Minggu, 11 Juli 2010

Minggu, 11/07/2010 16:47 WIB
Kenaikan TDL Akan Ditebus Dengan Kenaikan UMP di 2011
Suhendra - detikFinance


(ilustrasi foto: dok detikFinance)

Jakarta - Sejumlah kenaikan tarif yang terjadi di tahun 2010, seperti kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang dibebankan ke masyarakat dinilai harus mampu dikompensasikan dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) di tahun 2011. Meski perhitungan kenaikan UMP akan sangat tergantung dengan akumulasi inflasi dan kemampuan pertumbuhan ekonomi masing-masing provinsi.

Anggota Dewan Pengupahan Nasional Mustofa mengatakan dengan adanya tren beberapa kenaikan tarif yang terjadi di 2010 ini maka dipastikan akan terjadi gejolak inflasi yang akan menentukan perubahan UMP tahun 2011 dari tahun ini. Dewan pengupahan setiap provinsi juga setiap bulannya melakukan survey terhadap 46 katagori Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

"Kalau dilihat deflasi dan inflasi harus ada perbedaan dengan UMP tahun 2010," kata Mustofa saat dihubungi detikFinance, Minggu (11/7/2010).

Ia menjelaskan selama ini UMP ditetapkan oleh masing-masing gubernur berdasarkan pertimbangan rekomendasi dewan pengupahan di masing-masing daerah. UMP akan sangat ditentukan oleh hasil KHL, inflasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah.

"Dengan adanya kenaikan-kenaikan tarif secara khusus tidak dihitung, tapi akan langsung tercermin pada hasil akhirnya, yaitu dari 46 komponen kebutuhan hidup layak," katanya.

Tahun 2010 ini pemerintah menargetkan angka inflasi di titik 5,3%, namun dengan adanya kenaikan harga kebutuhan pokok dan beberapa kenaikan tarif diperkirakan target inflasi akan semakin membengkak, yang akan turut menentukan kenaikan UMP.

Sementara itu dari sisi pelaku usaha, hal ini akan menjadi bencana besar karena kenaikan TDL belum tentu akan memberikan ruang gerak bagi pengusaha untuk menaikan harganya karena harus mempertimbangkan persaingan. Sementara sudah pasti biaya produksi akan membengkak yang harus ditanggung pengusaha.

Bahkan pelaku usaha mengharapkan soal UMP tahun 2011 harus benar-benar mengedepankan kepentingan pengusaha agar tetap usahanya bisa terus berjalan. Kenaikan UMP yang benar-benar bulat disesuaikan dengan perubahan inflasi karena dampak TDL belum tentu bisa disanggupi oleh pengusaha.

"Pasti akan diperhitungkan itu, semuanya menderita, baik pengusaha maupun karyawan. Mesti harus dihitung bersama, kelangsungan perusahaan harus didahulukan. Itu pun kalau kuat," kata Ketua Bidang Organisasi dan Pemberdayaan Daerah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto saat dihubungi terpisah.

Daftar perubahan UMP Indonesia di 2010 Indonesia dibandingkan dengan tahun 2009:

  • Aceh Rp 1,3 juta naik dari Rp 1,2 juta
  • Sumut Rp 965.000 naik dari Rp 905.000
  • Sumbar Rp 950.000 naik dari Rp 880.000
  • Riau Rp 1,016 juta naik dari Rp 901.600.
  • Kepulauan Riau Rp 925.000 naik dari Rp 892.000
  • Jambi Rp 900.000 naik dari Rp 800.000
  • Sumsel Rp 927.000 naik dari Rp 824.730
  • Bangka Belitung Rp 910.000 naik dari Rp 850.000
  • Bengkulu Rp 780.000 naik dari Rp 735.000
  • Lampung Rp 767.500 naik dari Rp 691.000
  • Jawa Barat Rp 671.500 naik dari Rp 628.191,15
  • Jakarta Rp 1.118.009 naik dari Rp 1.069.865
  • Banten Rp 955.300 naik dari Rp 917.500
  • Jawa Tengah Rp 660.000 naik dari Rp 575.000
  • Yogyakarta Rp 745.695 naik dari Rp 700.000
  • Jawa Timur Rp 630.000 naik dari Rp 570.000
  • Bali Rp 829.316 naik dari Rp 760.000
  • NTB Rp 915.750 naik dari Rp 832.500
  • NTT Rp 800.000 naik dari Rp 725.000
  • Kalbar Rp 741.000 naik dari Rp 705.000
  • Kalsel Rp 1.024.500 naik dari Rp 930.000
  • Kalteng Rp 873.089 naik dari Rp 986.500
  • Kaltim Rp 1.002.000 naik dari Rp 955.000
  • Maluku Rp 840.000 naik dari Rp 775.000
  • Gorontalo Rp 710.000 naik dari Rp 675.000
  • Sulut Rp 990.000 naik dari Rp 925.500
  • Sultra Rp 860.000 naik dari Rp 770.000
  • Sulteng Rp 777.500 naik dari Rp 720.000
  • Sulsel Rp 1 juta naik dari Rp 905.000
  • Sulbar Rp 944.200 naik dari Rp 909.400
  • Papua Rp 1.316.500 naik dari Rp 1.216.100
  • Papua Barat Rp 1.210.000 naik dari Rp 1.180.000

