Rabu, 24 Maret 2010

Rhenald Kasali: Lokasi Menara Jakarta Kurang Menjual


Rabu, 24/03/2010 14:29 WIB
Rhenald Kasali: Lokasi Menara Jakarta Kurang Menjual
Suhendra - detikFinance


Jakarta - Lokasi pendirian Menara Jakarta yang berlokasi di Kemayoran Jakarta Pusat dianggap kurang maksimal jika dilihat dari sudut pandang marketing. Banyaknya wilayah pendukung Kemayoran yang masih harus dibenahi terutama di bidang infrastruktur dan keruwetan lokasi disekitar Kemayoran menjadi kendala utama.

Pakar marketing Rhenald Kasali mengatakan, keberadaan pembangunan Menara Jakarta di Kemayoran tidak berorientasi pasar, namun masih berorientasi pada suplai mengenai ketersedian lahan yang masih kosong di Kemayoran.

Padahal kata dia, orientasi pada pasar sangat penting dalam mengembangkan pembangunan proyek besar seperti Menara Jakarta. Kemayoran saat ini hanya ditopang oleh keberadaan pusat hiburan Ancol dan kawasan Mangga Dua sebagai pusat belanja.

"Saya melihanya tidak lengkap, tidak utuh, sebagai tata ruang tidak maksimal," kata Rhenald saat dihubungi detikFinance, Rabu (24/3/2010).

Dikatakannya, secara nilai jual, wilayah-wilayah pendukung Kemayoran seperti kawasan Galur Senen, Gunung Sahari masuk dalam wilayah kumuh dengan tingkat keruwetan transportasi yang tinggi. Sehingga masih perlu waktu dan dana yang besar untuk mengembangkan wilayah-wilayah sekitar Kemayoran dalam rangka menopang keberadaan menara tersebut.

"Jadi masih melihatnya hanya supply side karena masih banyak tanah kosong di Kemayoran, bukan market side," katanya.

Sehingga, kata dia, untuk kepentingan wisata pun lokasi Kemayoran kurang mendukung sebagai pusat wisata. Bahkan, untuk kepentingan pusat menara telekomunikasi, lokasi Menara Jakarta tidak berada di pusat kota.

Menurutnya, lokasi yang cocok untuk Menara Jakarta antara lain di wilayah segi tiga mas Jakarta yaitu Sudirman dan Kuningan karena telah memiliki infrastruktur yang kuat dan berada di pusat Jakarta. Sementara itu wilayah Jakarta Selatan seperti lingkar luar Simatupang justru masih dianggap memiliki nilai jual karena memiliki banyak akses.

Rencana pembangunan Menara Jakarta kembali dibahas pada Januari 2010 lalu, dengan target pada tahun 2012 sudah bisa berdiri. Menara yang menelan dana minimal Rp 2,1 triliun ini akan berdiri hingga 588 meter yang dikomandani oleh konglemerat Prajogo Pangestu.

(hen/ang)

RI-Hong Kong Hindari Pajak Berganda

Selasa, 23/03/2010 18:35 WIB
RI-Hong Kong Hindari Pajak Berganda
Ramdhania El Hida - detikFinance


Jakarta - Pemerintah Indonesia dan Hong Kong menandatangani persetujuan penghindaran pajak berganda. Dengan perjanjian ini, diharapkan adanya kepastian di bidang investasi oleh kedua belah pihak bisa dibina.

"Dengan cara meniadakan atau mengurangi hambatan yang terkait dengan perpajakan sehingga hal tersebut akan menggalakkan hubungan perekonomian antara kedua belah pihak," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sambutannya dalam acara penadatanganan tersebut di kantornya, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Selasa (23/3/2010).

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Keuangan Hong Kong Special Administrative Region (SAR) Republik Rakyat China John Tsang akan berisi rincian pertukaran informasi wajib pajak, termasuk informasi perbankan antara otoritas.

"P3B ini akan memperkuat integritas sistem perpajakan Indonesia dengan difasilitasinya pertukaran informasi Wajib Pajak," ujar Sri Mulyani.

Selain itu, dengan perjanjian tersebut, kedua belah pihak akan terus melanjutkan upaya-upaya internasional untuk meningkatkan transparansi sistem keuangan dan mencegah penghindaran dan pengelakan pajak di luar negeri.

Direktur Peraturan Perpajakan I Syarifuddin Alsjah menyatakan salah satu isi dari perjanjian ini adalah pengurangan 15% Pajak Penghasilan (PPh) bagi pengusaha asal Hongkong yang menanamkan investasinya di Indonesia.

