Tegakkan Terus Etika Bisnis
Monday, December 19th, 2011oleh : Harmanto Edi Djatmiko

Tanpa
motif mencari laba, jangankan tumbuh besar, sekadar bertahan pun sulit
bagi suatu perusahaan. Bersumber dari laba, perusahaan bisa melakukan
banyak hal penting: menggaji karyawan, membayar pajak, meningkatkan
kualitas produk dan layanan, dan seterusnya. Dari laba pula, perusahaan
berpeluang melakukan ekspansi usaha sehingga membuka kesempatan kerja
lebih luas dan membayar pajak lebih besar ke kas negara. Perusahaan
jelas beda dari yayasan atau bentuk-bentuk semacamnya yang sedari awal
menyatakan diri organisasi nirlaba (nonprofit organization),
walaupun dalam praktiknya sering dipakai sejumlah oknum untuk menimbun
kekayaan pribadi. Perusahaan, sejak kelahirannya, menyatakan diri
sebagai profit organization.
Kendati karena sifatnya itu perusahaan sering dijuluki budak
ekonomi kemajuan suatu negara dan bangsa sangat ditentukan oleh
kehebatan perusahaan kebanggaan mereka. Bahkan dewasa ini, untuk
mengukur maju-tidaknya suatu negara, secara mudah bisa dilihat dari
ada-tidaknya perusahaan mereka yang mampu bicara di kancah
internasional. Tak usahlah menyebut korporasi sekelas Unilever
(Belanda), Mercedes (Jerman) atau Citibank (AS). Di tingkat Asia
Tenggara saja, Malaysia kini cukup disegani karena punya Petronas.
Singapura punya Singapore Airlines. Thailand memiliki Charoen Pokphand.
Filipina terkenal berkat San Miguel. Sayangnya, setidaknya sampai saat
ini, rasanya belum ada perusahaan atau brand asal Indonesia yang bisa seterkenal itu di pergaulan bisnis global. Padahal, Indonesialah yang menggagas berdirinya ASEAN.
Walaupun
awalnya sekadar mencari laba, dalam perjalanannya, banyak perusahaan
raksasa terbukti berperan besar mendinamisasi kehidupan sosial
masyarakat. Di Hiroshima, Jepang, misalnya, peran Mazda sangat sentral
dalam pemulihan ekonomi dan pembangunan kota itu dari puing-puing
kehancuran pascaserangan bom atom pada Perang Dunia II. Di Korea
Selatan, selain Hyundai, Samsung dan raksasa sekelasnya yang
sumbangannya sangat nyata bagi bangsa Korea, bangkitnya industri kreatif
di negara itu juga telah menderaskan arus wisatawan asing untuk sekadar
diarahke tempat syuting serial drama cinta Winter Sonata.
Yang
harus selalu dicermati, tentu saja, bagaimana atau dengan cara seperti
apa suatu perusahaan beroperasi untuk meraih laba. Sebetulnya, belajar
dari perusahaan yang mampu bertahan puluhan bahkan ratusan tahun,
seperti tertuang dalam buku Good to Great karya Jim Collins,
rumusnya simpel saja: selain sangat disiplin di aspek finansialnya,
mereka selalu menjadi warga yang baik di masyarakat tempat mereka
beroperasi. Dalam bahasa Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance/GCG),
kehadiran suatu perusahaan mestinya mampu memberikan maslahat maksimal
dan berkelanjutan bagi semua pemangku kepentingannya (stakeholder).
Sebaliknya,
banyak perusahaan yang buruk penerapan GCG-nya terbukti berakhir dengan
bencana. Krisis finansial yang belum lama ini memorakporandakan
perekonomian AS juga bersumber dari perilaku perusahaan raksasanya
(seperti kasus Enron) yang melanggar prinsip GCG. Begitu pula, bencana
serupa yang kini melanda negara-negara Eropa. Para ahli dan praktisi
bisnis pun sependapat, kini saatnya semua pemangku kepentingan di AS dan
Eropa mawas diri, teristimewa perihal pengelolaan utang dan fiskal yang
selama ini memang kurang hati-hati. Terkait krisis finansial kawasan
Eropa saat ini, kondisi dan kinerja institusi keuangan di sana
belakangan memang terus merosot kualitasnya yang berbuntut krisis
kepercayaan dan diikuti krisis likuiditas yang parah.
Di tengah prahara finansial yang kini melanda Eropa, sungguh tepat waktunya SWA mengingatkan lagi pentingnya penerapan GCG secara konsisten. Tahun ini, untuk ke-9 kalinya SWA bekerja sama dengan Indonesia Institute for Corporate Governance, menggelar survei Corporate Governance Perception Index
(CGPI). Tahun lalu (2010), ada 13 aspek yang diukur mencakup:
transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, keadilan (fairness),
komitmen, kompetensi, misi, kepemimpinan, kolaborasi, moral etika,
strategi, dan budaya. Tahun ini (2011), tetap 13 aspek, tetapi aspek
budaya diganti aspek iklim etikal. Ini untuk menunjukkan kesungguhan
dewan komisaris dan direksi dalam menciptakan suasana kondusif agar para
anggota perusahaan bertindak jujur, menepati janji, serta menjunjung
tinggi tata nilai dan norma yang selaras dengan prinsip GCG dalam upaya
mewujudkan bisnis yang beretika dan bermartabat.
Dari
hasil survei tersebut, ditampilkan sejumlah perusahaan yang sejauh ini
konsisten menerapkan prinsip GCG. Tujuannya agar semakin banyak
perusahaan di negeri ini yang mengikuti jejak mereka. Toh, telah
terbukti, sejumlah perusahaan yang rajin
berpartisipasi dalam survei CGPI sejak awal hingga kini, mengelaborasi
prinsip GCG menjadi budaya dalam perilaku sehari-hari perusahaan. Jadi, mereka tahu do dan don’t perusahaan
sangat terpercaya,G. Suprayitno, Ketua Juri GCG 2011, menandaskan. Dia
mengambil contoh PT Aneka Tambang yang telah melakukan revitalisasi
budaya perusahaan. Juga, PT Adhi Karya yang tadinya hanya bergerak di
bidang konstruksi, kini menjadi beyond construction disesuaikan dengan perkembangan bisnis terkini.
Kabar baik juga, partisipan survei GCG tahun ini meningkat, dari 28 peserta (2010) menjadi 34 peserta (2011). SWA sangat menghargai perusahaan yang berani berpartisipasi dalam survei GCG ini kendati mungkin mereka bukanlah perusahaan yang 澱ersih
Justru di sinilah krusialnya peran para pemangku kepentingan untuk
terus menyorot, mencermati sekaligus mengkritisi sepak terjang mereka.
Begitu juga para investor, terlebih regulator. Hanya dengan cara itu,
etika bisnis bisa ditegakkan dan berkelanjutan di negeri ini.
http://swa.co.id/2011/12/tegakkan-terus-etika-bisnis/