(hen/dro)
http://www.detikfinance.com/read/2010/07/11/164726/1396942/4/kenaikan-tdl-akan-ditebus-dengan-kenaikan-ump-di-2011?f9911033

Senin, 05 Juli 2010

Kronologi Sengketa Saham TPI

Jumat, 02/07/2010 13:17 WIB
Kronologi Sengketa Saham TPI
Indro Bagus - detikFinance



Jakarta - Kisruh sengketa saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) kembali mencuat setelah sempat terbenam beberapa waktu. Secara dadakan, tiba-tiba kubu Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut kembali melontarkan serangannya terhadap bos Media Nusantara Citra (MNC) Hary Tanoesoedibjo.

Saling klaim antara dua kubu itupun semakin sengit dengan berbagai rumor bertebaran. Sulit membedakan mana yang rumor, mana yang fakta lantaran adanya para pemain isu yang diduga dengan sengaja berupaya membiaskan kenyataan yang ada.

Bagaimana sebenarnya kisruh ini bermula?


TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari pukul 19.00-21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta. Secara bertahap, TPI mulai memanjangkan durasi
tayangnya. Pada akhir 1991, TPI sudah mengudara selama 8 jam sehari.

TPI didirikan oleh putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Cipta Lamtoro Gung Persada.

Stasiun televisi yang akrab dengan masyarakat segmen menengah bawah ini harus diakui tidak memiliki kinerja keuangan yang baik, terutama ketika TPI kemudian memutuskan keluar dari naungan TVRI dan beralih menjadi stasiun musik dangdut pada pertengahan 1990-an.

Secara berangsur-angsur kinerja keuangan memburuk, utang-utang pun kian menumpuk. Pada tahun 2002, posisi utang TPI sudah mencapai Rp 1,634 triliun, jumlah yang sangat besar untuk periode tahun itu.

Mbak Tutut pun yang saat itu juga terbelit utang maha besar kelimpungan. Di satu sisi dirinya menghadapi ancaman pailit, di sisi lain utang TPI juga terancam tak terbayar.

"Di tengah kondisi tersebut, Mbak Tutut meminta bantuan kepada saya untuk membayar sebagian utang-utang pribadinya," ungkap Hary Tanoe, Kamis (2/7/2010).

Sebagai catatan, Hary Tanoe saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Bimantara Citra Tbk (BMTR) yang sekarang berubah nama menjadi PT Global Mediacom Tbk (BMTR). Bimantara Citra merupakan perusahaan kongsi antara Bambang
Trihatmojo, adik Mbak Tutut dengan Hary Tanoe dan kawan-kawan.

"Akhirnya kami sepakat untuk membayar sebagian utang mbak Tutut sebesar US$ 55 juta dengan kompensasi kami akan mendapat 75% saham TPI," jelas Hary.

Oleh sebab itu, kedua belah pihak yakni pihak Mbak Tutut dengan pihak Hary Tanoe melalui PT Berkah Karya Bersama (BKB) menandatangani investment agreement pada 23 Agustus 2002 dan ditandatanganinya adendum surat kuasa pengalihan 75% saham TPI kepada BKB pada Februari 2003.

"Investment agreement dan adendum surat kuasa pengalihan 75% saham TPI ini ditandatangani Mbak Tutut dan saya," ujarnya.

