Kamis, 29 Desember 2011

Tegakkan Terus Etika Bisnis

Monday, December 19th, 2011
oleh : Harmanto Edi Djatmiko

Tak konsistennya penerapan Good Corporate Governance telah menyeret Amerika Serikat dan Eropa ke jurang krisis. Sialnya, semua negara harus menanggung dampaknya. Saatnya etika bisnis kian ditegakkan.

Tanpa motif mencari laba, jangankan tumbuh besar, sekadar bertahan pun sulit bagi suatu perusahaan. Bersumber dari laba, perusahaan bisa melakukan banyak hal penting: menggaji karyawan, membayar pajak, meningkatkan kualitas produk dan layanan, dan seterusnya. Dari laba pula, perusahaan berpeluang melakukan ekspansi usaha sehingga membuka kesempatan kerja lebih luas dan membayar pajak lebih besar ke kas negara. Perusahaan jelas beda dari yayasan atau bentuk-bentuk semacamnya yang sedari awal menyatakan diri organisasi nirlaba (nonprofit organization), walaupun dalam praktiknya sering dipakai sejumlah oknum untuk menimbun kekayaan pribadi. Perusahaan, sejak kelahirannya, menyatakan diri sebagai profit organization.
Kendati karena sifatnya itu perusahaan sering dijuluki budak ekonomi kemajuan suatu negara dan bangsa sangat ditentukan oleh kehebatan perusahaan kebanggaan mereka. Bahkan dewasa ini, untuk mengukur maju-tidaknya suatu negara, secara mudah bisa dilihat dari ada-tidaknya perusahaan mereka yang mampu bicara di kancah internasional. Tak usahlah menyebut korporasi sekelas Unilever (Belanda), Mercedes (Jerman) atau Citibank (AS). Di tingkat Asia Tenggara saja, Malaysia kini cukup disegani karena punya Petronas. Singapura punya Singapore Airlines. Thailand memiliki Charoen Pokphand. Filipina terkenal berkat San Miguel. Sayangnya, setidaknya sampai saat ini, rasanya belum ada perusahaan atau brand asal Indonesia yang bisa seterkenal itu di pergaulan bisnis global. Padahal, Indonesialah yang menggagas berdirinya ASEAN.

Walaupun awalnya sekadar mencari laba, dalam perjalanannya, banyak perusahaan raksasa terbukti berperan besar mendinamisasi kehidupan sosial masyarakat. Di Hiroshima, Jepang, misalnya, peran Mazda sangat sentral dalam pemulihan ekonomi dan pembangunan kota itu dari puing-puing kehancuran pascaserangan bom atom pada Perang Dunia II. Di Korea Selatan, selain Hyundai, Samsung dan raksasa sekelasnya yang sumbangannya sangat nyata bagi bangsa Korea, bangkitnya industri kreatif di negara itu juga telah menderaskan arus wisatawan asing untuk sekadar diarahke tempat syuting serial drama cinta Winter Sonata

Yang harus selalu dicermati, tentu saja, bagaimana atau dengan cara seperti apa suatu perusahaan beroperasi untuk meraih laba. Sebetulnya, belajar dari perusahaan yang mampu bertahan puluhan bahkan ratusan tahun, seperti tertuang dalam buku Good to Great karya Jim Collins, rumusnya simpel saja: selain sangat disiplin di aspek finansialnya, mereka selalu menjadi warga yang baik di masyarakat tempat mereka beroperasi. Dalam bahasa Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance/GCG), kehadiran suatu perusahaan mestinya mampu memberikan maslahat maksimal dan berkelanjutan bagi semua pemangku kepentingannya (stakeholder). 

Sebaliknya, banyak perusahaan yang buruk penerapan GCG-nya terbukti berakhir dengan bencana. Krisis finansial yang belum lama ini memorakporandakan perekonomian AS juga bersumber dari perilaku perusahaan raksasanya (seperti kasus Enron) yang melanggar prinsip GCG. Begitu pula, bencana serupa yang kini melanda negara-negara Eropa. Para ahli dan praktisi bisnis pun sependapat, kini saatnya semua pemangku kepentingan di AS dan Eropa mawas diri, teristimewa perihal pengelolaan utang dan fiskal yang selama ini memang kurang hati-hati. Terkait krisis finansial kawasan Eropa saat ini, kondisi dan kinerja institusi keuangan di sana belakangan memang terus merosot kualitasnya yang berbuntut krisis kepercayaan dan diikuti krisis likuiditas yang parah.

Di tengah prahara finansial yang kini melanda Eropa, sungguh tepat waktunya SWA mengingatkan lagi pentingnya penerapan GCG secara konsisten. Tahun ini, untuk ke-9 kalinya SWA bekerja sama dengan Indonesia Institute for Corporate Governance, menggelar survei Corporate Governance Perception Index (CGPI). Tahun lalu (2010), ada 13 aspek yang diukur mencakup: transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, keadilan (fairness), komitmen, kompetensi, misi, kepemimpinan, kolaborasi, moral etika, strategi, dan budaya. Tahun ini (2011), tetap 13 aspek, tetapi aspek budaya diganti aspek iklim etikal. Ini untuk menunjukkan kesungguhan dewan komisaris dan direksi dalam menciptakan suasana kondusif agar para anggota perusahaan bertindak jujur, menepati janji, serta menjunjung tinggi tata nilai dan norma yang selaras dengan prinsip GCG dalam upaya mewujudkan bisnis yang beretika dan bermartabat.

Dari hasil survei tersebut, ditampilkan sejumlah perusahaan yang sejauh ini konsisten menerapkan prinsip GCG. Tujuannya agar semakin banyak perusahaan di negeri ini yang mengikuti jejak mereka. Toh, telah terbukti, sejumlah perusahaan yang rajin berpartisipasi dalam survei CGPI sejak awal hingga kini, mengelaborasi prinsip GCG menjadi budaya dalam perilaku sehari-hari perusahaan. Jadi, mereka tahu do dan don’t perusahaan sangat terpercaya,G. Suprayitno, Ketua Juri GCG 2011, menandaskan. Dia mengambil contoh PT Aneka Tambang yang telah melakukan revitalisasi budaya perusahaan. Juga, PT Adhi Karya yang tadinya hanya bergerak di bidang konstruksi, kini menjadi beyond construction disesuaikan dengan perkembangan bisnis terkini.

Kabar baik juga, partisipan survei GCG tahun ini meningkat, dari 28 peserta (2010) menjadi 34 peserta (2011). SWA sangat menghargai perusahaan yang berani berpartisipasi dalam survei GCG ini kendati mungkin mereka bukanlah perusahaan yang ersih Justru di sinilah krusialnya peran para pemangku kepentingan untuk terus menyorot, mencermati sekaligus mengkritisi sepak terjang mereka. Begitu juga para investor, terlebih regulator. Hanya dengan cara itu, etika bisnis bisa ditegakkan dan berkelanjutan di negeri ini.

 http://swa.co.id/2011/12/tegakkan-terus-etika-bisnis/