Rabu, 24 Februari 2010

Standar Lingkungan oleh Unilever


Kamis, 25/02/2010 11:16 WIB
Setelah Kasus Sinar Mas, Unilever Blacklist CPO Duta Palma
Indro Bagus SU, Suhendra - detikFinance



Jakarta - Unilever pusat meminta pemasok-pemasok CPO tidak menjual produk CPO yang berasal dari grup Duta Palma. Perusahaan tersebut diduga telah merusak hutan hujan tropis untuk dijadikan lahan CPO.

"Setelah adanya laporan dari BBC, Unilever memberi ketentuan kepada trader-trader-nya agar tidak menjual CPO Duta Palma kepada Unilever," ujar Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Derom Bangun saat dihubungi detikFinance, Kamis (25/2/2010).

Unilever pusat merupakan salah satu pembeli CPO terbesar di dunia. CPO merupakan salah satu bahan baku produk-produk sabun, es, margarin yang diproduksi Unilever.

Menurut Derom, kebijakan Unilever melakukan blacklist atas CPO Duta Palma dilakukan setelah BBC melaporkan kalau grup Duta Palma telah membuka perkebunan CPO di atas hutan hujan.

Duta Palma merupakan salah satu perusahaan CPO anggota RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Di kawasan Riau, Duta Palma memiliki 8 lahan seluas 63.886 hektar yang dikelola oleh 7 perusahaannya, yaitu PT Eluan Mahkota, PT Johan Sentosa, PT Wana Jingga Timur, PT Cerenti Subur, PT Mekar Sari Alam Lestari, PT Aditya Palma Nusantara dan PT Duta Palma Nusantara.

Sebelumnya, Unilever pusat juga telah menangguhkan pembelian CPO dari grup Sinar Mas melalui PT Sinar Mas Agri Resources & Technology Tbk (SMAR).

"Unilever menangguhkan pembelian CPO dari Sinar Mas sampai kami mendapatkan bukti bahwa tuduhan tentang keterlibatan mereka dalam praktik produksi yang merusak lingkungan yang ditujukan kepada mereka adalah tidak benar," ujar Corporate Secretary PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) Sancoyo Antarikso.

Mengenai blacklist Duta Palma, Sancoyo hanya mengatakan kalau Duta Palma bukan merupakan pemasok langsung CPO kepada Unilever. "Mengenai Duta Palma, dapat kami sampaikan bahwa mereka bukan direct supplier CPO dari Unilever," ujarnya.



(dro/qom)

Karyawan Kunci Memenangi Bisnis

Pendapatan Bisa Naik 4,5 Kali Lipat
Karyawan Kunci Memenangi Bisnis
Kamis, 25 Februari 2010 | 08:53 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Kualitas interaksi pemimpin bisnis dengan pekerja berdampak langsung terhadap kinerja perusahaan dalam memenangi persaingan bisnis.

Namun, kecenderungan pemimpin perusahaan di Indonesia justru mengabaikan keunggulan lingkungan dan budaya kerja atau employer branding, yang merupakan pilar utama pertumbuhan bisnis.

Demikian hasil studi yang dilakukan Hay Group dan Indopacific Edelman yang diungkapkan di Jakarta, Rabu (24/2/2010).

Studi Edelman mengukur tingkat kepercayaan pemangku kepentingan terkait posisi pegawai dalam perusahaan. Adapun Hay Group mengukur persepsi pegawai di Asia terhadap perusahaan. Kedua studi itu saling melengkapi.

Direktur Hay Group kawasan Asia Tenggara Stephen Choo mengungkapkan adanya kegalauan perusahaan nasional melihat lulusan terbaik perguruan tinggi masuk ke perusahaan multinasional. Ini terjadi bukan semata karena faktor keuangan, melainkan karena belum ada keunggulan dan budaya kerja perusahaan yang bisa memikat mereka.

Setidaknya ada empat faktor yang memengaruhi itu. Keempat faktor itu ialah budaya organisasi perusahaan yang belum mantap, reputasi perusahaan, kualitas atau interaksi komunikasi antara pemimpin perusahaan dan karyawan, serta kurangnya daya dukung perusahaan dalam pengembangan kinerja karyawan.

Karyawan lebih demokratis

Vice President IndoPacific Edelman, Bambang Chriswanto, menyatakan, realitas bisnis di Indonesia berubah pascareformasi. Karyawan lebih demokratis dan memiliki akses untuk menyampaikan informasi yang luas.

Pemimpin bisnis tidak bisa melakukan pola direktif dalam menjalankan usaha, tetapi harus lebih mendengarkan aspirasi karyawan.