"Tarif normal 25% untuk dividen jadi 10% untuk normal," jelasnya.

Sedangkan untuk investasi langsung dengan 25% kepemilikan saham, maka akan dikenakan PPh sebesar 5% dari dividen. Untuk pengusaha yang memiliki cabang di Indonesia maka dikenakan pajak 5%. Begitu pula dengan royalti yang didapat pengusaha Hong Kong tersebut di Indonesia akan dikenakan pajak sebesar 5%. Pajak atas bunga yang sebelumnya sebesar 20%, dengan perjanjian ini turun menjadi 10%.

"Kepentingan wajib pajak akan diatur dalam perjanjian ini," ujarnya.

Syarifuddin menyatakan pada tahun 2009, nilai perdagangan Indonesia dengan Hong Kong sebesar US$ 4,5 miliar dengan rata perumbuhan sebesar 9% per tahun sejak tahun 2005 sampai 2009.

Sedangkan, nilai perdagangan Indonesia yang melalui Hong Kong mencapai US$ 2,5 milliar. Dengan perjanjian tersebut, Syarifuddin mengharapkan bisa tumbuh hingga double digit hingga 5 tahun mendatang.

"Pasti ini akan mendorong investasi dan perdagangan. Saya harapkan kita bisa double digit dalam 5 tahun mendatang, bahkan lebih cepat," ujarnya.

Rencananya, penerapan dari peraturaan perpajakan tersebut akan berlaku paling cepat pada awal Januari tahun depan. Untuk kompensasi pengusaha Indonesia yang menanamkan investasinya di Hong Kong, terdapat kemungkinan perhitungan yang sama tetapi terdapat beberapa bagian yang berbeda dengan perhitungan di Indonesia.

(nia/dnl)

Minggu, 21 Maret 2010

14 Sektor Industri Dapat Insentif Bea Masuk di 2010

Kamis, 11/03/2010 13:37 WIB
14 Sektor Industri Dapat Insentif Bea Masuk di 2010
Ramdhania El Hida - detikFinance


Jakarta - Pemerintah akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,53 triliun untuk 14 jenis industri yang diusulkan untuk memperoleh fasilitas Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BM-DTP) dalam APBN-P tahun 2010.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu menyebutkan, insentif tersebut diberikan kepada 5 kuasa pengguna anggaran (KPA). Sektor industri yang akan menikmati insentif tersebut antara lain (1) industri sorbitol, kemasan plastik dan karung plastik dengan pagu Rp 151,79 miliar, kemudian (2) industri pembuatan dan perbaikan kapal, komponen kendaraan bermotor, kabel serat optik, komponen elektronika, dan peralatan telekomunikasi dengan pagu Rp 769,26 miliar.

Sektor lainnya adalah (3) industri komponen PLTU, kawat ban (steel cord), ballpoint, alat besar, karpet berbahan baku plastik yang mendapatkan pagu sebesar Rp 281,89 miliar. Adapun untuk (4) industri perawatan pesawat terbang akan mendapatkan pagu sebesar Rp 312 miliar dan (5) industri kemasan infus mendapatkan pagu sebesar Rp 15,19 miliar.

"Pemberian fasilitas BM-DTP pada sektor tertentu ini bertujuan agar sektor-sektor tersebut bisa meningkatkan daya saing dan memenuhi kebutuhan dalam negeri,” ujarnya dalam MoU Pemberian insentif fiskal berupa bea masuk bagi industri sektor tertentu untuk Tahun Anggaran 2010 di Gedung Kementerian Keuangan, Jalan Wahidin, Jakarta, siang ini (11/3/2010).

Pada kesempatan yang sama, hal senada juga disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurutnya, pemerintah memberikan insentif berupa BM-DTP untuk tahun 2010 ini dalam rangka mendorong sektor riil, dan membantu industri yang selama ini membutuhkan bahan baku impor. Dia menyebutkan, untuk bisa mendapatkan fasilitas
BM-DTP ada 4 kriteria yang harus dimiliki oleh perusahaan terkait.

Keempat kriteria tersebut pertama industri tersebut harus memenuhi penyediaan barang dan atau jasa untuk kepentingan umum dikonsumsi oleh masyarakat luas dan melindungi kepentingan konsumen. Kedua, suatu industri harus meningkatkan daya saing industri nasional. Ketiga, suatu industri merupakan penyerap tenaga kerja, dan yang keempat bisa meningkatkan pendapatan negara.