Hary menjelaskan, dana sebesar US$ 55 juta itu digunakan untuk penyertaan modal sebesar US$ 25 juta serta refinancing utang Mbak Tutut sebesar US$ 30 juta.

"Meskipun perjanjiannya US$ 55 juta, realisasi dana yang kita keluarkan mendekati US$ 60 juta. Tapi tidak apa-apa, namanya juga membantu," ujarnya.

Hary menegaskan, dengan perjanjian itu maka kepemilikan TPI sebesar 75% boleh dibilang sudah berada di bawah kepemilikan Bimantara Citra. Namun selanjutnya, Mbak Tutut melayangkan surat kepada BKB pada 20 Desember 2004. Isinya meminta kembali 75% saham TPI yang sudah dipindahtangankan kepada BKB dan Mbak Tutut menjanjikan akan melakukan due diligence (uji tuntas) untuk membayar kompensasi gantinya.

"Tapi dalam surat itu, Mbak Tutut tidak menjelaskan detil mekanisme pembayarannya dan sebagainya. Jadi kami memutuskan membahas dulu permintaan tersebut di internal kami," jelasnya.

Pada 7 Maret 2005, para petinggi Bimantara Citra, induk BKB, menggelar rapat internal. Rapat ini menghasilkan 3 opsi yang akan ditawarkan kepada Mbak Tutut.

Opsi pertama, BKB menjual 75% saham TPI yang dimilikinya kepada Mbak Tutut seharga Rp 630 miliar. Opsi kedua, BKB membeli 25% saham TPI yang dimiliki Mbak Tutut senilai Rp 210 miliar. Opsi ketiga, jika Mbak Tutut tidak mengambil sikap maka kepemilikan saham di TPI tetap BKB sebesar 75% dan Mbak Tutut 25%.

"Pada 8 Maret 2005, kami menyampaikan 3 opsi tersebut kepada Mbak Tutut. Dan pada 10 Maret 2005, kami melayangkan surat pemanggilan RUPS kepada seluruh pemegang saham TPI untuk membahas opsi-opsi tersebut dalam rapat yang
dijadwalkan pada 18 Maret 2005," jelas Hary.

Mbak Tutut pun didaulat harus menyampaikan opsi yang dipilihnya paling lambat pada 17 Maret 2005, agar RUPS dapat membahas mengenai opsi yang dipilih Mbak Tutut.

"Tapi sampai 17 Maret, Mbak Tutut tidak memberikan opsi yang diambil olehnya. Oleh sebab itu, RUPS 18 Maret 2005 memutuskan opsi ke 3, yakni kepemilikan tetap BKB 75% dan Mbak Tutut 25%," ujarnya.

Namun menurut Hary, Mbak Tutut kemudian mengklaim telah menggelar RUPS sendiri pada 17 Maret 2005 yang menghasilkan keputusan bahwa 75% saham TPI kembali ke tangan Mbak Tutut.

"RUPS ini sebenarnya cacat hukum. Pertama, RUPS 17 Maret tidak diketahui oleh jajaran direksi dan komisaris TPI lainnya, kecuali 1 orang saja yang menandatangani RUPS. Direktur ini adalah orang yang ditempatkan Mbak Tutut di
jajaran direksi. Kedua, RUPS 17 Maret dilakukan tanpa melalui proses pemanggilan pemegang saham," papar Hary.

"Ketiga, RUPS digelar dengan alasan Mbak Tutut telah membatalkan secara sepihak adendum surat kuasa pengambilalihan 75% saham TPI ke BKB yang telah ditandatangani pada Februari 2003. Padahal, surat kuasa yang dimaksud ditandatangani oleh dua pihak, sehingga tidak dapat dibatalkan sepihak oleh Mbak Tutut," imbuh Hary.

Selain itu, Mbak Tutut juga menuding Hary Tanoe dengan saudaranya Hartono Tanoe yang menjadi Komisaris di PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) sengaja membuat hasil RUPS 17 Maret 2005 tidak dapat dimasukkan ke dalam Sisminbakum (Sistem Administrasi Badan Hukum), seperti yang dikuak oleh Yohanes Waworuntu.

Namun menurut Hary, alasan ini terlalu dibuat-buat. Hary menegaskan, pertama, baik Bimantara Citra, PT Bhakti Investama Tbk (BHIT) maupun PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) tidak memiliki saham di SRD.

