.

Sementara iPhone sendirian, handset Android mulai membanjiri pasar. Berbagai handset HTC G1, HTC Magic, G2 Touch/HTC Hero telah disambut antusias konsumen. Perusahaan Korea, Samsung siap merilis Galaxy pada akhir tahun ini begitu pula dengan LG. [E1]

Rabu, 15 Juli 2009

OS Gratis ala Google

Teknologi - IT dan Internet
11/07/2009 - 22:13

Chrome OS Jadikan PC Makin Murah
Budi Winoto




INILAH.COM, Jakarta – Langkah Google yang mengumumkan sistem operasi Chrome secara gratis, bisa memaksa Microsoft melakukan perang harga. Konsumen yang akan diuntungkan, karena harga PC menjadi semakin murah.

Kehadiran Chrome OS (operating system) bisa menjadi ancaman bagi Windows 7. Meskipun Windows mendominasi system operasi dan diinstall di 90% PC di dunia, kehadiran Google Chrome OS bisa menjadi tantangan berat.

"Strategi Microsoft tampaknya akan bersaing di harga. Kini ada kompetitor dengan kekuatan dan merek terkenal. Google adalah perusahaan itu," kata Brent Williams analis di Benchmark Co.

Chrome OS berbasiskan Linux dan didesain untuk PC secara umum. Namun debutnya akan dimulai pada netbook. Hal itu mudah dipahami, karena netbook adalah segmen yang masih mampu tumbuh di saat pasar PC sedang turun.

Jika Google mampu menarik orang membeli komputer dengan Chrome OS, hal itu akan memotong dua sumber keuangan Microsoft terbesar, Windows dan Office yang termasuk di dalamnya Word, Excel dan PowerPoint. Microsoft yang pernah mematikan Netscape di ranah selancar internet, kini sebaliknya mendapat ancaman berat dari Google.

Konfrontasi antara dua perusahaan itu telah diduga selama bertahun-tahun. Namun saat jubir Google mengkonfirmasikan akan mengenalkan vendor komputer di Taiwan dan China yang menjual PC yang menjalankan Chrome OS tetap saja sebagai kejutan.

Ancaman pada Microsoft itu sangat jelas. Di posting blognya Sundar Pichai, Vice-President Product Management dan Linus Upson Engineering Director menjelaskan Chrome OS meredesain ulang arsitektur yang mendasari OS.

Google meyakinkan, user tidak akan diganggu oleh virus, malware dan update keamanan yang selama ini menjadi kekurangan Windows. Chrome OS akan berbasiskan system operasi Linux dan secara khusus ditawarkan untuk netbook.

Laptop kecil dan murah itu dua tahun terakhir tumbuh meledak karena ukuran serta harganya. Data IDC menunjukkan pengapalan netbook telah mencapai 9,5% keseluruhan pengapalan komputer.

Sangat jelas jika pasar bergerak ke Chrome OS, Microsoft akan kehilangan revenue dari Windows dan revenue dari produk Office. Hal itu akan membuat pendarahan keuangan secara berlahan pada raksasa itu, dan mengantar pada kebangkrutan.

Namun begitu tidak semua yakin Google bisa sukses. Michael Gartenberg, consumer devices analyst di Interpret yang bermarkas di Los Angeles termasuk yang tidak terkesan. "Konsumen secara besar-besaran menolak netbook berbasis Linux dan memilih mesin Windows," jelasnya.

Ia menilai pengumuman Google itu hanya untuk mengalihkan perhatian dari peluncuran sistem operasi Windows 7 yang dijadwalkan pada Oktober. "Dengan menciptakan banyak ketakutan dan ketidakpastian, Google berharap bisa mengambil perhatian dan user mengabaikan Windows 7," imbuhnya.

Analis Collins Stewart, Ashok Kumar tidak yakin Chrome adalah ancaman jangka pendek pada Microsoft. Hal itu karena Microsoft bisa secara fleksible mempermainkan harganya untuk merespon adanya tantangan.

"Linux akan naik, dan makin banyak vendor yang mengambil kesempatan, sementara Google menyediakan platform berbeda. Tapi itu hanya tahap pertama dari sebuah marathon," ungkapnya.

Sementara analis Gartner, Michael Silver menyatakan langkah Google bisa sebagai risiko bagi Microsoft. Namun dia ragu raksasa software itu akan memotong harga Windows dengan segera.

"Jika mereka melihat adanya ancaman, mereka akan merespon. Tapi netbook telah lama dijual dengan Windows XP dan lebih sukses dibandingkan Linux meskipun harganya lebih mahal,” paparnya.

Namun Google terus maju dengan mengumumkan netbook yang menjalankan sistem operasi Chrome sudah siap pada akhir tahun ini. Google juga telah bekerja sama dengan beberapa perusahaan untuk mengembangkan Chrome OS, termasuk dengan Hewlett-Packard dan Acer. [E1]

Senin, 13 Juli 2009

Hitungan Hitungan Berhutang

Analisis Danareksa
Utang RI Sudah Membahayakan?

Senin, 13 Juli 2009 | 06:07 WIB
Oleh Purbaya Yudhi Sadewa


KOMPAS.com — Masalah utang pemerintah kembali mengemuka akhir-akhir ini. Isu ini bahkan menjadi topik yang cukup hangat dalam perdebatan calon presiden yang lalu. Apakah kita perlu terus berutang, dan apakah utang kita saat ini sudah pada level yang membahayakan kesinambungan fiskal kita?

Menurut Departemen Keuangan, total utang Pemerintah Indonesia (domestik dan asing) pada tahun 2009 diperkirakan mencapai Rp 1.700 triliun. Tahun 2004, total utang kita baru Rp 1.299 triliun. Jadi, dalam lima tahun terakhir, total utang Pemerintah Indonesia naik sekitar Rp 401 triliun.

Angka pertumbuhan utang yang ”besar” ini menjadi sasaran empuk pada masa kampanye lalu. Sering disebutkan bahwa keadaan utang kita sudah membahayakan. Anggapan ini membuat sebagian kalangan menjadi kreatif menawarkan alternatif pemecahan masalah utang tersebut. Salah satu alternatif yang ekstrem adalah penjadwalan kembali utang kita.

Alasan berutang

Berutang bukanlah hal yang tabu bagi suatu negara. Hampir semua negara saat ini mempunyai utang. Utang kadang kala diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara ketika ekonomi melambat, saat negara itu mengalami resesi, atau untuk menutup kekurangan pembiayaan anggaran ketika sumber pendapatan dari dalam negeri bermasalah akibat keadaan ekonomi yang buruk.

Selain itu, banyak negara di dunia menerbitkan utang untuk membangun proyek infrastruktur besar, yang justru membuat swasta sulit diharapkan terlibat. Sering kali, keuntungan secara komersial dari investasi semacam ini kecil. Namun, dampak realisasi investasi ini, baik terhadap kesejahteraan masyarakat, keuntungan pelaku bisnis secara tidak langsung, maupun keadaan perekonomian secara keseluruhan, cukup besar.

Beberapa negara bahkan menerbitkan surat utang untuk membiayai kegiatan perangnya. Pemerintah AS, misalnya, menerbitkan surat utang dalam jumlah cukup besar untuk membiayai pasukannya dalam Perang Dunia II. Utang Pemerintah AS naik dari 59 miliar dollar AS tahun 1940 menjadi sekitar 260 miliar dollar AS setelah perang. Pemerintah Australia pun menerbitkan utang untuk membiayai keterlibatannya pada Perang Dunia I dan II.

Untuk Indonesia, kenaikan utang yang signifikan terjadi setelah krisis 1997-1998. Kenaikan ini guna membiayai BLBI, baik untuk menyelamatkan perbankan, maupun untuk merekapitalisasi dunia perbankan kita. Pada saat yang bersamaan, pelemahan rupiah juga membuat utang luar negeri kita dalam rupiah menjadi berlipat-lipat dalam waktu singkat. Akibat krisis tadi, utang pemerintah naik dari Rp 129 triliun tahun 1996 menjadi Rp 1.234 triliun tahun 2000. Naik hampir 10 kali lipat.

Level utang kita sempat relatif stabil pada periode 2000-2006. Namun, mulai tahun 2007, level utang mulai beranjak naik lagi. Kenaikan ini berkaitan dengan ekspansi kebijakan fiskal, baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maupun untuk membiayai subsidi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri tahun 2008.

Kemudian, untuk tahun 2009, kenaikan lebih disebabkan stimulus fiskal yang diberikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Walaupun mahal, langkah ini memang diperlukan untuk mencegah perekonomian kita tidak terpuruk terlalu dalam seperti negara-negara tetangga kita.

Masih berkesinambungan

Dengan utang yang tinggi ini, timbul pertanyaan mengenai kesinambungan kebijakan fiskal kita. Bila investor (baik domestik maupun asing) menganggap utang sudah membahayakan keadaan fiskal kita, tentunya mereka akan segera melepas surat-surat utang dan segera hengkang dari pasar utang pemerintah kita. Sebagian akan melarikan uangnya ke luar negeri dan rupiah pun akan terpuruk. Dampak yang lebih buruk lagi adalah, baik pemerintah, maupun swasta, menjadi kesulitan melakukan pinjaman, baik dalam negeri, maupun luar negeri. Akibatnya, pembiayaan APBN menjadi sulit dan pembangunan perekonomian pun akan terganggu.

Indikator apakah yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menentukan aman tidaknya berinvestasi di surat utang suatu negara?

Pada dasarnya, hal yang paling utama dilihat investor adalah kemampuan dan kemauan negara untuk membayar utang.

Baik kemampuan maupun kemauan sering kali dilihat dari beberapa variabel makroekonomi. Salah satu ukuran ekonomi yang sering digunakan adalah rasio utang terhadap PDB. Semakin kecil rasio ini, semakin mampu suatu negara membayar utangnya dan semakin aman berinvestasi di negara tersebut.

Secara teoretis, tidak ada batasan yang pasti untuk mengatakan rasio utang suatu negara sudah mencapai level yang membahayakan atau tidak. Akan tetapi, negara-negara Eropa bersepakat bahwa rasio utang maksimal yang dapat diterima adalah 60 persen dari PDB.

Dilihat dari ukuran ini, keadaan utang Indonesia untuk saat ini cukup baik. Rasio utang terhadap PDB untuk Indonesia cenderung menurun. Tahun 2004, rasio ini masih pada level 56,6 persen. Tahun 2005 turun ke level 47,3 persen. Adapun tahun 2009, rasio utang kita terhadap PDB diperkirakan turun menjadi sekitar 31 persen.

Dibandingkan dengan negara tetangga pun, keadaan utang kita lebih baik. Rasio utang terhadap PDB Malaysia, misalnya, diperkirakan 41,6 persen. Untuk Thailand rasio ini diperkirakan 39,9 persen untuk tahun 2009.

Jadi, dari ukuran rasio ini, utang Indonesia masih dalam keadaan yang amat aman.