"Artinya jika industri tersebut berkembang bisa berkontribusi balik melalui peningkatan penerimaan pajak,”jelasnya.

Selain keempat kriteria tersebut, kata Sri Mulyani, ada juga persyaratan mengenai ketentuan spesifikasi barang dan bahan baku yang dimaksud belum diproduksi di dalam negeri.

"Atau jika sudah diproduksi tapi belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan atau juga sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum memenuhi kebutuhan industri,” ujarnya.

Kendati penyerapan insentif fiskal pada beberapa sektor industri tahun lalu tidak maksimal atau sekitar 20%. Sri Mulyani mengingatkan, dalam pemberian insentif kali ini, para penerima diharapkan bisa memanfaatkan fasilitas ini dengan maksimal melalui penyerapan yang optimal.

Merujuk pada pemberian fasilitas BM-DTP dalam dua tahun terakhir, Sri Mulyani menilai pelaksanaannya tidak memuaskan karena realisasi penyerapan yang sangat minimal. Alasan tidak optimalnya penyerapan tersebut, lanjutnya, lantaran perangkat peraturan yang belum rampung seluruhnya. Selain itu juga ada sebagian sektor industri yang rencana bisnisnya berubah-ubah.

"Saat ini pemerintah sudah mempercepat semua regulasi yang menyangkut hal ini, maka tak ada alasan lagi untuk terlambatnya penyerapan,"ujarnya.

Jika masih juga tak terserap, sebagai punishment, pemerintah akan memotong anggaran insentif sebanyak anggaran yang tidak terserap. Selain itu, tahun depan sektor industri tersebut tak akan lagi mendapatkan insentif tersebut.

"Kalau tidak bisa diserap maka anggarannya akan dipotong sebanyak yang tidak bisa diserap itu. Tahun depan kalau hasilnya baik, sesuai kriteria, ya kita akan teruskan. Kalau tidak, ya sektor itu tahun depan tidak usah dikasih insentif lagi kan," tegas Sri Mulyani.

Selain itu, pemerintah juga mengkaji 4 jenis industri untuk memperoleh fasilitas BM-DTP. Keempat jenis industri tersebut adalah perfilman, perikanan, pertambangan, dan perhubungan.

"Ada 4 lagi yang dikaji. Perikanan, perfilman masih membutuhkan, pertambangan, perhubungan," ungkap Anggito.

Menurut Anggito, penambahan industri ini terkait adanya sisa pemberian insentif sebesar Rp 500 miliar. Dalam APBN-P terdapat pagu anggaran sebesar Rp 2 triliun. Sedangkan, yang sudah jelas alokasinya sebesar Rp 1,53 triliun untuk insentif BM-DTP 14 jenis industri.

Rencananya, evaluasi terhadap jenis industri yang akan menerima insentif BM-DTP bisa selesai pada akhir bulan depan.

"Itu nanti berdasarkan usulan. Berdasarkan masukan kita evaluasi kira-kira satu bulan lagi," tegas Anggito. (nia/dnl)

Kamis, 18 Maret 2010

Menkominfo Bersikukuh Asing Tak Boleh Masuk Menara Telekomunikasi

Rabu, 17/03/2010 16:35 WIB
Menkominfo Bersikukuh Asing Tak Boleh Masuk Menara Telekomunikasi
Suhendra - detikFinance


Jakarta - Berbeda dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring menegaskan sektor menara telekomunikasi harus tertutup untuk pelaku asing. Selama ini, belanja modal (capex) bidang komunikasi (ICT) sebanyak 92% sudah dikuasai oleh asing.

Hal ini disampaikan oleh Menkoinfo Tifatul Sembering di Kantor Pusat Ditjen Pajak Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (17/3/2010).

"Capex kita untuk sektor ICT Rp 300 triliun per tahun, 92% belanja kita ke luar negeri ke asing, peluang kita hanya 8% di menara. Apakah ini kita berikan juga," katanya.

Tifatul juga mengatakan jika dibuka untuk asing, justru para pemilik operator telekomunikasi ini lebih banyak melakukan divestasi menara-menara lama. Ia juga optimis pendanaan dalam negeri mampu mendorong pembangunan menara-menara baru di berbagai daerah.

"Sekarang ini jumlah menara 20.000, kita masih butuh 50.000 dalam waktu 5 tahun lagi," katanya.