"Kedua, kalau kita bisa memblokir Sisminbakum, negara ini sudah kita kuasai. Mana bisa kita melakukan itu? Saya kira alasan ini terlalu dibuat-buat yang tujuannya satu, merebut kembali TPI dengan cara-cara yang tidak baik," ujarnya.

Tak berhenti sampai disitu, mendadak pada 23 Juni 2010, Mbak Tutut kembali menggelar RUPS yang kemudian menunjuk Ketua Umum Partai Patriot Pancasila Japto Soerjosoemarno sebagai Direktur Utama TPI bersama 3 orang jajaran direksi lainnya.

Landasan Mbak Tutut mengadakan RUPS tersebut adalah dikeluarkannya surat Pejabat Pelaksana Harian (Plh) Direktur Perdata Kementerian Hukum dan HAM, Rieke Amavita bertanggal 8 Juni 2010 yang menyebutkan bahwa Menteri Hukum telah membatalkan surat-surat pengesahan anggaran dasar TPI.

Kubu Mbak Tutut mengklaim, keberadaan surat tersebut dengan sendirinya membatalkan susunan direksi dan komisaris TPI yang sekarang menjabat. Sementara kubu Hary Tanoe mempertanyakan status surat yang dikeluarkan oleh Rieke
tersebut. Menurut Hary, surat tersebut secara hukum tidak dapat membatalkan keputusan RUPS 18 Maret 2005.

Kendati demikian, kubu Mbak Tutut terus melakukan berbagai upaya merebut TPI. Bahkan pada 26 Juni 2005, Japto bersama orang-orangnya mendatangi kantor TPI guna mengklaim dan menduduki kantor tersebut. Kubu Hary Tanoe pun melaporkan upaya pendudukan tersebut ke pihak kepolisian.

Kini, keduanya masih terus bersengketa. Di satu sisi kubu Mbak Tutut terus bergerilya menggoyang status kepemilikan TPI. Di sisi lain, kubu Hary Tanoe terus mengupayakan jalur hukum untuk tetap mempertahankan TPI.

Bagaimana kelanjutannya?
(dro/qom)

Kamis, 01 Juli 2010

Kisruh TPI

Senin, 28/06/2010 00:38 WIB
Mbak Tutut Klaim Kuasai Kembali TPI
Ari Saputra - detikNews

Jakarta - Siti Hardiyati Rukmana atau biasa dipanggil Mbak Tutut mengklaim telah kembali menguasai kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).

Klaim Tutut ini berdasarkan SK pencabutan bernomor AHU.2.AH.03.04-114A yang mencabut SK Menkum HAM pada 2005 yang menyatakan TPI dimiliki perusahaan di bawah naungan Hartono Tanoesoedibjo, PT Berkah Karya Bersama.

"Surat tanggal 8 Juni 2010, Menkum HAM mencabut akta kepemilikan PT BKB. Tanggal 23 Juni, Mbak Tutut mengadakan RUPS dan menetapkan direksi baru," kata kuasa hukum Mbak Tutut, Denny Kailimang kepada wartawan di Kemang, Jakarta Selatan, Minggu (26/6/2010).

Hasil RUPS tersebut menempatkan Japto Soerjosoemarno sebagai Direktur Utama. Sabtu malam (25/6/2010), direksi yang berjumlah 7 orang mendatangi kantor TPI di Menara MNC untuk memberitahu status kepemilikan terbaru. Menurut Denny, mereka dihadang oleh sejumlah orang. Namun, Denny membantah mengirim ratusan orang.

"Itu yang ingin kita luruskan. Jangan diplintir sana-sini. Kita hanya bertujuh mendatangi untuk memberitahu ada keputusan baru dari Menkum HAM," imbuh Japto pada kesempatan serupa.

Silang sengketa TPI bermula 5 tahun lalu. Saat itu, Tutut hendak mendaftarkan direksi baru hasil RUPS ke Depkum HAM lewat sistem online Sisminbakum tetapi dijegal. Alhasil, Tutut kehilangan TPI dan mulai gerilya lewat jalur mediasi atau pengadilan selama 5 tahun.

"Ya mungkin ada sebab. Kita tertolong di sini (penetapan tersangka korupsi Sisminbakum Yusril Ihza dan Hartono Tanoe adik dari Hary Tanoesoedibjo-red)," pungkas Deny yang bersyukur kemenangannya ini ditengarai berawal dari penetapan Yusril dan Hartono menjadi tersangka Sisminbakum.