Keunggulan lingkungan dan budaya kerja perusahaan merupakan dimensi lain dari citra produk. Ini bentuk pencitraan diri organisasi perusahaan oleh karyawan yang bisa berdampak buruk pada kinerja perusahaan bila tidak dikelola dengan baik.

Steve Bowen, Technical Advisor IndoPacific Edelman, mengatakan, kalau perusahaan mampu menerapkan kualitas interaksi, akan meningkatkan pendapatan perusahaan hingga 2,5 kali lipat.

Bila interaksi yang baik dipadu dengan pemberdayaan karyawan, akan meningkatkan pendapatan hingga 4,5 kali lipat.

Indikator buruknya employer branding antara lain bila pemimpin perusahaan tidak tahu apa alasan pegawainya datang ke kantor dan adanya kecurigaan terhadap perusahaan. (MAS)

Senin, 22 Februari 2010

Obama Datang, RI-AS akan Sepakati Kerjasama di 6 Sektor

Selasa, 23/02/2010 10:47 WIB
Obama Datang, RI-AS akan Sepakati Kerjasama di 6 Sektor
Suhendra - detikFinance


Jakarta - Dalam kunjungan delegasi Presiden AS Barack Obama pada akhir Maret 2010 nanti akan disepakati setidaknya 6 bidang kerjasama antara Indonesia dan AS.

Hal ini disampaikan oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa ketika ditemui di kantornya, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Selasa (23/2/2010).

"Akan ada 6 agreement (perjanjian)," kata Hatta.

Keenam sektor dalam kerjasama tersebut antara lain bidang investasi, pendidikan, kehutanan, pertanian, migas, dan lainnya. Sayangnya Hatta tidak merinci kesepakatan apa saja dari keenam sektor tersebut.

"Mereka menyediakan investasi yang cukup besar," katanya.

Ia mengungkapkan di bidang investasi tren minat investasi di Indonesia pasca krisis terus menunjukan tren yang meningkat dari banyak negara termasuk dari AS. Menurutnya yang paling penting saat ini Indonesia harus mengambil peluang tersebut.

"Investasi memang bukan hanya minatnya saja, tapi realisasi bisa didorong," katanya.

(hen/dnl)

Walau defisit Meningkat Pemerintah tidak Nambah Hutang


Defisit APBN-P Naik Jadi 2,2 Persen
Senin, 22 Februari 2010 | 13:01 WIB

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berbincang-bincang dengan Kepala Badan Analisa Fiskal (BAF) Departemen Keuangan RI Anggito Abimanyu.



JAKARTA, KOMPAS.com - Defisit anggaran dipastikan bakal membengkak menjadi 2,2 persen dalam APBN-P 2010 yang akan diajukan oleh pemerintah kepada Dewan sebelum memasuki masa reses.

Defisit tersebut lebih besar dibanding yang terdapat dalam APBN 2010 yaitu 1,6 persen atau setara dengan Rp 98 triliun.

Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan Anggito Abimanyu, naiknya defisit tersebut sehubungan dengan perkembangan ekonomi terkini. Salah satu faktor yang mendorong naiknya defisit anggaran ini dipicu oleh kenaikan belanja subsidi energi (BBM dan listrik) menyusul kenaikan asumsi harga minyak.

"Pertama karena ada revisi pendapatan, kedua untuk kebutuhan stabilitas harga dan ketiga untuk belanja program prioritas," ujar Anggito, di sela-sela talk show Membedah APBN 2010, di Gedung Kementrian Keuangan, Senin ( 22/2/2010 )

Anggito melanjutkan, kendati defisit dinaikkan bukan berarti asumsi pertumbuhan ekonomi akan serta-merta dinaikkan. Sejauh ini, pemerintah masih akan mematok asumsi pertumbuhan ekonomi 5,5 persen dalam APBN-P 2010 nanti. "Memang potensi pertumbuhan ekonomi lebih dari 5,5 persen ada, tetapi sampai sekarang kami belum memiliki data," tuturnya.

Meski defisit naik, namun menurut Anggito, pemerintah belum berencana untuk menambah utang guna membiayai defisit ini.

Sabtu, 20 Februari 2010

Penggunaan Produk Lokal oleh Pemerintah

Selasa, 09/02/2010 14:45 WIB
4 Kementerian Dapat 'Rapor Merah' Soal Produk Lokal
Suhendra - detikFinance


Jakarta - Empat kementerian mendapatkan nilai paling rendah soal penggunaan produk dalam negeri sejak Presiden SBY mengeluarkan Inpres No 2 tahun 2009 soal penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Empat kementerian itu lebih mengutamakan produk-produk impor untuk kebutuhan belanjanya.