Ukuran lain yang sering digunakan menilai kesinambungan fiskal suatu negara (sekaligus kemampuan membayar utang) adalah rasio defisit terhadap PDB. Sekali lagi, secara teoretis tidak ada patokan jangka pendek yang pasti untuk menentukan fiskal (anggaran) yang aman suatu negara. Namun, negara-negara di Eropa membatasi rasio defisit anggaran maksimum 3 persen terhadap PDB.

Keadaan fiskal Indonesia dilihat dari ukuran ini pun cukup baik. Rasio utang terhadap PDB Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini berada di bawah 3 persen. Tahun 2009, dengan stimulus fiskal yang besar, rasio defisit terhadap PDB Indonesia masih sekitar 2,5 persen.

Indikator lain yang sering diperhatikan untuk mengukur kemampuan membayar utang adalah keseimbangan primer. Ini adalah surplus atau defisit yang terjadi pada anggaran sebelum pembayaran bunga utang. Rasio yang positif menunjukkan adanya kemampuan membayar utang. Dalam ukuran ini pun keadaan anggaran kita masih cukup baik, seperti yang terlihat dari kesetimbangan primer yang selalu positif dalam beberapa tahun terakhir ini (tabel 2).

Sebaliknya, keadaan utang negara-negara maju saat ini banyak yang melewati batas prinsip kehati-hatian. Rasio utang terhadap PDB Jepang, misalnya, diprediksi 217,2 persen pada tahun 2009. Adapun AS mencapai 87,0 persen.

Lalu, mengapa negara-negara tersebut masih dipercaya oleh investor surat utang?

Seperti disebutkan di atas, investor melihat rasio-rasio utang untuk menentukan apakah suatu negara mampu atau mau membayar utangnya. Kredibilitas negara-negara maju dianggap berbeda dengan negara kita. Walaupun keadaan utangnya lebih buruk dari kita, mereka dianggap pasti mau membayar utangnya. Keadaan yang membuat mereka mendapat perlakuan yang lebih istimewa dari investor surat utang. Sayangnya, keistimewaan seperti ini belum dapat dirasakan oleh Pemerintah Indonesia untuk saat ini.

Diskusi di atas menunjukkan bahwa berutang bukanlah hal tabu. Banyak negara melakukan hal tersebut untuk menunjang pertumbuhan ekonominya. Dilihat dari rasio-rasio yang digunakan oleh ekonom dunia, saat ini utang Indonesia pada level yang cukup aman. Namun, bila kita menunjukkan indikasi tidak membayar utang, rasio-rasio tersebut menjadi tidak berguna. Jadi, perlu pendekatan ekstra hati-hati soal isu utang.

Purbaya Yudhi Sadewa Chief Economist Danareksa Research Institute

Minggu, 12 Juli 2009

GM dan Daftar Kebangkrutan Bisnis AS

Senin, 01/06/2009 20:33 WIB

General Motors dan Catatan Kebangkrutan Terbesar AS
Nurul Qomariyah - detikFinance


Detroit - General Motors (GM) akhirnya mendaftarkan kebangkrutan setelah angka penjualannya terus turun ditambah beban utang yang menggelembung.

GM mendaftarkan perlindungan kebangkrutan chapter 11 di pengadilan niaga di Selatan distrik New York. Kebangkrutan GM akan menjadi salah satu kasus kebangkrutan terbesar dalam sejarah korporasi AS.

Berikut data-data kebangkrutan terbesar yang pernah dicatat korporasi AS, seperti dikutip detikFinance dari Reuters, Senin (1/6/2009).


Lehman Brothers Holdings Inc (2008): Aset US$ 691.063.000.000
WorldCom Inc (2002): Aset US$ 103.914.000.000
General Motors Corp (2009): Aset US$ 91.047.000.000
Enron Corp (2001): Aset US$ 65.503.000.000
Conseco Inc (2002): Aset US$ 61.392.000.000
Chrysler LLC (2009): Aset US$ 39.300.000.000
Thornburg Mortgage Inc (2009): Aset US$ 36.521.000.000
Pacific Gas and Electric Co (2001): Aset US$ 36.152.000.000
Texaco Inc (1987): Aset US$ 34.940.000.000
Financial Corp of America (1988): Aset US$ 33.864.000.000
Refco Inc (2005): Aset US$ 33.333.172.000
Washington Mutual Inc (2008): Aset US$ 32.900.000.000
Global Crossing Ltd (2002): Aset US$ 30.185.000.000
General Growth Properties Inc (2009): Aset US$ 29.557.000.000
Lyondell Chemical Co (2009): Aset US$ 27.392.000.000
UAL Corp (2002): Aset US$ 25.197.000.000
Delta Air Lines Inc (2005): Aset US$ 21.801.000.000
Adelphia Communications Corp (2002): Aset US$ 21.499.000.000
MCorp (1989): Aset US$ 20.228.000.000
Mirant Corp (2003): Aset US$ 19.415.000.000
Delphi Corp (2005): Aset US$ 16.593.000.000.


(qom/qom)

GM Baru


Sabtu, 11/07/2009 10:09 WIB

GM Terlahir Kembali
Wahyu Daniel - detikFinance


Foto: Reuters

Jakarta - Setelah dinyatakan bangkrut, General Motors Company (GM) baru dibentuk kembali dan mulai beroperasi. GM baru ini terlahir setelah GM sebelumnya meminta perlindungan kebangkrutan via chapter 11

"Hari ini merupakan sebuah awal baru bagi General Motors, termasuk bagi para pegawai dan saya untuk kembali kepada bisnis untuk mendesain, membangun, dan menjual mobil-mobil hebat, truk, dan melayani setiap kebutuhan para pelanggan," ujar CEO GM Fritz Henderson dalam siaran pers yang diterima detikFinance , Sabtu (11/7/2009).

Fritz mengatakan, dirinya bersama pegawai lain akan bekerja keras untuk membayar kepercayaan pemerintah dengan membangun GM baru yang berjalan sukses.

Adapun empat merek utama yang dimiliki GM adalah Chevrolet, Cadillac, Buick and GMC cars. Perusahaan juga akan terus berusaha mempunyai neraca keuangan yang bersih dan lebih mengefisienkan biaya-biaya yang ada.

"Satu hal yang kita pelajari dan 100 hari terakhir ini adalah bahwa GM dapat bergerak cepat. Hari ini kita harus bergerak cepat dan merubah keadaan dari proses kebangkrutan yang lalu menjadi sebuah GM yang baru," kata Fritz.

Bentuk GM baru ini memang lebih kecil dan efisien, karena itu pada akhir 2009 GM akan mengurangi jumlah dealer dari 6.000 dealer di AS menjadi 3.600 dealer saja. Namun meski begitu GM tetap menjadi perusahaan yang mempunyai jaringan dealer terbesar di AS.

GM baru ini sebagaian besar sahamnya dimiliki oleh pemerintah AS. Daftar kepemilikan GM baru ini adalah:


Departemen Keuangan AS: 60.8%
UAW (United Auto Workers ) Retiree Medical Benefits Trust : 17.5%
Penmerintah Kanada dan Ontario: 11.7%
GM Lama: 10%


GM baru ini akan beroperasi dengan neraca yang lebih kuat dengan bantuan utang pemerintah AS sekitar US$ 11 miliar, di luar itu ada juga saham sebesar US$ 9 miliar.

(dnl/dnl)

Perkiraan Inflasi 2009


Sabtu, 11/07/2009 13:01 WIB

Potensi Inflasi 4% di 2009 Besar
Wahyu Daniel - detikFinance



Jakarta - Laju inflasi tahun 2009 yang diperkirakan pemerintah sebesar 4% cukup besar bisa dicapai, terutama karena harga barang-barang komoditi yang menurun menjadi salah satu pemicu terbesar rendahnya laju inflasi tahun ini.

Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Perencanaan Makro Bappenas Bambang Prijambodo kepada detikFinance , Sabtu (11/7/2009).

"Jika kita lihat saja laju inflasi dalam satu semester dari Januari sampai Juni 2009 adalah sebesar 0,21%, maka dengan sisa hanya 6 bulan lagi potensi laju inflasi 4% cukup besar terjadi," ujarnya.

Kemudian jika melihat data inflasi di bulan Juni sebesar 3,7% (yoy ) jika dibandingkan Juni 2008, maka rendahnya inflasi 2009 memang sudah terlihat.

"Pada bulan-bulan yang biasa memberi tekanan pada inflasi seperti pada bulan puasa dan lebaran, juga natal dan tahun baru, harga kebutuhan pokok harus bisa kita kendalikan, jadi inflasi di bawah 4,5% bahkan 4% di 2009 bisa terjadi," katanya.

Jika inflasi 4% terealisir di 2009, Bambang memperkirakan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) sampai akhir 2009 bisa menyentuh level 6% dari level saat ini sebesar 6,75%. "Sebab kita lihat rupiah juga sudah mulai stabil terjaga di level Rp 10.000-10.500/US$," ujarnya.

Selain itu untuk proyeksi pertumbuhan ekonomi, Bambang menyatakan pertumbuhan ekonomi di 2009 memang di targetkan sebesar 4-4,5% dengan nilai tengah 4,3% yang menjadi acuan pemerintah saat ini.

"Kalau kita lihat progres ekonomi sampai Juni 2009, maka pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3% sangat bisa dicapai. Di Asia perekonomian tidak tumbuh karena konteks ekonomi dunia tidak tumbuh. Jadi jika Indonesia bisa mencapai 4,3% itu memperlihatkan ketahanan ekonomi Indonesia yang cukup baik," paparnya.

(dnl/dnl)

Divestasi Newmon 10 Persen untuk Pemda

Minggu, 12/07/2009 08:25 WIB

Anak Usaha BUMI Jadi Partner Pemda NTB untuk Divestasi Newmont

Nurseffi Dwi Wahyuni - detikFinance


Tambang Batu Hijau NNT (dok detikcom)

Jakarta - Multicapital, anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI) telah terpilih menjadi partner perusahaan daerah milik Pemda NTB dalam proses divestasi 10 persen saham Newmont (NNT) yang menjadi jatah Pemda.

"Dari enam perusahaan yang mengikuti beauty contest kami memilih Multicapital," ujar Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Nusa Tenggara Barat Heriadi Rahmat saat berbincang dengan detikFinance, Minggu (12/7/2009).

Menurut Heriadi, Multicapital dipilih karena perusahaan lokal dan sudah berpengalaman di bidang pertambangan.

"Kami nilai berdasarkan parameter-parameter. Dia terpilih karena ini perusahan lokal dan sudah memiliki pengalaman di tambang. Kami lihat juga kekuatan modal dan track record-nya dan tentu saja penawaran yang diajukan," papar Heriadi.

Setelah memilih partner, Heriadi menjelaskan dalam jangka waktu 15 hari ke depan, PT Daerah Maju Bersaing (perusahaan daerah milik pemda NTB) dan Multicapiltal akan membentuk suatu perusahaan baru.

"Dalam waktu 15 hari dari penandatanganan yang dilakukan kemarin, kami akan membentuk perusahaan gabungan dengan Multicapital," ungkapnya.