(Ari/fay)

Sengketa TPI

Rabu, 30/06/2010 10:11 WIB
Sengketa TPI
Hary Tanoe Dampingi Direktur TPI Laporkan Direktur Kemenkum HAM
E Mei Amelia R - detikNews

Jakarta - Direktur Utama Media Nusantara Citra MNC Hary Tanoesoedibjo mendampingi Direktur TPI Ruby Panjaitan menyambangi Polda Metro Jaya. Mereka melaporkan Pelaksana Harian Direktur Perdana Kementerian Hukum dan HAM, Rieke Amavita, terkait pemalsuan dokumen sengketa TPI.

"Saya mendampingi Direktur TPI selaku Direktur MNC. Saya prihatin," kata Hary di Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat, Rabu (30/6/2010).

Kuasa hukum Ruby, Hotman Paris Hutapea, mengatakan Rieke diduga melakukan pelanggaran pasal 263 dan 266 KUHP tentang pemalsuan dokumen dalam akta otentik dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara.

Menurut dia, Rieke diduga telah membuat surat seolah-olah menteri hukum dan HAM membatalkan surat-surat pengesahan anggaran dasar Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Tetapi, ternyata Menkum HAM belum pernah mengeluarkan surat pembatalan.

"Kami menduga surat yang dikeluarkan palsu. Kita harapkan Ibu Rieke Amavita mudah-mudahan cepat menjadi tersangka. Karena, benar-benar tidak ada pembatalan berita negara dan keputusan menteri hanya dengan surat yang dialamatkan ke pengacara," papar Hotman.

(aan/ndr)

Kisruh TPI

Kamis, 01/07/2010 17:25 WIB
Kisruh TPI
Mbak Tutut 'Menjual' TPI ke MNC Group untuk Tutupi Utang
Ari Saputra - detikNews

Jakarta - Kisruh perebutan saham Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) berawal dari utang Siti Hardiyati Rukmana atau Mbak Tutut yang menumpuk awal tahun 2000. Untuk melunasi utangnya itu, Mbak Tutut 'menjual' TPI ke PT Berkah yang masih di bawah bendera MNC Group pada tahun 2005.

Atas jasa MNC Group, Mbak Tutut sempat mengucapkan terimakasih karena MNC Group menyelamatkan biduk usahanya.

"Pihak Hary Tanoesoedibjo menyambut baik pengakuan Tutut yang mengatakan bahwa memang benar bahwa dia membuat surat ucapan terima kasih karena PT Berkah telah membayar utang-utangnya," kata kuasa hukum TPI Andi Simangunsong saat dihubungi wartawan, Kamis (1/6/2010).

Pada saat itu, lanjut Simangunsong, Mbak Tutut mempunyai hutang akibat penutupan Bank Yama - bank yang dibidani Tutut. Selain itu, putri sulung keluarga Cendana tersebut mempunyai tunggakan pajak TPI ke pemerintah, berutang ke Indosat, ke BPPN dan kepada para penyedia acara TPI atau alat. Nilainya, kata Andi sekitar Rp 630 miliar yang telah dilunasi oleh PT Berkah.

"Sebagai imbalan atas pembayaran utang-utang tersebut, Mbak Tutut memberikan kuasa penuh yang tidak dapat dicabut kembali kepada PT Berkah untuk memiliki 75 % saham di TPI yang pelaksanaannya sepenuhnya diberikan kepada PT Berkah," imbuh Simangunsong.

Alhasil, PT Berkah dianggap memiliki hak penuh atas TPI. Menurut Simangunsong, Mbak Tutut tidak berhak membatalkan surat penyerahan TPI ke PT Berkah.

"Seperti analogi membeli tanah. Ketika sudah melakukan pembayaran, penjual tanah tidak dapat membatalkan surat kuasa yang sudah diberikan kepada pembeli tanah. Pembeli tanah tidak perlu meminta izin lagi untuk melakukan balik nama," tegas pria berkacamata minus ini.

Belakangan, kisruh TPI makin mengemuka setelah Mbak Tutut mengklaim memiliki kembali TPI dari MNC Group. Seiring dengan itu, sengketa TPI bersinggungan dengan skandal korupsi Sisminbakum. Sebab, lewat Sisminbakum inilah upaya saling jegal TPI berjalan.

(Ari/anw)