Demikian hasil kajian kelompok kerja (pokja) Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri (P3DN) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, seperti disampaikan Ketuanya, Natsir Mansyur di kantor kementerian perindustrian, Jakarta, Senin (9/2/2010).

Keempat kementerian tersebut adalah kementerian pendidikan nasional, kementerian kesehatan, kementerian pekerjaan umum dan kementerian perhubungan. Tingkat serapan anggaran belanja masing-masing kementerian-kementerian tersebut untuk produk-produk dalam negeri tidak sampai 15%.

"Yang rapor merah itu depkes, diknas, PU, perhubungan. Itu mafia-mafia semua disitu," tegas Natsir.

Natsir mengatakan para kementerian tersebut lebih mengutamakan produk-produk impor dalam pemenuhan kebutuhan belanja misalnya alat-alat kesehatan di kementerian kesehatan, mesin-mesin perkakas (kebutuhan praktik) oleh kementerian pendidikan nasional dan lain-lain.

"Yang rapornya merah ini diragukan nasionalismenya," katanya.

Ia menambahkan, ada beberapa kementerian dan lembaga yang perlu mendapat apresiasi dalam hal penggunaan produk lokal yaitu BP Migas, Kementerian Komunikasi dan Informatika, kementerian pertahanan, kementerian BUMN, kementerian pemudah dan olah raga dan lain-lain.

"Kementerian yang tadi itu cukup konsisten, kementerian lain harus menirunya. Kalau yang lain begitu-begitu saja," katanya.

Dikatakannya pihak Pokja juga akan mengundang KPK, BPK, BIN dalam rangka pengamanan pasar domestik, untuk mensosialisasikan program peningkatan penggunaan produk lokal.

"Soal P3DN ini perlu sosialisasi, tidak bisa satu hari, butuh lama, perlu sosialisasi dan sedikit ada upaya politik," tegasnya.

Seperti diketahui selama ini kontribusi konsumsi belanja pemerintah terhadap PDB terus meningkat, pada tahun 2008 mencapai 8,4%, kemudian naik pada 2009 mencapai 9,5%. Sedangkan dari sisi pertumbuhan konsumsi mengalami kenaikan 12,9% dari 2008 ke 2009, pada tahun ini perkirakan hanya mencapai 9,3%.

Sementara itu kontribusi belanja barang dan modal pemerintah terhadap pemerintah pusat naik dari 18,6% pada 2008 menjadi 23% pada 2009.

Total belanja barang dan belanja modal pemerintah pada APBN 2009 naik 23,4% dari Rp 128,7 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp 158,8 triliun pada 2009. Pada APBN 2010 diproyeksikan pertumbuhan belanja barang dan modal naik 19,2% menjadi Rp 189,2 triliun.

(hen/qom)

Rabu, 03 Februari 2010

Pemerintah Susun Insentif Sektor Industri


Kamis, 04/02/2010 09:34 WIB
Hasil Rapat Cipanas
Pemerintah Susun Insentif Sektor Industri
Suhendra - detikFinance


(foto: dok detikFinance)

Jakarta - Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun mengungkapkan hasil rapat Cipanas telah memutuskan untuk menyusun insentif-insentif yang akan diberikan kepada sektor industri pengolahan di dalam negeri. Hal ini dalam rangka mendorong pertumbuhan industri pengolahan.

"Untuk meningkatkan industri pengolahan maka perindustrian diperintahkan untuk mengidentifikasi insentif-insentif apa saja untuk menumbuhkan," ucap Alex saat ditemui disela-sela acara raker Kementerian Perindustrian, Rabu malam (3/2/2010).

Alex menjelaskan salah satu sektor industri pengolahan yang akan menjadi fokus pemerintah adalah pengembangan industri pengolahan rumput laut. Sektor ini dianggap sangat potensial karena Indonesia menjadi salah satu pengekspor rumput laut terbesar di dunia namun masih didominasi dalam bentuk barang mentah.

"Untuk industri rumput laut masalahnya adalah pajak. Kenapa Indonesia lebih suka jadi pedagang?, karena masalah pajak. Makanya banyak yang kirim langsung (ekspor mentah). Ini harus di benahi misalnya pajak harus diturunkan (PPN)," ucapnya.

Ia mengakui masalah perpajakan menjadi momok bagi industri pengolahan rumput laut, banyak pelaku usaha yang beranggapan sudah mendapatkan nilai lebih hanya dengan mengekspor langsung. Sedangkan jika diolah didalam negeri meski memiliki nilai tambah justru terganjal pajak (PPN) yang memberatkan.

"Kita juga akan mengidentifkasi industri pengolahan apa saja. Dengan insentif ini akan memicu pertumbuhan industri pengolahan," katanya.