Dalam perusahaan yang baru tersebut, imbuh Heriadi, Pemda hanya akan memiliki saham 25 persen dan sisanya dimiliki anak usaha BUMI tersebut.

"Meskipun mereka mayoritas di perusahaan gabungan itu, namun 10 persen saham itu tetap milik Pemda," tandas Heriadi.

Mengenai harga 10 persen saham Newmont yang akan menjadi milik Pemda, Heriadi menjelaskan pihaknya akan terus bernegosiasi dengan Newmont. Saat ini harga divestasi saham Newmont tahun 2006 dan 2007 yang dulu pernah disepakati akan menjadi harga patokan yang digunakan Pemda.

"Kami akan terus negosiasi agar harganya bisa turun. Saat ini kami masih menggunakan harga yang dulu sebagai harga patokan," aku Heriadi.

Seperti diketahui, hasil putusan abitrase menyebutkan 3 persen saham Newmont pada tahun 2006 dan tujuh persen saham Newmont pada tahun 2007 menjadi milik Pemerintah daerah. Selain itu, telah disepakati pula divestasi 3% saham 2006 senilai US$ 109 juta, 7% saham 2007 senilai US$ 282 juta.

Adapun pembagian 10 persen saham kepemilikan saham tersebut terdiri dari empat persennya dimiliki Provinsi NTB, empat persen dimiliki Kabupaten Sumbawa Barat dan dua persen lagi menjadi milik Kabupaten Sumbawa. Pemda NTB juga telah membentuk PT Daerah Maju Bersaing yang akan mengelola 10 persen saham divestasi Newmont.

(epi/qom)

Sabtu, 11 Juli 2009

Biaya ekplorasi Antam Juni 2009

Minggu, 12/07/2009 11:30 WIB
Antam Kucurkan Rp 4,8 Miliar untuk Eksplorasi Juni 2009
Alih Istik Wahyuni - detikFinance



Jakarta - PT Aneka Tambang Tbk (Antam) membelanjakan Rp 4,8 miliar sebagai biaya eksplorasi selama Juni 2009. Dana sebesar itu digunakan untuk mengeksplorasi 4 jenis komoditas yang menjadi fokus Antam.

"Kegiatan eksplorasi Antam berfokus pada nikel, emas, bauksit dan batubara," demikian disampaikan Sekretaris Perusahaan Antam Bimo Budi Satriyo dalam keterbukaan yang dikutip detikFinance, Minggu (12/7/2009).

Nikel
Untuk eksplorasi nikel dilakukan di daerah Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara. Total biaya eksplorasinya mencapai Rp 1 miliar.

Emas
Kegiatan eksplorasi emas dilaksanakan di Aceh Tengah-NAD, Tapanuli Utara-Sumatera Utara, Batangasai-Jambi, Pongkor dan Papandayan–Jawa Barat, Ajibarang dan Tirtomoyo-Jawa Tengah, Wowoni dan Ranteangin-Sulawesi Tenggara dan Mao Batuisi-Sulawesi Barat. Total biaya eksplorasi emas mencapai Rp 3,3 miliar.

Bauksit
Eksplorasi bauksit dilaksanakan di daerah Kalimantan Barat yakni Mempawah, Tayan dan Munggu Pasir. Total biaya eksplorasi bauksit mencapai Rp 278,7 juta.

Batubara
Antam melakukan aktivitas pemeliharaan di Muara Tebo-Jambi dengan total biaya mencapai Rp 209,5 juta.

(lih/lih)

Oracle Akuisisi Sun


Selasa, 21/04/2009 08:24 WIB

Tolak IBM, Sun Terima Pinangan Oracle
Wicak Hidayat - detikinet


Jakarta - Sun Microsystems menolak pinangan IBM senilai USD 7 miliar. Tak lama, perusahaan di balik teknologi Java itu menerima pinangan Oracle dengan nilai USD 7.4 miliar.

Seperti dikutip detikINET dari keterangan resmi di situs Sun Microsystems, Selasa (21/4/2009), dua raksasa teknologi Oracle dan Sun telah resmi akan menjadi satu. Oracle akan mengambilalih saham Sun dengan nilai USD 9.50 per lembar dalam bentuk uang tunai.

Total transaksi pembelian Sun oleh Oracle adalah USD 7,4 miliar, lebih besar 0,4 miliar dari harga yang ditawarkan IBM beberapa waktu lalu. Nilai bersih transaksi Oracle adalah USD 5,6 miliar.

Dengan pembelian ini, Oracle melengkapi portofolionya dengan teknologi Java dan Solaris. Oracle Fusion Midleware yang dibangun di atas teknologi Java jelas akan mendapatkan 'suntikan' lewat akuisisi ini. Sedangkan Solaris adalah platform populer untuk database Oracle.

( wsh / wsh )

Prospek Ekonomi Indonesia Tumbuh 7 Persen


Sabtu, 11/07/2009 13:21 WIB
Ekonomi RI bisa naik dua kali lipat dalam 6 tahun

oleh : M. Yunan Hilmi

JAKARTA (Bloomberg): CLSA Asia-Pacific Markets menilai perekonomian Indonesia meningkat dua kali lipat dalam 6 tahun seiring dengan lonjakan permintaan atas batu bara dan CPO dari India dan China.

Head of Indonesia Research CLSA Asia-Pacific Markets China Nicholas Cashmore mengatakan China, India, dan Indonesia mampu men-generate kekayaan senilai US$10 triliun bagi investor pada 2015. Demikian penjelasannya dalam laporan bertema 'Chindonesia: Enter the Komodo'. Dia menyebut tiga negara di Asia itu sebagai 'next growth triangle'.

Dengan memenuhi tingginya permintaan dua negara berpenduduk terpadat di dunia itu diperkirakan mampu membantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencapai target pertumbuhan menjadi 7%. Penasihat kepresidenan Emil Salim mengatakan Indonesia berkeinginan masuk dalam negara yang disebut BRIC yakni Brasil, Rusia, India, dan China.

"Bersama, China dan India tengah membumbung menjadi pasar terbesar bagi semua barang yang dijual di planet ini," kata Cashmore dalam laporan yang dirilis kemarin.

Indonesia memainkan peranan simbiosis antara China dan India dan peran ini akan makin bersinar dalam beberapa tahun ke depan, sehingga mampu mendorong pertumbuhan, investasi, dan konsumsi.

Kantor statistik negara melaporkan produksi industri India naik pada laju tercepat selama 8 bulan pada Mei. World Bank memprediksi negara di kawasan Asia selatan yang merupakan pembeli terbesar CPO Indonesia, bisa menyalip China sebagai negara dengan pertumbuhan tercepat pada tahun depan.

Bank Dunia juga memperkirakan ekspansi ekonomi China bisa mencapai 7,2% pada 2009. Di sisi lain, ekspor Indonesia ke China tumbuh 16% tahun lalu, lebih besar dari AS 10,7% yang merupakan pembeli terbesar kedua atas produk-produk Indonesia.(yn)

bisnis.com

URL : http://web.bisnis.com/keuangan/ekonomi-makro/1id127353.htm

Jumat, 10 Juli 2009

SWA 100 2009


Musim Penghancuran Kekayaan Pemegang Saham
SWA100 2009:
Kamis, 25 Juni 2009
Oleh : Kusnan M. Djawahir

Krisis finansial global yang merontokkan pasar saham membuat saham-saham yang diperdagangkan di bursa saham Indonesia sulit menghasilkan return yang memadai. Ketika dihitung wealth added index-nya, banyak yang negatif. Inilah potret peringkat SWA100 2009.

Melihat hasil pemeringkatan SWA100 2009 memang bisa membuat miris. Betapa tidak, dari 100 perusahaan terpilih, hanya 13 yang mampu mencetak angka WAI™ (wealth added index) positif (lihat Tabel). Bandingkan dengan SWA100 2008, yang negatif cuma 15 perusahaan. Itu berarti, sebagian besar dari mereka justru telah menghancurkan nilai/kekayaan pemegang saham.

Sebenarnya, kondisi seperti itu telah diduga. Krisis finansial global yang berlangsung sejak pertengahan tahun lalu berimbas pada melemahnya sebagian besar bursa saham di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Maklum, banyak dana asing yang ditarik untuk menutup krisis likuiditas di Amerika Serikat -- sebagai negara yang menjadi sumber terjadinya krisis finansial global. Maka, saham-saham yang diperdagangkan di bursa pun rontok. Ini yang mengakibatkan total return untuk pemegang saham atau total shareholder return (TSR) menurun.

“TSR akan ikut jatuh jika pasar modal jatuh,” Erik Stern, Presiden Internasional Stern Stewart & Co. Management Consultants, menegaskan. Menurutya, kejadian semacam ini jarang terjadi. Namun, kejatuhan pasar modal itu menimpa hampir semua negara. Tak mengherankan, banyak perusahaan di negara lain yang juga memiliki WAI negatif.

Sedikit penjelasan, WAI mencerminkan kelebihan kekayaan yang dihasilkan di atas return minimal yang diharapkan oleh investor. Return minimal itu direfleksikan dalam bentuk cost of equity (CoE). Jadi, untuk mendapatkan WAI positif, TSR -- merupakan penjumlahan dari capital gain saham dan dividen yang dibagikan sebuah perusahaan -- lebih tinggi dari CoE-nya. Sebaliknya, jika TSR lebih kecil dari CoE, menghasilkan WAI negatif. Sebagai faktor pengalinya untuk mendapatkan angka WAI adalah nilai kapitalisasi pasar perusahaan yang bersangkutan.

Untuk menentukan perusahaan yang masuk dalam SWA100 2009, Stern Stewart memilih 100 perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di awal 2004. Kemudian, WAI perusahaan-perusahaan yang terpilih itu dihitung secara harian untuk periode 2004-08 (lima tahun). Lalu, hasil akhirnya menentukan peringkat 100 perusahaan tersebut. Dan, hasil dari pemeringkatan bisa menjadi acuan bagi para investor atau pemagang saham, sejauh mana para pengelola perusahaan telah meningkatkan kekayaan mereka, atau justru menghancurkannya.

Selain itu, Majalah SWA dan Stern Stewart juga memperkenalkan pendekatan baru dalam menilai perusahaan, yakni pengukuran kinerja dengan metode RWA™ (Relative Wealth Added). Metode ini membandingkan secara relatif nilai tambah kekayaan perusahaan terhadap pemegang sahamnya dengan nilai rata-rata perusahaan sejenis (peer group)-nya. Perusahaan yang WAI-nya negatif, bisa saja RWA-nya positif karena jika dibandingkan dengan peers-nya mereka lebih unggul. Jadi, RWA ini bisa dijadikan acuan bagi investor untuk menilai kinerja perusahaan dalam sektor sejenis. Martin Schwarz, Vice President Asia Tenggara Stern Stewart & Co., mengungkapkan, RWA cocok untuk menilai kinerja perusahaan selama 3-5 tahun, sementara WAI™ lima tahun ke atas. Ada satu lagi metode penilaian kinerja yang diperkenalkan lembaga konsultan ini, yakni EVA® (Economic Value Added), yang lebih pas untuk menilai kinerja perusahaan di bawah tiga tahun.

