Kamis, 27 Mei 2010

Seimbangkan Fiskal-Moneter

Kamis, 27 Mei 2010 pukul 08:35:00

Seimbangkan Fiskal-Moneter

Fundamental ekonomi masih kuat.

JAKARTA — Kesimbangan kebijakan fiskal dan moneter dibutuhkan dalam mengantisipasi kemungkinan dampak krisis keuangan di Yunani terhadap perekonomian Indonesia. Secara global, aliran krisis akan mempengaruhi tiga hal yakni perdagangan, makro ekonomi, dan pasar uang.

“Keseimbangan fiskal dan moneter menjadi kunci utama mengatasi dampak negatif krisis Yunani,” kata Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Firmanzah, di sela seminar "Map ping Anatomi BUMN Menuju World Class Company", Rabu (26/5).

Menteri BUMN, Mustafa Abubakar, meyakinkan fundamental ekonomi Indonesia masih kuat terkait krisis di Eropa. Cadangan devisa, kata dia, sebagai salah satu indikator, terus bertambah, mencapai 80 miliar dolar AS.

Pada sisi lain, Abubakar menegaskan kondisi pasar modal juga tetap stabil, meski sempat mengalami penurunan. ''Perdagangan kita dengan Eropa, dan khususnya dengan Yunani, sangat kecil. Jadi, tidak terlalu berdampak.''

Lebih jauh, Firmanzah, krisis di Yunani tidak secara langsung berpe ngaruh terhadap perekonomian Indonesia, karena neraca perdagangan kedua negara tidak terlalu besar dan investasi Yunani di Indo nesia juga relatif kecil. Namun, bila krisis Yunani berpengaruh besar terhadap pasar di Eropa, maka kemungkinan efeknya akan sampai di pasar dalam negeri. “Pasar Eropa menjadi salah satu pasar ekspor barang-barang Indonesia. Ini yang perlu diantisipasi karena akan menurunkan porsi ekspor,” katanya. Ia menjelaskan, jika pasar Eropa terpuruk akan berpengaruh terhadap perusahaan beorientasi ekspor.

Secara global, papar Firmanzah, aliran krisis akan mempengaruhi tiga hal yakni perdagangan, mak ro ekonomi, dan pasar uang. Nilai ekspor Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memang relatif kecil atau mencapai 11 persen. Hal ini berbeda dengan Singapura yang mencapai 30-35 persen PDB.

Dari sisi makro ekonomi, krisis keuangan regional akan membuat likuiditas perekonomian suatu negara kering, karena investasi dari luar negeri merosot. Demi kian halnya, di pasar uang akan terjadi gejolak nilai tukar, sekaligus jatuhnya harga saham.

"Jika harga saham merosot di pasar regional, sangat rentan mengimbas pada pasar saham dalam negeri. Sentimen pasar anjlok karena investor keluar," kata Firmanzah.

Firmanzah menegaskan, perlu koordinasi yang tegas antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dalam membuat kesetaraan antara fiskal dan moneter. “Perlu kombinasi antara kebijakan fiskal dan moneter yang mengacu pada kondisi pasar, yang disesuaikan dengan target-target ekonomi pemerintah,” katanya.

Kebijakan fiskal dan moneter yang longgar akan mengakibatkan inflasi tinggi. Sebaliknya, kebijakan yang terlalu ketat mengakibatkan sektor riil tidak bisa berjalan.

BI bertugas menjaga likuiditas terkait dengan suku bunga kredit untuk dapat menggerakkan sektor riil. "BI juga selalu siap melakukan intervensi pasar uang untuk menjaga nilai tukar agar stabil pada kisaran tertentu," tegasnya.

Rupiah

Nilai rupiah dilaporkan sempat menurun. Deputi Gu benur Bank Indonesia (BI), Budi Mulia, mengatakan pelemahan rupiah da lam sebulan terakhir merupakan dinamika temporer dipicu situasi ekonomi global terkait krisis Yunani. Namun, menurut dia, fundamental ekonomi Asia jauh lebih bagus dari pada Eropa yang kini bergejolak.

Ini fenomena global, dipicu krisis utang Yunani dan perkembangan terakhir dipicu permasalahan bank di Spanyol, kata Budi, Rabu.

Karena itu, ujar dia, pelemahan rupiah yang terus terjadi harus dilihat bukan sebagai masalah domestik. Budi menegaskan, krisis Eropa berdampak keseluruh dunia, karena kecemasan para pemilik dana.

Pelemahan rupiah harus bisa dibedakan antara tempo rer karena sentimen tertentu seperti sepanjang bulan ini atau karena ada masa lah fundamental. Dibanding Eropa, katanya, Asia Profil pengelolaan fiskalnya jauh lebih baik.