Menurut Tifatul, sikap kementeriannya untuk bersikukuh tetap tidak membuka sektor menara telekomunikasi agar pelaku usaha domestik tetap diberikan kesempatan. Ia mengakui saat ini banyak usulan agar sektor ini dibuka hingga 51% untuk asing.

"Jadi soal DNI (Daftar Negatif Investasi) itu, ini belum final, masih diskusikan," katanya.

Sebelumnya Kepala BKPM Gita Wirjawan menegaskan, dibukanya sektor menara telekomunikasi untuk asing sangat penting dalam rangka menopang bertambahnya menara telekomunikasi di Tanah Air. Selama ini pelaku lokal masih belum maksimal menambah jumlah menara di berbagai daerah untuk menekan wilayah blank spot.

(hen/dnl)

Jumat, 05 Maret 2010

Matahari Dilego Rp 7,164 Triliun

Bagi Dividen Rp 1 Triliun dan Lunasi Utang
Matahari Dilego Rp 7,164 Triliun

Sabtu, 6 Maret 2010 | 04:04 WIB

Jakarta, Kompas - Manajemen PT Matahari Putra Prima Tbk akan mengajukan pembagian dividen tunai pada tahun 2010 sebesar Rp 1 triliun. Matahari Putra Prima atau MPP juga akan melunasi sebagian besar utang bank dan obligasi yang nilai totalnya mencapai Rp 3,4 triliun.

Direktur Utama MPP Benjamin J Mailool pada paparan publik di Jakarta, Jumat (5/3), mengatakan, sumber dana untuk pembagian dividen dan pembayaran utang itu akan diperoleh dari hasil penjualan 90,76 persen saham PT Matahari Department Store Tbk, salah satu anak usaha terbesar MPP.

Selain mengusulkan pembagian dividen Rp 1 triliun, kami akan membayar sebagian besar utang, baik kepada bank maupun obligasi yang kami terbitkan, sebesar Rp 3,4 triliun. Setelah itu, posisi utang kami akan mendekati nol,” kata Benjamin.

Dia menerangkan, posisi utang perseroan saat ini Rp 3,5 triliun. Terdiri atas obligasi senilai 200 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,8 triliun, obligasi rupiah senilai Rp 500 miliar, dan sisanya utang kepada bank.

Matahari akan dijual kepada Meadows Asia Capital (MAC) di harga Rp 2.705,33 per saham atau total Rp 7,164 triliun. Harga tersebut telah disepakati pada perjanjian awal jual-beli antara MPP dan MAC pada 23 Januari lalu. Namun, pengambilalihan Matahari oleh MAC itu masih akan menunggu persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa MPP yang rencananya akan digelar Maret atau April 2010.

MPP akan mempertahankan kepemilikan tidak langsung di Matahari dengan memiliki sekitar 20 persen saham MAC. MAC sendiri adalah perusahaan yang dimiliki CVC Capital Partners, sebuah perusahaan private equity internasional dengan dana kelolaan 45 miliar dollar AS atau sekitar Rp 400 triliun.

Menurut Benjamin, penjualan Matahari memberikan keuntungan cukup strategis, baik bagi perseroan maupun pemegang saham. Keuntungan bagi perseroan adalah memperkuat kondisi keuangan MPP, yang ekses lanjutannya MPP dapat mempercepat rencana ekspansi usaha Hypermart. Sementara bagi pemegang saham, keuntungannya adalah meningkatkan nilai pemegang saham karena harga jual saham Matahari kepada MAC mencapai hampir dua kali lipat dibanding harga pasar saat ini.

Direktur Keuangan MPP Hendra Siddin mengatakan, jika penjualan Matahari disetujui oleh RUPS-LB, perseroan diperkirakan memperoleh laba bersih tahun 2010 sebesar Rp 7,17 triliun. Naik tinggi dibanding laba tahun 2009 sekitar Rp 300 miliar. Jika transaksi tersebut batal, laba bersih perseroan tahun 2010 diperkirakan Rp 399 miliar.

Direktur dan Sekretaris Perusahaan MPP Lina Latif menambahkan, jika transaksi penjualan Matahari selesai tahun 2010, tahun 2011 manajemen akan mengajukan kepada pemegang saham untuk membagikan dividen tahun 2010 sebesar Rp 1 triliun.

Dalam paparan publik, jajaran direksi MPP juga membantah dugaan rekayasa keuangan dalam transaksi penjualan Matahari. Terkait dengan penjualan Matahari, manajemen MPP menyatakan telah mengikuti semua peraturan yang disyaratkan oleh otoritas pasar modal Indonesia. (REI)