Kembali ke peringkat SWA100 2009, BCA ternyata tampil sebagai yang terbaik dengan mencetak WAI Rp 14,63 triliun. Tak hanya itu, salah satu bank besar Indonesia juga menjadi yang terbaik di sektornya karena mampu mencetak RWA tertinggi: Rp 5,7 triliun. Menurut Erik, kondisi perbankan di Indonesia tak seterpuruk di negara-negara lain. Itulah sebabnya, dari 13 perusahaan dalam peringkat SWA100, tiga perusahaan di antaranya berasal dari sektor perbankan: yakni BCA, Bank Internasinal Indonesia dan Bank Mega.

Jika dilihat lebih detail, saham BCA memang terus menunjukkan tren peningkatan hingga kuartal I/2008. Bahkan, kenaikannya cukup tajam. Di awal 2004, harga sahamnya masih sekitar Rp 900, selama kuartal I/2008 rata-rata berada di posisi Rp 3.600-an. Setelah itu, memang terjadi penurunan, tapi tidak tajam, bahkan di November tahun lalu sudah kembali rebound. Ditambah dengan dividen yang dibagikan kepada pemegang saham yang, menurut Jahja Setiatmadja, Deputi Presdir BCA, rata-rata 48%-59% dari laba bersihnya -- kecuali tahun 2008 yang hanya 42%, maka TSR yang dihasilkan BCA masih lebih tinggi dibandingkan dengan CoE-nya. Karena hasil dari TSR dikurangi CoE adalah positif, dan kemudian dikalikan dengan nilai kapitalisasi pasarnya di awal 2004, maka hasilnya adalah BCA mampu mencetak WAI positif Rp 14,88 triliun.

Berdasarkan penghitungan Joshepine Nicole dan Vina Vionita, analis riset dari PT Stern Stewart Indonesia, BCA memang menunjukkan kinerja yang terus membaik. NOPAT bank ini sejak 2004 selalu tumbuh. Tahun 2004, naik signifikan sebesar 38% menjadi sekitar US$ 380 juta, tahun 2005 naik 3%, 2006 sebesar 27% dan tahun 2007 naik 6%. Sementara, di tahun 2008 naik 14% menjadi kurang lebih US$ 580 juta. Di sisi lain, manajemen bank mampu menekan biaya operasionalnya. Bahkan, di tahun 2008, biaya modalnya (capital charges) menyusut sebagai akibat dari penurunan modalnya (minus 6%). Ini yang membuat EVA bank ini makin ciamik.

Terkait dengan rendahnya capital charges (biaya modal), Jahja menerangkan, peningkatan aset perbankan pada dasarnya berasal dari funding (dana pihak ketiga), baik berupa tabungan, giro dan deposito. Dan, di BCA porsi tabungan dan giro lebih banyak ketimbang deposito, yakni berkisar 75%-80%. Sebagaimana diketahui, bunga giro tergolong kecil, bunga tabungan sedikit lebih tinggi, dan yang paling tinggi deposito. “Bagi BCA, dengan cost of fund-nya lebih dominan pada giro dan tabungan, berarti biaya modal kami relatif lebih kecil,” kata Jahja.

Dengan cost of fund yang lebih rendah, BCA tetap bisa menjual kreditnya dengan bunga sesuai dengan yang berlaku di pasar. Begitu juga jika dana tersebut dibelikan surat berharga, akan mendapatkan bunga sama dengan yang diperoleh bank-bank lain. Maka, peluang BCA untuk unggul dari segi profiltabilitas menjadi lebih besar dibandingkan dengan bank lain. Keuntungan lainnya, dengan memiliki dana berbiaya rendah, BCA bisa menyalurkan kredit dengan bunga yang lebih rendah pula, tapi kualitas kreditnya lebih bagus, sehingga nonperforming loan atau NPL-nya menjadi lebih kecil. Saat ini, NPL gross BCA hanya 1,6%, dapat lebih rendah lagi jika dipotong dengan jaminan.

Selain itu, BCA sebagai transaction bank juga memperoleh pendapatan dari fee-based income, yakni pendapatan dari biaya atas transaksi yang dilakukan nasabah dan biaya bulanan dari tabungan. “Ini merupakan tambahan pendapatan yang tidak dimiliki oleh bank yang tidak mempunyai nasabah banyak,” tutur Jahja.

Tak puas hanya sampai di situ, BCA juga terus berupaya meningkatkan efisiensi dari sisi operasional. Beberapa tahun terakhir, bank ini menggunakan tenaga outsourcing untuk bagian-bagian yang tidak menjadi bisnis intinya, seperti petugas keamanan, sopir dan petugas ATM. Adapun untuk tenaga kerja di bagian bisnis inti, beberapa tahun terakhir menganut sistem zero growth. Maksudnya, perekrutan karyawan baru hanya untuk menggantikan karyawan yang keluar.

Karena itu, wajarlah saham BCA terus menjadi buruan investor. “Kami menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. BCA tidak pernah mengintervensi harga sahamnya di pasar. Yang kami lakukan hanyalah memberikan paparan kepada investor terkait kinerja dan strategi investor. Keputusan untuk berinvestasi sepenuhnya berada di tangan investor,” Jahja menerangkan. Penjelasan itu dilakukan melalui non deal road show.

Erik menyarankan, bank-bank yang perfomanya bagus di masa krisis dapat mengambil kesempatan dari situasi ini. Seperti BCA, “Harus mampu mengambil kesempatan di masa krisis, menemukan lini-lini bisnis yang potensial, dan bekerja sama dengan partner dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun, yang terpenting bagi mereka, not to make a stupid decision,” kata Erik. Untuk itu, menurut Erik, Pemerintah juga perlu memberikan stimulus ekonomi agar bank-bank lebih jeli dalam menyalurkan kredit, dan tidak memberikan kredit kepada pihak-pihak yang tidak pantas mendapatkannya.

Di bawah BCA, bertengger PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Perusahaan pelat merah ini mampu menciptakan WAI Rp 5,5 triliun. Tak hanya itu, perusahaan ini juga mampu membukukan RWA Rp 27,356 triliun. Mengomentari pencapaian perusahaan yang dipimpinnya itu, Hendi P. Santoso mengungkapkan, PGN selalu mengupayakan optimasi potensi yang dimiliki. PGN, sebagai perusahaan bisnis transimisi, sedang mengoptimasi sumber gas di hulu terhadap beberapa pasar di beberapa wilayah Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, PGN membawa sumur yang notabene berada di kepulauan yang berbeda pada konsentrasi kegiatan ekonomi yang membutuhkan gas.

“Kami sudah mengembangkan strategi bagaimana supaya tidak terimbas risiko-risiko yang dapat mengenai perusahaan. Misalnya, dengan menjual komoditas dalam mata uang US$. Pasalnya, bahan baku yang dibeli dan seluruh utang dalam mata uang dolar AS. “Dengan demikian, kami tidak terkena imbas fluktuasi rupiah,” Presdir PGN tersebut menambahkan. Selain itu, dalam dua tahun terakhir, PGN sudah merevitalisasi kegiatan operasional dengan melakukan rotasi dari seluruh kegiatan manajemen perusahaan, dari GM sampai kepala divisi.

Namun, menurut Yanuar Rizky, Mitra Pengelola Aspirasi Indonesia Research Institute (AIR Inti), PGN seharusnya sudah mulai memikirkan perubahan peta bisnis mereka. Perubahan itu terutama pada pengelolaan PGN dari yang semula hanya menjual gas menjadi membuat gas lebih bisa diolah sebagai sebuah produk energi. PGN akan lebih produktif dan makin berkembang jika mampu menghasilkan inovasi terkait dengan produknya. Akan ada nilai EVA-nya jika PGN mau membuat bisnisnya lebih industrialisasi.

Yang juga menarik dicermati dalam peringkat SWA100 2009 adalah Telkom, yang tahun lalu menduduki peringkat 1, tapi tahun ini terjun ke urutan 100. Menurut Erik, itu karena dalam beberapa tahun sebelumnya perusahaan ini mengalami pertumbuhan yang pesat. Namun, tahun lalu peningkatan bisnis yang terjadi pada Telkom tidak terlalu pesat, dari segi layanan kartu telepon seluler, Internet, dsb. Keberadaan Telkom juga sudah dapat disaingi perusahaan telekomunikasi lainnya, seperti Indosat.

Jika dilihat lebih detail, setahun terakhir Telkom seolah-olah kehilangan masa keemasannya. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan Josephine dan Vina Vionita, tahun 2008 NOPAT-nya turun 20% menjadi sekitar US$ 1,6 juta (Rp 14,73 triliun) sebagai akibat dari tarif telepon yang lebih rendah dan turunnya call rate sambungan jarak jauh. Padahal, empat tahun sebelumnya (2004-07) terus menunjukkan peningkatan. Puncaknya terjadi tahun 2007, dengan membukukan NOPAT US$ 2 juta.

Adapun faktor yang memengaruhi NOPAT itu adalah pendapatan dari fixed line yang menyusut 12%, kenaikan pendapatan operasional yang tidak signifikan diikuti dengan kenaikan biaya operasional yang sangat berarti, di antaranya, depresiasi naik 17%, biaya oparasional, pemeliharaan dan jasa telekomunikasi meningkat 27% dan biaya pemasaran bertambah 33%. Celakanya lagi, tahun 2008 perusahaan ini mengalami kerugian kurs yang sangat signifikan dari utangnya yang dalam US$.

Dampak dari penurunan NOPAT ini, EVA-nya juga merosot di tahun 2008 sebesar 30% menjadi sekitar US$ 700 ribu. Sebelumnya, EVA perusahaan perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia ini menunjukkan tren naik.

Dengan kata lain, secara fundamental, kinerja Telkom setahun terakhir menunjukkan penurunan. Hal itu tampaknya sudah terbaca oleh pasar, sehingga setalah mencapai puncaknya Oktober 2007, saham Telkom kemudian menunjukkan tren turun. Ditambah lagi dengan krisis finansial global yang juga memukul pasar saham Indonesia, saham Telkom terus melorot, dan baru naik kembali di akhir 2009. Tak mengherankan, TSR yang dihasilkan Telkom dalam lima tahun (2004-08), jika dikurangi dengan CoE-nya, menghasilkan angka negatif. Karena kapitalisasi pasar Telkom yang sangat besar, hal itu membuat angka WAI-nya negatif sangat tinggi, yakni minus Rp 81,06 triliun.

Penurunan tajam juga terjadi pada Bumi Resources, dari posisi 2 (2008) ke urutan 95 pada tahun ini. Rontoknya harga batu bara di pasaran internasional membuat harga saham Bumi jatuh. Sejak pertengahan 2008, saham perusahaan Grup Bakrie ini memang terjun bebas. Dan, sampai dengan akhir 2008, saham perusahaan ini belum menunjukkan tanda-tanda rebound. Maka, TSR yang dihasilkan selama 2004-08 tak mampu menutup CoE-nya. Akibatnya, WAI-nya negatif Rp 33,28 triliun, sedangkan tahun lalu positif Rp 109,91 triliun.