Mata uang euro terjun bebas ke titik terendah selama delapan setengah tahun terha dap yen dan titik terendah hampir empat tahun melawan dolar AS, Selasa. Merosotnya nilai euro ini diduga sebagai dampak Pemerintah Spanyol yang mengambil alih sebuah bank kecil. palupi annisa/cepi setiadi/teguh firmansyah/c03, ed: yeyen rostiyani

(-)

Rabu, 19 Mei 2010

Konflik Kepentingan Pejabat Pengusaha

Sri Mulyani Beberkan Konflik Kepentingan Pejabat Pengusaha

Rabu, 19 Mei 2010 | 09:34 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Di hadapan para tokoh nasional, Menteri Keuangan Sri Mulyani tadi malam bicara blak-blakan seputar konstelasi politik di balik alasan pengunduran dirinya. Ia pun membeberkan adanya pejabat tinggi negara yang terlibat konflik kepentingan dalam proses pengambilan keputusan yang pada akhirnya menguntungkan mereka atau kerabatnya.

“Banyak yang menyesalkan saya mundur sebagai kekalahan,” kata Sri. “Tapi, di forum ini, saya ingin menegaskan bahwa saya menang, karena tidak berhasil didikte oleh siapa pun yang tidak menginginkan saya di sini.” Penegasan itu disampaikan oleh Sri dalam kuliah umum bertajuk “Kebijakan Publik dan Etika Publik”, yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) di Jakarta tadi malam.

Puluhan tokoh nasional hadir di sana, antara lain Rahman Tolleng, Wimar Witoelar, Yenny Wahid, Erry Riyana Hardjapamekas, Marsillam Simanjuntak, Todung Mulya Lubis, Goenawan Mohamad, Teten Masduki, dan penjabat sementara Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyetujui pengunduran diri Sri, yang akan menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia per 1 Juni mendatang dan berkantor di Washington, DC, Amerika Serikat.

Soal pengunduran dirinya, Sri mengakui keputusan itu dibuat tak lepas dari kondisi politik di dalam negeri. “Ini sebuah kalkulasi politik bahwa sumbangan saya sebagai pejabat publik tak lagi dikehendaki dalam sistem politik di mana perkawinan keputusan itu begitu sangat nyata,” ujarnya.

Orang bilang itu kartel, saya menyebutnya kawin saja.” Pernyataan Sri itu seolah menjawab lontaran yang disampaikan oleh Rocky Gerung dari P2D dalam sambutannya saat membuka acara. Menurut dosen filsafat Universitas Indonesia itu, politik Indonesia kini tidak lagi diwarnai politik akal sehat, melainkan politik kartel.

Yang dimaksudkannya tak lain adalah Presiden Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, yang kini bersepakat membentuk Sekretariat Gabungan Partai Koalisi.
Dalam sistem politik seperti ini, menurut Sri, tidak lagi ada etika berpolitik.

“Orang seperti saya tidak mungkin bisa lagi eksis. Saya memang bukan politikus dan bukan dari partai politik, tapi tidak berarti saya tak mengerti politik.” Itu sebabnya, ia pun merasa telah diperlakukan tidak adil dalam kasus penyelamatan Bank Century yang dipersoalkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. “Apakah proses politik yang ditunggangi oleh suatu kepentingan membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan divonis terhadap dirinya tanpa melalui pengadilan?” ucapnya. “Sedemikian pandainya proses politik itu sehingga dibebankan pada satu orang,” ujarnya lagi.

Hal lain yang juga disentil oleh Sri adalah soal saratnya konflik kepentingan sejumlah “pejabat pengusaha” dalam proses pengambilan keputusan di kabinet. Ia mengaku, sepanjang kariernya sebagai menteri selama lima tahun, ada sejumlah kasus yang dengan jelas menggambarkan perilaku itu.

Menurut Sri, meski para pejabat itu mengaku kepada publik telah meninggalkan segala urusan soal usahanya, keluarganya masih terlibat dalam usaha. Ada kebijakan, kata Sri, yang dibuat, dan dari keputusan itu ternyata yang mendapat keuntungan adalah salah satu perusahaan milik si “Pejabat Pengusaha”.

“Bagaimana mungkin rapat untuk kebijakan publik dilakukan dengan orang yang akan menikmati kebijakan itu?” kata Sri. “Selalu dibilang, yang penting pemerintahan efektif. Ternyata yang impor perusahaan keluarga dia.”

● METTA DHARMASAPUTRA | RIEKA RAHADIAN