Toh, dibanding dengan perusahaan sejenis, Bumi masih tetap unggul. Dengan RWA positif Rp 50,42 triliun, perusahaan ini berada di posisi pertama di antara peers-nya. Menurut Erik, meski return Bumi merosot, pasar tetap lebih menghargai perusahaan ini karena kepercayaan investor terhadap manajemennya.

Sebetulnya, di dari sisi fundamental, Bumi menunjukkan tren yang bagus. NOPAT-nya tahun lalu melonjak lebih dari 183% menjadi sekitar US$ 750 juta. Padahal tahun 2007 hanya naik 16% dan 2006 sebesar 34%. Malah, EVA Bumi di 2008 melonjak 327% ke posisi US$ 120 juta, sedangkan dua tahun sebelumnya masih minus. Hanya saja, ketidakpercayaan pasar terhadap perusahaan yang bergerak di komoditas, khususnya batu bara, membuat investor sempat menjauhi saham-saham dari perusahaan bergerak di industri, termasuk saham Bumi.

Menanggapi hasil pemeringkatan SWA100 kali ini, Yanuar mengatakan, beberapa perusahaan yang menempati peringkat teratas adalah perusahaan yang sahamnya secara akumulasi mampu menghasilkan capital gain yang besar bagi pemegang sahamnya. Sebagai contoh, saham Lippo Karawaci, dalam beberapa tahun terakhir harganya naik cukup signifikan. Sementara, kenaikan harga saham Telkom tidak sebesar kenaikan saham Lippo Karawaci.

Namun, Yanuar pun mengakui bahwa beberapa perusahaan yang menempati tempat teratas juga merupakan index mover dan cukup likuid di pasar, misalnya BCA. BCA memang memiliki fee-based income yang bagus. Selain itu, BCA juga merupakan bank sejuta umat. “Untuk BCA ini, jelas tidak bisa dikatakan hanya mendapat uang dari ‘menggoreng’ saham. Yang pegang saham BCA juga banyak. Selain itu, Tambang Batubara Bukit Asam dan PGN juga bagus. Tapi seharusnya, di deretan atas ada juga Telkom dan Astra International,” ujar Yanuar.

Di samping itu, Norico Gaman, Head of Research Department BNI Securities, menimpali, sejumlah perusahaan yang masuk papan atas juga cukup baik dalam membagikan dividen, seperti Bukit Asam, PGN, Astra Agro Lestari dan BCA. Akan tetapi, ada juga yang tidak baik dalam memberikan dividen, seperti AKR Corporindo dan Bentoel International Investama.

Harus diakui, metode WAI dan RWA tidaklah umum bagi pegiat pasar modal atau analis pasar modal. Ini memang metode pengukuran kinerja yang baru diperkenalkan di Indonesia. Malah, Norico menilai, metode ini lebih menekankan share holder value dari pemegang saham mayoritas, bukan share holder value investor publik. Para pegiat pasar modal lebih suka mengukur kinerja perusahaan yang akan dikoleksi sahamnya dengan melihat fundamental perusahaan, laba-rugi, dan pertumbuhan industri di perusahaan itu berada. “ Untuk metodenya paling umum kami gunakan discounted cash flow, part of sum valuation, dan sebagainya,” ujar Norico.

Namun, bagi Erik, pendapat setiap orang dapat berbeda. Dan, mungkin orang berpendapat seperti itu karena ia telah mengetahui secara lebih detail kondisi pasar modal Indonesia. Yang jelas, “Angka kami tidak bias terhadap apa pun. Kami lakukan pemeringkatan di India, Indonesia, Thailand, dan negara lannya, dan hasilnya baik. Yang kami harapkan memang begitu,” kata Erik berkomentar.


Reporter: Eddy D. Iskandar, Herning Banirestu, Kristiana Annisa dan Rias Andriati/Riset: Ratu Nurul Hanifah




Pemeringkatan WAI dan RWA
bagi SWA100 dan Asia Tenggara


Martin Schwarz


Seperti tahun lalu, pemeringkatan SWA100 menggunakan metode Wealth-Added Index (WAI™). Namun, kali ini kami juga memperkenalkan peringkat perusahaan publik terbaik di Indonesia berdasarkan nilai Relative Wealth-Added (RWA™). Metode yang sama juga dilakukan untuk memeringkat perusahaan besar di Asia Tenggara, meliputi: Indonesia, Singapura, Malaysia dan Filipina. Penulisan ini menjabarkan sebuah evaluasi kinerja harga saham dari top 100 perusahaan di Indonesia dan perusahaan-perusahaan besar di Asia Tenggara.

Sebelum diperingkat, 100 perusahaan publik di Indonesia dipilih berdasarkan kapitalisasi pasar terbesar. Kemudian, kinerja mereka dievaluasi dengan berdasarkan WAI™ dan RWA™ dari tahun 2004 hingga 2008. Sementara itu, jumlah perusahaan di Asia Tenggara yang diikutkan dalam pemeringkatan ini sebanyak 350, yakni 100 perusahaan di Indonesia, 100 perusahaan di Singapura, 100 perusahaan di Malaysia, dan 50 perusahaan di Filipina.

WAI™ dikembangkan oleh Stern Stewart & Co. dan merupakan indikator adanya kelebihan kekayaan yang dihasilkan di atas harapan pemegang saham. Harapan itu sendiri berdasarkan risiko saham yang disesuaikan dengan persepsi para pemegang saham. Metode penilaian kinerja ini memberi landasan pada perencanaan strategis, yang sekiranya mengurangi beberapa praktik penyusut nilai: pengaturan pendapatan, pengaturan harga saham, dan belanja modal yang tak terkendali. Kerangka WAI™ memungkinkan para manajer untuk memadukan kinerja usaha sekarang atau Current Operating Value (COV®) dan ekspektasi di masa depan atau Future Growth Value (FGV®) dengan kebutuhan pembiayaan dan return minimum yang diharapkan pemegang saham.

WAI™ mengambil perspektif dari semua pemegang saham. Sementara total shareholder return (TSR), sebagaimana sifatnya, berasumsi bahwa setiap saham ditahan dari awal hingga akhir periode tertentu. Wealth-Added mengukur penciptaan kekayaan untuk semua pemegang saham, termasuk pembeli saham baru.

Lalu, RWA™, yang diprakarsai oleh Stern Stewart & Co., adalah pengukuran kinerja berdasarkan pasar dengan cara membandingkan kinerja harga saham dari sebuah perusahaan selama periode tertentu terhadap sekelompok perusahaan sejenis, dengan memperhitungkan saham-saham yang baru diperdagangkan dan tingkat risiko keuangan. RWA™ membandingkan nilai bagi para pemegang saham yang diciptakan oleh sebuah perusahaan dengan rata-rata dari perusahaan sejenis. Hal ini dapat diekspresikan dalam bentuk absolut atau moneter (RWA), ataupun sebagai persentase dari Nilai Perusahaan awal (%RWA). RWA™ serupa dengan WAI™, dengan pengecualian bahwa penghitungannya bukan menggunakan biaya ekuitas melainkan rata-rata TSR dari perusahaan sejenis.

TSR dan kapitalisasi pasar (secara efektif) disesuaikan agar mencakup: sebagai rata-rata tertimbang, kinerja saham-saham yang diterbitkan selama periode tersebut, dan perubahan modal lainnya.


Metodologi Penghitungan


WAI™ dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

WAI = (TSR – COE) * Market Capitalization Beginning of the Day

di mana: TSR = Total Shareholder Return Daily
COE = Cost of Equity Daily

Penghitungan ini hanya berdasarkan data pasar. WAI™ tidak memerlukan akses ke seluruh isi laporan keuangan perusahaan, dan mengabaikan pengecualian akuntansi yang terdapat dalam laporan keuangan.

TSR diperoleh dari Bloomberg TR (return harian total berdasarkan harga saham yang belum disesuaikan, dengan asumsi bahwa dividen diinvestasikan kembali). Biaya ekuitas atau cost of equity (COE) dihitung secara harian berdasarkan hari perdagangan (saham) perusahaan (Bloomberg). Risk free rate (RFR) didasarkan pada peringkat surat utang pemerintah dari berbagai negara (Bloomberg).

Levered Beta dihitung berdasarkan rasio utang dan modal (debt equity ratio) historis rata-rata perusahaan (market value of equity) dan besaran pajak (diambil dari KPMG’s Corporate and Indirect Tax Rate Survey 2008). Sementara itu, market risk premium dalam penghitungan ini adalah 5%, berdasarkan riset Stern Stewart & Co. Adapun Indeks Risiko Bisnis (Unlevered Beta) berdasarkan penghitungan Stern Stewart & Co. untuk industri tertentu.

COE disesuaikan dengan inflasi masing-masing negara. Informasi tentang inflasi diperoleh terutama dari Bloomberg dan website bank sentral, sedangkan data kapitalisasi pasar diperoleh dari Bloomberg.

WAI™ diakumulasi selama lima tahun dan dikonversi ke dalam mata uang masing-masing negara dengan menggunakan tingkat nilai tukar historis dari periode terakhir (Bloomberg).

Sementara itu, RWA™ dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

RWA = (TSR – Peer Average TSR) * Market Capitalization Beginning of the Day


di mana TSR = Total Shareholder Return Daily

Penghitungan ini hanya berdasarkan data pasar, RWA™ juga tidak memerlukan akses ke seluruh isi laporan keuangan perusahaan, dan mengabaikan pengecualian akuntansi yang terdapat dalam laporan keuangan.

TSR diperoleh dari Bloomberg TR (return harian total berdasarkan harga saham yang belum disesuaikan, dengan asumsi bahwa dividen diinvestasikan kembali). Rata-rata TSR dari perusahaan sejenis dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang dari TSR (berdasarkan kapitalisasi pasar) dari kelompok perusahaan sejenis yang telah dipilih sebelumnya. Untuk pemeringkatan Asia Tenggara, kumpulan perusahaan sejenis ini dikelompokkan berdasarkan industri tertentu.

Pemeringkatan ini berdasarkan pengetahuan umum, analisis, dan pemahaman tentang nilai, serta isu-isu tata kelola perusahaan yang dimiliki Stern Stewart & Co. Semua estimasi dan pendapat didasarkan atas pertimbangan dan penilaian kami pada saat tanggal pemeringkatan dan mungkin dapat berubah tanpa pemberitahuan sebelumnya. Tidak ada jaminan dan tidak ada tanggung jawab yang harus dibebankan kepada Stern Stewart & Co. atas kerugian yang disebabkan oleh penggunaan informasi, pendapat, rekomendasi, atau kesimpulan apa pun yang terdapat dalam pemeringkatan ini. Pemeringkatan ini hanya ditujukan kepada pihak yang berkepentingan, dan oleh sebab itu, tidak boleh direproduksi (baik secara keseluruhan maupun sebagian) kepada pihak lainnya tanpa izin tertulis sebelumnya dari Stern Stewart & Co.


Martin Schwarz, VP Stern Stewart International.


URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=9395

WAI dan RWA faktor Penilaian Bisnis Top ASEAN

Strategi Mendongkrak WAI dan RWA
Kamis, 25 Juni 2009
Oleh : Eva Martha Rahayu

Metode WAI dan RWA menjadi acuan investor untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam meningkatkan kekayaan pemegang saham. Lantas, apa yang mesti dilakukan perusahaan agar memperoleh angka WAI dan RWA yang bagus?

Sejak 15 Juni 2009, Direktur Keuangan PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. (PTBA) sibuk road show ke Singapura, Hong Kong dan New York untuk menemui para investor asing. Tujuannya, agar investor mendapatkan penjelasan langsung dari manajemen. Pengumuman di koran saja tidak cukup, karena informasinya tidak sejelas bila bertemu face to face dengan direksi. “Upaya yang kami lakukan agar tetap dipercaya investor adalah transparansi dan road show,” ujar Presdir PTBA, Sukrisno, sembari menjelaskan komposisi saham PTBA sebesar 65% dikuasai pemerintah dan 35% publik. Dari 35% saham publik itu, sebesar 14%-20% dikendalikan oleh investor asing yang jumlahnya fluktuatif sesuai dengan mekanisme pasar.

Bagi Sukrisno, kepercayaan investor sangatlah mutlak. Sebab, jika investor tidak percaya, mana mungkin harga saham perusahaan pertambangan itu diapresiasi dengan baik oleh investor. Buktinya, saat krisis global mulai menerpa tahun 2008, harga saham PTBA terjun bebas di angka Rp 3.850. Tak lama berselang, seiring perbaikan ekonomi, harga sahamnya naik menjadi Rp 4.000-an. Hebatnya, kini saham PTBA melesat menjadi Rp 13.350.

Hal yang sama juga dilakukan manajeman PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. “Semenjak 2007, dalam setahun bisa belasan kali kami melakukan non-deal road show mengunjungi stakeholder kami,” ujar Hendi P. Santoso, Presdir PGN. Di samping itu, setiap semester secara rutin mereka mengunjungi Eropa, Jepang, Australia untuk memberikan informasi perkembangan terbaru kinerja saham PGN dan apa yang hendak dilakukan mendatang.

Tentu bukan alasan kepercayaan investor dan kondisi eksternal saja yang menyelamatkan “nasib” PTBA. “Kami juga serius melakukan efisiensi operasional,” ucap Sukrisno menambahkan. Ada tiga tindakan efisiensi yang dilakukan. Pertama, penghematan harga pokok produksi (HPP) dan stripping ratio. Penekanan HPP akan mengatrol margin yang ujung-ujungnya mencetak laba. Sementara makin tinggi stripping ratio, makin mahal biaya yang dikeluarkan, sehingga harus ditekan. Kedua, membuat sistem yang memungkinkan jarak angkut lebih pendek. Ketiga, continuous mining dengan tidak tergantung pada jarak angkut menggunakan truk, tetapi bisa alternatif kendaraan lain yang lebih efisien. Hasilnya? Tidak sia-sia, revenue tahun 2008 tercatat Rp 7,2 trilun dan laba Rp 1,7 triliun. Jumlah itu naik tajam dibanding periode yang sama tahun 2007 dengan pendapatan Rp 4,2 triliun dan laba Rp 726,2 miliar.

Keberhasilan PTBA mengukir lonjakan pendapatan dan laba yang signifikan tahun buku 2008 tersebut mampu mengantarkan BUMN ini masuk jajaran tiga besar emiten dalam daftar SWA100 hasil survei Stern Stewart & Co. Peringkat menggunakan pendekatan Wealth-Added Index (WAI), yang juga dicantumkan angka Relative Wealth-Added (RWA)-nya. PTBA meraih WAI Rp 5 triliun dan RWA Rp 27,36 triliun.

Seperti yang kita ketahui metode WAI adalah metrik yang digunakan untuk mengukur kekayaan yang diciptakan atau dihancurkan perusahaan untuk pemegang sahamnya. Dan kekayaan akan tercipta bila return yang dihasilkan melebihi dari cost of equity. Sementara itu, RWA untuk mengukur bagaimana kinerja perusahaan dibanding peer (perusahaan sejenis) di sektornya. Pendekatan ini membandingkan kinerja harga saham suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan kinerja rata-rata peer grup itu, yang memperhitungkan pula penerbitan saham baru dan tingkat risiko finansial. Singkatnya, WAI untuk mengukur kinerja jangka panjang, sedangkan RWA mengukur kinerja jangka pendek.

Sebelum lebih jauh membahas bagaimana meningkatkan WAI dan RWA agar bagus, ada baiknya kita pahami dulu kondisi apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Erik Stern, President International Stern Stewart & Co. Management Consultants, kondisi dasar yang diperlukan untuk meningkatkan kekayaan pemegang saham, antara lain, pertama, pengertian yang mantap bagaimana pasar menilai bisnis. Kedua, sistem manajemen yang mengarahkan keputusan (berdasarkan perilaku pasar) tentang pengalokasian dan penanganan SDM di suatu organisasi. Ketiga, struktur insentif yang membuat manajer berpikir dan bertindak seperti pemilik perusahaan. Keempat, komitmen bagi peningkatan yang berkesinambungan ketimbang sekadar sasaran jangka pendek.

Besar-kecilnya nilai WAI dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal berasal dari luar perusahaan, misalnya kondisi makroekonomi Indonesia, ekonomi global, atau pasar internasional. Adapun faktor internal ditentukan oleh kinerja dan kondisi di dalam perusahaan itu sendiri.

Sebagai contoh faktor eksternal, gara-gara dampak krisis global 2008, perekonomian Indonesia menurun dibanding kondisi tahun 2007. Dengan harapan ekonomi Indonesia akan membaik beberapa tahun ke depan, Erik memperkirakan angka pertumbuhannya 6%-7%, bahkan bisa mencapai 8%. Nah, andai harapan itu terwujud, pencapaian angka WAI juga bakal sangat tinggi. Contoh lain, diungkapkan Erik, tentang pengaruh harga komoditas di pasar internasional. Tahun lalu tren harga komoditas cenderung melandai, sehingga beberapa perusahaan yang berbasis komoditas melemah kinerjanya. Akibatnya, hasil pemeringkatan SWA100 tahun 2009 menunjukkan penuruan level perusahaan-perusahaan itu karena pencapaian WAI-nya juga rendah. “Sebenarnya hal ini tidak berarti buruk. Hanya saja, ini mungkin merupakan dampak penurunan harga komoditas dunia beberapa waktu lalu,” ia mengungkapkan. Begitu pun dampak jatuhnya pasar modal tahun 2008 berakibat pada negatifnya WAI mayoritas emiten.

Untuk faktor internal terkait dengan apa saja yang dilakukan di dalam perusahaan untuk mendongkrak WAI. Lalu, apa yang mesti dilakukan perusahaan guna meningkatkan WAI yang ciamik? Menurut Erik, mula-mula yang mesti dicapai perusahaan adalah merebut kepercayaan investor dulu. Lihatlah kasus kebangkrutan Lehman Brothers, General Electric, General Motors yang salah satu penyebabnya: kehilangan kepercayaan investor. Sementara itu, investor hanya mau menginvestasikan modalnya di perusahaan yang benar-benar mereka percayai. Sebagai contoh, BCA yang dalam peringkat SWA100 tahun ini menempati peringkat teratas atas pencapaian WAI Rp 14,83 triliun dan RWA Rp 50,78 triliun karena lebih dipercaya pemodal. Tentu saja kepercayaan itu bukan tanpa sebab. “Saya kira BCA telah menjalankan bisnisnya dengan sangat baik dalam beberapa periode terakhir,” ujar Erik.

Jika telah berhasil merebut trust investor, langkah berikutnya yang mesti dilakukan perusahaan adalah meningkatkan manajemen pengelolaan perusahaan. BCA bisa menjadi yang terbaik lantaran dikelola dengan sangat baik, sehingga bisnis inti berjalan baik pula sebagaimana bank terbaik di Malaysia (Public Bank Bhd.).

Apabila perusahaan sudah dikelola dengan tepat, tentunya mampu menghasilkan profit bagus. Nah, ketika telah mengantongi profit, perusahaan tidak boleh mengabaikan risiko. Maklum, biasanya bank jika memiliki keuntungan oke, lanjut Erik, seolah-olah melupakan risiko. Dalam pandangan Erik, BCA dan Public Bank Bhd. memberikan kredit dengan memperhitungkan risiko yang sangat prudent.

Tahap berikutnya, perusahaan not make a stupid decision. Justru, di saat krisis perusahaan dituntut lebih kreatif dalam mengambil kesempatan dan kuat bertahan. Untuk itu, Erik menyarankan, nantinya BCA harus mampu menemukan lini-lini bisnis potensial dan bekerja sama dengan partner dari dalam atau luar negeri.

Hanya itu? Tidak. WAI memang dipengaruhi oleh size perusahaan. Karena itu, bagi perusahaan kecil, diperlukan waktu beberapa tahun lagi untuk bisa meraih angka WAI yang tinggi. Ini terkait dengan skala yang besar. “Saya percaya, masih banyak perusahaan yang dapat sukses di Indonesia. Tapi sayang, di sini masih banyak perusahaan besar yang memiliki hubungan spesial dengan pemerintah dan kurang inovatif,” tutur Erik mengkritik. Lihatlah, banyak sekali perusahaan yang menghabiskan duit gila-gilaan cuma untuk brand building, riset dan pengembangan, peningkatan SDM dan sebagainya. Padahal, masalahnya di Indonesia selama ini orientasi perusahaan yang sering masih terlalu jangka pendek.

Setelah size berangsur membesar, perusahaan tidak boleh cepat berpuas diri. Ironisnya, banyak perusahaan Indonesia yang karakternya cepat puas. Dengan demikian, perusahaan harusnya lebih terpacu untuk terus berbenah dan maju. Sadar akan hal itu, PGN melakukan revitalisasi operasional untuk pengembangan bisnisnya. “Kami sadar harus melakukan terobosan,“ kata Hendi. Terobosan yang dimaksud adalah rotasi seluruh kegiatan manajemen perusahaan, mulai dari level GM sampai kepala divisi. Selain itu, PGN pun lebih fokus menggarap segmentasi pasar melalui divisi korporat dan berbagai wilayah (ritel dan rumah tangga). Tak lupa, PGN melakukan efisiensi operasional dan menekan capital expenditure atau belanja modal. Hasilnya, tahun 2008 PGN meraih WAI Rp 5,55 triliun dan RWA Rp 31,79 triliun atau posisi kedua setelah BCA.

Tidak kalah penting, bagaimana meningkatkan jiwa entrepreneurship di lingkungan perusahaan. Wajarlah, karena jiwa wirausaha di Indonesia masih sangat minim dibanding negara-negara lain.

Untuk perusahaan yang berbasis komoditas, Erik menyarankan supaya memberi nilai tambah atas komoditas yang dieskpor. Contoh di komoditas pertanian yang menjadi keunggulan Indonesia, perlu dibenahi value chain-nya.

Bila langkah-langkah untuk mencapai WAI jempolan sudah diketahui, lalu bagaimana cara untuk mendapatkan RWA yang bagus pula? Praktis, tak ada bedanya cara yang ditempuh untuk mencapai WAI dan RWA tinggi. Hanya saja, melalui pengukuran RWA, kita dapat mengetahui kualitas manajemen, produktivitas dan sebagainya yang relatif terhadap peer grup. RWA bermanfaat pula bagi para manajer aset perusahaan, penanam modal, analis saham dan anggota lainnya dari komunitas investasi untuk menilai kinerja relatif perusahaan. Singkatnya, untuk mengetahui siapakah yang terbaik di industri tersebut, maka dapat diketahui dari angka RWA tadi.

Yang jelas, sebuah perusahaan yang mempunyai economic value-added (EVA) sangat bagus, berarti sangat profitable dan sukses, maka mereka dapat menjadi yang terbaik di industrinya. Jika mereka menjadi yang terbaik di industrinya, tentu akan memiliki angka RWA positif. Apabila perusahaan berhasil memperoleh angka RWA bagus secara kontinu, pada akhirnya perlahan tapi pasti tentu akan memiliki angka WAI yang tinggi pula.


Reportase: Eddy Dwinanto Iskandar, Herning Banirestu, Kristiana Anissa, Rias Andriati
Riset: Rachmanto Aris


URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=9390

Bisnis Top di ASEAN

Indonesia Unggul dalam Kuantitas
Top 100 ASEAN:
Kamis, 25 Juni 2009
Oleh : Dede Suryadi

Ada 44 perusahaan di Indonesia yang berhasil menerobos Top 100 ASEAN. Sayang, di peringkat atas, perusahaan asal Malaysia mendominasi. Seperti apa potret peringkat 100 perusahaan terbaik di Asia Tenggara ini?

Dalam peringkat Top 100 ASEAN 2009, jumlah perusahaan di Indonesia yang menerobos makin banyak, yakni 44 perusahaan. Padahal, tahun lalu hanya 20 perusahaan. Bandingkan dengan Malaysia, tahun ini hanya menempatkan 30 perusahaan dalam Top 100 ASEAN, disusul Singapura 19 perusahaan dan Filipina 6 perusahaan.

Sayangnya, di peringkat atas jumlahnya justru turun. Tahun lalu, ada tiga perusahaan yang masuk 10 terbaik, yakni PT Telkom, Bumi Resources dan INCO, tetapi tahun ini hanya satu perusahaan: Bank Central Asia (BCA). Perusahaan dari Malaysia cukup mendominasi di peringkat atas. Di urutan 10 terbaik, Malaysia menempatkan 6 perusahaannya, sedangkan Singapura hanya tiga perusahaan.

Sebagaimana tahun lalu, pemeringkatan Top 100 ASEAN 2009 ini menggunakan metode Wealth-Added Index (WAI™) untuk mengukur nilai tambah kekayaan yang dihasilkan suatu perusahaan. Di samping itu, perusahaan juga dibandingkan secara relatif terhadap perusahaan sejenis (peer) dengan menggunakan metode Relative Wealth-Added (RWA™). Angka RWA™ menggambarkan sejauh mana perusahaan mengungguli perusahaan sejenis lainnya dalam menciptakan kekayaan untuk pemegang sahamnya. Pada peringkat RWA™, sejumlah perusahaan di Indonesia mampu menjadi jawara di sektornya, seperti Telkom di industri telekomunikasi, Astra International (otomotif dan komponen), Lippo Karawaci (real estate), Kalbe Farma (obat-obatan dan bioteknologi), INCO (material), dan United Tractors (barang modal).

Pemeringkatan Top 100 ASEAN yang kedua kalinya dilakukan ini menyaring 350 perusahaan di negara-negara Asia Tenggara. Rinciannya: Indonesia 100 perusahaan, Malaysia (100), Singapura (100), dan Filipina (50) – yang pemilihannya didasarkan pada nilai kapitalisasi pasar terbesar tahun 2007 di masing-masing negara, serta sesuai dengan klasifikasi industri global (global industry classification).

Penghitungan untuk pemeringkatan mencakup periode 8 tahun lingkaran bisnis (business cycle), yaitu 1 Januari 2001 hingga 12 Desember 2008 sesuai dengan MSCI Index. Secara detail, lingkaran bisnis ini terdiri dari dua: periode ekspansi (expansion) – 1 Januari 2001 hingga 10 September 2007; dan periode kontraksi (contraction) – 10 September 2007 hingga 12 Desember 2008. Jadi lingkaran bisnis ini dihitung atas dua periode ekspansi dan kontraksi. Dan, seperti bisa diduga, tak banyak perusahaan yang mampu menciptakan kekayaaan untuk pemegang sahamnya. Dari 100 perusahaan terbaik di Asia Tenggara, hanya 20 perusahaan yang membukukan WAI positif, satu perusahaan angkanya nol, dan sisanya negatif.

Peringkat pertama dalam Top 100 ASEAN 2009 ditempati Public Bank Bhd. dari Malaysia yang membukukan WAI Rp 23,41 triliun. “Ini sebuah bank swasta di Malaysia yang saya ketahui dikelola dengan sangat baik. The best managed bank di Malaysia,” ujar Erick Stern, President International Stern Stewart & Co. Ia menilai, bisnis inti bank ini berjalan dengan baik sekali, seperti memberikan kredit dengan memperhitungkan risiko secara hati-hati.

Lalu di urutan kedua dan ketiga juga dari negeri jiran, yakni Time Dotcom Bhd. (WAI Rp 18,79 triliun) dan PPB Group Bhd. (WAI Rp 15,48 triliun). Nah, di urutan keempat adalah BCA yang membukukan WAI Rp 14,42 triliun.

Erick menilai, BCA hampir sama dengan Public Bank, yaitu dikelola dengan baik dan hati-hati. “Yang harus dilakukan oleh BCA untuk bisa menempati peringkat teratas adalah dengan memberikan keuntungan kepada para nasabahnya yang saat ini tak semua bank dapat memberikannya,” katanya memberi saran. Pasalnya, beberapa bank besar di Indonesia termasuk Merrill Lynch juga bermasalah dan tidak lagi eksis. Oleh karena itu, BCA harus mampu mengambil kesempatan di masa krisis, menemukan lini-lini bisnis potensial dan bekerja sama dengan partner yang mungkin merupakan perusahaan atau lembaga yang berasal dari dalam atau luar negeri.

Jahja Setiaatmadja, Deputi Presdir BCA, berkomentar, dalam rangka meningkatkan angka WAI-nya, pada dasarnya sumber peningkatan aset bagi perbankan adalah dari funding, baik tabungan, giro maupun deposito. Komposisi struktur biaya pada bank sering berbeda-beda, ada yang porsi tabungan dan gironya lebih tinggi daripada deposito. Di BCA, komposisi tabungan dan giro lebih banyak daripada deposito berjangka, yaitu 75%-80%. Bunga giro tergolong sangat kecil dan bunga tabungan sedikit lebih tinggi, tetapi yang tertinggi adalah bunga deposito berjangka. “Bagi bank seperti BCA, yang cost of fund-nya lebih dominan pada giro dan tabungan, berarti biaya modal kami relatif sudah kecil,” ujar Jahja.

Ditambah lagi, pendapatan yang diperoleh BCA yang bersumber dari spread bunga kredit, surat berharga dan sebagainya sama dengan harga pasar. Karena pendapatannya setara dengan harga pasar pada umumnya, sedangkan cost of fund lebih kecil, maka peluang BCA untuk lebih unggul dari segi profitabilitas lebih besar. Meski saat ini masuk dalam lima besar Top 100 ASEAN, BCA belum berencana membuka cabang hingga ke lingkup regional atau di negara lain selain Indonesia. Saat ini, BCA baru melayani remittance business atau kiriman uang dari negara-negara yang banyak terdapat tenaga kerja Indonesianya, seperti Timur Tengah, Singapura, Malaysia, Taiwan, Brunei Darussalam dan sebagainya, serta layanan ekspor-impor. BCA hanya memiliki kantor perwakilan di Singapura dan Hong Kong, serta perusahaan remittance di Hong Kong.

Sebenarnya, menurut Erick, Indonesia, seperti industri perbankannya, tidak seterpuruk seperti di negara lain, meski punya banyak perusahaan yang berbasis komoditas, seperti Bumi Resources, Astra Agro Lestari, serta perusahaan minyak dan gas. Seperti diketahui, harga komoditas dunia tahun lalu turun drastis. Ini menimbulkan dampak buruk, yaitu berjatuhannya perusahaan berbasis komoditas di pasar modal Indonesia. Salah satunya, Grup Bakrie.

Memang, pertumbuhan ekonomi Indonesia ketika krisis tahun 2008 jauh lebih rendah dibanding tahun 2007 yang tumbuh hingga 6%. Dengan harapan akan membaiknya perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun mendatang, maka diperkirakan angka pertumbuhan di Indonesia akan kembali ke 6% atau 7%, bahkan jika beruntung mungkin bisa mencapai 8%. “Jika itu terjadi, angka WAI juga akan sangat tinggi,” kata Erick memprediksi.

Ia juga mengutip data dari Majalah The Economist, bahwa tiga minggu lalu Produk Domestik Bruto Indonesia di tahun 2009 masih -1,3% dan sekarang telah menjadi +2,4%. Sementara itu Malaysia masih -3%, Cina +6,5% dan India +5%. Dengan melihat data ini, perekonomian Indonesia memang telah mulai positif, tetapi masih lebih rendah dibanding satu-dua tahun yang lalu. “Untuk itu Indonesia harus dapat memperbaiki pertumbuhan ekonominya hingga 6%-7%. Jika ini dilakukan, maka diharapkan dapat tercapai ‘major improvement’,” ia mengungkapkan.

Akan tetapi, menurut Hendra Bujang, pengamat pasar modal, kompetensi perusahaan Indonesia di tingkat ASEAN boleh dibilang belum bisa berbicara banyak. Hal yang perlu diperhatikan yaitu skala bisnisnya. Ini berkenaan dengan faktor efisiensi dan SDM dalam penguasaan teknologi. Sebetulnya, dalam pemberian keuntungan kepada para pemegang saham, perusahaan di Indonesia masih bisa memberikan lebih baik, meskipun di saat kondisi krisis seperti saat ini.

Perusahaan untuk bisa berkompetensi di tingkat global, khususnya regional ASEAN, masih tergantung pada beberapa faktor internal dan makro. Ia mengatakan, faktor makro harus stabil, harus ada peraturan yang mendukung kepentingan pebisnis. Di sisi lain, faktor internal perusahaan juga harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas SDM dan penguasaan teknologi. “Kebanyakan masih tradisional, sehingga kalau bicara volume dari segi efisiensi, maka tidak efisien,” katanya

Sejauh mana efisiensi dan efektivitas perusahaan-perusahaan di Indonesia ini serta sejauh mana SDM di masing-masing perusahaan dapat berproduksi dengan efisien – ditambahkan Franciscus Welirang, Direktur PT Indofood Sukses Makmur – merupakan tuntutan bagi setiap perusahaan. “Dan hal itu tergantung pada bagaimana seorang pemimpin memimpin perusahaannya,” ujarnya.

Itu memang sebuah tantangan. Yang jelas, dengan menengok kondisi perekonomian Indonesia yang masih lebih baik dibanding negara tetangga, ada peluang bagi perusahaan di Tanah Air untuk meningkatkan kinerja dan membuat sahamnya lebih menarik bagi investor. Jika peluang itu bisa dimanfaatkan secara optimal, perusahan di Indonesia akan lebih kompetitif untuk bersaing dengan perusahan lain di level Asia Tenggara.


Reportase: Moh. Husni Mubarak dan Kristiana Anissa
Riset: Ratu Nurul Hanafiah


Kinerja yang Dijadikan Acuan
Erik Stern dan Martin Schwarz

Kapitalisme dan globalisasi telah mendapat pukulan telak. Perusahaan di Indonesia dalam kelompok (peer)-nya di Asia Tenggara dan di belahan dunia lainnya telah memecahkan rekor dalam hal kemerosotan perdagangan dan produksi. Indonesia memang bisa lepas dari resesi, tetapi Indonesia juga terkena pukulan. Kejatuhan harga komoditas yang tajam, investasi asing yang lebih rendah, dan penurunan ekspor telah memangkas tingkat pertumbuhan yang tinggi yang sudah dicapai akhir-akhir ini. Penutupan sementara pasar modal yang terjadi pada Oktober 2008 mengguncang kepercayaan internasional. Itulah saat Indonesia bergabung dengan penurunan ekonomi global: suatu masa ketidapercayaan dan intervensi pemerintah. Maret 2009, pasar global mencapai titik nadir. Harga komoditas mulai naik kembali (rebound). Posisi dolar makin melemah. Pertumbuhan ekonomi Cina telah membangkitkan kepercayaan.

Tahun lalu, kami memperkenalkan konsep the Wealth-Added Index (WAI™), yang menunjukkan apakah perusahaan telah mengungguli biaya kapitalnya (cost of equity/CoE). Investor mereka membutuhkan tingkat pengembalian investasi yang bisa menutup risikonya. Hal itu mengacu pada kinerja aktual versus return minimum (CoE). Di saat kondisi sedang bagus, perusahaan harus mengungguli CoE-nya, sedangkan di saat situasi sulit mereka terpaksa di bawah CoE. Hanya saja, selama lingkaran bisnis (business cycle) berlangsung – apakah dari palung ke palung, dari ombak ke ombak, atau tengah ke tengah – mereka setidaknya harus mampu menutup CoE (WAI = 0).

Perusahaan juga harus mengungguli rata-rata di kelompok mereka (peer), yakni apa yang kami sebut RWA™ (peer Relative Wealth-Added), apakah dalam periode ekspansi (kondisi pasar/ekonomi sedang bagus) ataupun kontraksi (kondisi buruk). Kami telah membuat daftar perusahaan di Asia Tenggara yang ada dalam Blomberg untuk dijadikan acuan industri bagi perusahaan yang ada dalam kelompoknya selama periode ekspansi, kontraksi dan lingkaran bisnis (ekspansi + kontraksi). Perusahaan yang berhasil dalam periode ekspansi mungkin telah mengambil risiko berlebihan yang bakal merugikan mereka ketika menghadapi situasi kontraksi. Perusahaan lain mungkin lebih bertindak konservatif selama periode booming, dan dengan demikian mereka bekerja lebih baik dalam kondisi ekonomi menurun. Kami merasa bahwa hanya ada satu cara untuk memahami apakah perusahaan menunjukkan kinerja yang bagus. Yakni, mem-benchmark mereka berdasarkan nilai (value). Peringkat ini memberikan informasi seperti itu, dan mereka mengikuti filosofi economic value-added (EVA), bahwa perusahaan, unit bisnis, proyek dan segala aktivitas harus mengungguli CoE-nya. Para eksekutif harus memfokuskan usahanya pada pemenuhan harapan pemegang saham dan mencari cara untuk memaksimalkan nilai.

Tabel peringkat SWA100 Indonesia dan Asia Tenggara yang berdasarkan WAI dan tabel RWA dapat membantu investor untuk melihat bagaimana fund manager mereka melakukan investasi. Jika Anda menginginkan investasi di perusahaan telekomunikasi, apakah mereka memilih perusahaan yang tepat? Begitu pula halnya jika Anda menginginkan berinvestasi di bank, apakah fund manager telah memilih perusahaan yang tepat? Tabel peringkat ini juga membantu para komisaris. Eksekutif dapat menunjuk faktor-faktor di luar kontrol perusahaan yang dapat memengaruhi harga saham, tetapi dengan mengabaikan peer-nya, kita mencabut banyak hal dari suara pasar, meninggalkan kinerja manajemen. Analisis ini membawa kita untuk melihat apakah investor menyukai perusahaan yang dijalankan oleh keluarga atau yang dimiliki oleh negara (BUMN) pada saat ekonomi sedang turun, dengan pertimbangan nama baik atau pemerintah membuat suatu perbedaan. Di industri komoditas, kita dapat melihat pasar mana yang lebih menyukai ketika harganya naik dan kemudian mereka jatuh. Ambil contoh Bumi Resources, saham perusahaan ini telah jatuh secara dramatis, tetapi ketika dibandingkan secara relatif dengan kelompoknya, pasar tetap memilih Bumi. Ini menujukkan kepercayaan pasar pada tim manajemen dan keunggulan komparatif perusahaan itu, yang telah berinvestasi di tengah kejatuhan harga batu bara.

Kami telah memilih perusahaan yang menjadi benchmark karena telah berhasil mengungguli perusahaan lain dalam grup dan CoE-nya. Kita dapat membandingkan mereka dengan indeks nasional. Bagi perusahaan lokal, indeks itu dapat menjadi pilihan yang baik.

Klasifikasi industri yang kami lakukan mungkin tidak terlalu tepat. Kami tidak menyusun hal ini untuk perusahaan tertentu. Dewan direksi harus menentukan peer yang cocok dan kemudian mendiskusikannya dengan investor institusional atau analis riset. Selanjutnya, mereka harus mempertahankan kesamaan, kecuali ada perubahan besar dalam industri. Dengan demikian, mereka memiliki kinerja yang kuat, baik dalam periode ekspansi maupun kontraksi. Hal itu memungkinkan boards merumuskan kompensasi bagi para eksekutif seniornya berdasarkan WAI dan RWA, memberikan pengakuan kepada mereka atas keberhasilannya mengungguli rata-rata peer-nya dan CoE, baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang.

Indonesia tidak memiliki kultur performance-based yang kuat, kendati sangat banyak entrepreneur yang mengesankan. Hukum bisnis dan ketenagakerjaan, kultur dan praktik bisnis menunjukkan pengelakan yang kuat terhadap risiko dan tidak ada kepekaan yang besar terhadap urgensi. Motivasi untuk mengungguli adalah haram bagi kemapanan, kehati-hatian, dan perspektif sempit yang banyak mereka miliki.

Anda bisa melihat pada bencana yang dihadapi perusahaan-perusahaan di Barat (Eropa dan Amerika Serikat) yang membunyai kultur performance-based yang ekstrem dan berkata: “Kami tidak ingin apa pun.” Sayangnya, variabel kultur dari perusahaan-perusahaan ini tidak berdasarkan pada nilai, melainkan variabel ukuran (size), seperti penjualan yang dihasilkan, jumlah karyawan yang dikelola, dan aset yang diinvestasikan, yang secara dramatis bertentangan dengan responsibilitas, transparansi dan akuntabilitas. Intervensi dan regulasi pemerintah telah mendorong para manajer untuk mengambil keputusan yang kurang memadai (poor decision). Kapitalisme diserang secara tidak tepat. Pemerintahan digerakkan oleh perilaku dan regulasi memang suatu keharusan. Organisasi-organisasi di Indonesia harus menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, tetapi memegang filosofi performance-based.

Indonesia harus mengemansipasi dan memobilisasi penduduknya untuk memaksimalkan nilai. Ini adalah sebuah negara yang telah selamat dari keadaan paling buruk. Lihatlah, penurunan ekonomi global telah merontokkan Singapura, Korea, Taiwan dan Jepang. Malaysia dan Filipina pun terkena pukulan. Namun, integrasi negara-negara di Asia Tenggara terus berlanjut. Pemerintah mengalami kekurangan dana untuk menyelamatkan BUMN dari situasi pasar yang memburuk. Praktik-praktik manajemen yang kuat, karyawan yang memiliki motivasi tinggi, kultur penciptaan nilai akan membantu perusahaan di Indonesia untuk bertahan dan berkembang di lingkungan seperti ini.

Kita lihat kondisi krisis sebelumnya. Organisasi-organisasi yang melakukan investasi dengan bijaksana dan mempersiapkan diri dengan baik, sehingga berbeda dari yang lainnya, kebangkitan telah terwujud bagi mereka. Sekarang saat jeda kompetisi sepak bola Eropa. Para pelatih dan pemimpin klub sedang berpacu dan bernegosiasi, berusaha mendapatkan pemain terbaik untuk membangun tim pemenang guna menghadapi kompetisi mendatang yang dimulai September 2009. Bagaimana organisasi Anda menyiapkan diri untuk tahapan pertumbuhan berikutnya? Akankah organisasi Anda menjadi pemenang dalam kompetisi yang bakal dihadapi? Siapkah Anda? Apakah rekan-rekan kerja Anda memiliki motivasi tinggi? Apakah mereka menikmati kompetisi karena mereka merasa mampu menjadi pemenang?

Peringkat WAI dan RWA seperti tabel liga dalam ekonomi pasar. Bagaimana Anda telah berjalan? Itu sejarah. Bagaimana Anda akan berjalan? Itu adalah masa depan. Akankah Anda bertahan? Akankah Anda mengungguli yang lainnya? Di mana Anda akan berdiri tahun depan dan lima tahun mendatang? Apakah organisasi Anda difokuskan pada penciptaan nilai? Apakah Anda memiliki kultur performance-based? Pada suatu kesempatan, ini membuat perbedaan, lebih dari produk, layanan dan posisi pasar Anda. Itu menentukan siapa yang akan menjadi pemenang atas kelompok mereka selama periode ekspansi dan kontraksi, dan siapa mampu mengungguli CoE-nya selama lingkaran bisnis berlangsung.

Erik Stern adalah President Stern Stewart International, dan Martin Schwarz adalah Vice President Stern Stewart International.


URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=9394