Rabu, 25 Januari 2012

Dan detikcom Bukan Lagi Sekadar Situs Berita Seketika

Refleksi Abdul Rahman

Abdul Rahman - detikNews
Kamis, 26/01/2012 09:11 WIB 

 Jakarta - Butuh Rp 25 miliar dan 5 tahun untuk membuktikan bahwa konsep detikcom bisa jalan. Dalam masa 5 tahun itu, sekian banyak perusahaan sejenis lain tumbang, beberapa setelah menghabiskan dana jauh lebih banyak – Astaga.com, misalnya, total menelan lebih dari Rp 100 miliar.

Kesulitan utama yang dihadapi adalah persaingan: karena Internet melampaui batas-batas negara, kompetisi di sini berskala global. Hampir di semua kegiatan yang bisa dilakukan selalu ada kompetitor asing (biasanya Amerika) yang sudah lebih dulu ada. Kecuali tentu saja di negara yang pemerintahnya sengaja menutup akses seperti China yang memblok Facebook, Twitter, Youtube serta mempersulit Google.

Maka, model bisnis yang bisa jalan adalah yang sangat bersifat lokal, seperti berita singkat seketika detikcom (lihat: Sebuah Situs Berita Seketika). Tapi model ini terbatas aplikasinya, tak cocok diterapkan untuk di luar berita-berita yang cepat bergerak. Setelah itu apa?

detikcom dan pemain-pemain lokal lain waktu itu dihadapkan pada banyak pilihan pengembangan. Kebanyakan lalu mencontoh Yahoo! karena itulah model yang paling sukses. Yahoo! berkembang dari sekadar penyedia katalog Internet ke aneka konten (News, Finance, Games, anak-anak, dsb) seperti diceritakan di tulisan sebelumnya (Google Yang Maha Kuasa).

Yang lebih penting, Yahoo juga keluar dari sekadar menyediakan konten dan akses ke konten (portal/direktori): mengikuti Hotmail dan ICQ, Yahoo! membangun webmail (Yahoo! Mail) dan instant messaging (Yahoo! Messenger). Layanan-layanan ini membuat Yahoo! semakin dibutuhkan dan semakin mendominasi Internet dengan pangsa pengunjung sampai 60%.

detikcom – dan hampir semua pemain lokal waktu itu – pun mengikuti. Tapi saya segera sadar, tak mungkin layanan webmail lokal mampu melawan Yahoo! Mail dan Hotmail. Tak ada keunggulan berarti karena tak ada nilai lokal yang bisa dipakai untuk diferensiasi (kecuali bahasa, tapi ternyata orang Indonesia tak masalah dengan bahasa Inggris dan lagi pula akhirnya Yahoo! dan yang lainnya mengeluarkan layanan berbahasa Indonesia juga). Sementara itu ongkos bandwidth di Indonesia jauh lebih mahal dan pemain asing terus memperbaiki teknologinya. Maka layanan tersebut segera ditutup. detikcom memilih fokus ke konten dengan mengembangkan aneka konten lain seperti Olahraga, Hiburan, teknologi, bahkan makanan) karena di sini faktor lokal besar (berita-berita lokal).

Masalahnya, tentu saja, konsep timeline tak terlalu cocok diterapkan ke konten-konten baru ini karena tak banyak berita yang bisa terus menerus diikuti pada jenis konten seperti itu. Oleh karena itu, pada konten-konten baru ini penulis tak bisa diharapkan menyumbang banyak update seperti di news. Karena tak banyak update, dorongan pembaca untuk terus menerus mengikuti pun kurang. Akibatnya, unit biaya untuk menghasilkan trafik (pageviews, jumlah pengunjung) pun besar.

Lebih tingginya biaya di konten-konten baru inilah yang membuat detikcom lebih lama meraih keuntungan (5 tahun). Kalau hanya bertahan pada breaking news saja, profitability bisa diraih lebih cepat (dalam 2 tahun kira-kira). Bahkan sampai sekarang pun, sejujurnya, belum seluruh kanal di detikcom mencapai titik impas. Namun berkat layanan-layanan baru tersebut detikcom bisa terus memperkuat posisinya di pasar. Hampir seluruh kanal detikcom adalah nomor satu di bidangnya. Dengan posisinya yang kuat di pasar, detikcom bisa mengambil porsi belanja iklan online Indonesia cukup besar (4 tahun lalu sekitar 40%).

Namun seperti ditulis di artikel sebelumnya, kini situasi sudah berubah: Google menyedot semakin banyak belanja iklan, buat dirinya sendiri maupun buat didistribusikan ke jutaan media lain, besar kecil, dari blog-blog sampai detikcom, di seluruh dunia. Sisanya dibagi aneka Advertising Network global serta langsung ke media-media lokal seperti detikcom. Bahkan di Amerika pun media-media yang dulu raksasa semakin tereduksi sampai akhirnya cuma menjadi pemain pinggiran. Hal yang sama akan terjadi di Indonesia juga.

Kenyataan di atas tak terlalu menjadi masalah karena belanja iklan online tumbuh sangat cepat. Meski porsi yang diambil berkurang, total pendapatan tetap naik. Pangsa iklan detikcom mungkin sudah turun ke angka 20%-an tapi total pendapatan iklannya tetap tumbuh besar tiap tahun.

Pada akhirnya yang menjadi korban tentu saja media-media konvensional: porsi belanja iklan buat mereka akan terus berkurang. Pada awalnya yang terkena adalah radio (sudah), lalu cetak (sedang) dan pada akhirnya nanti juga TV, yaitu ketika akses internet sudah sangat mudah dan cepat dan situs-situs video terutama Youtube sudah diisi konten-konten berkualitas.

Dan repotnya bagi media konvensional, media online pun terus melengkapi diri dengan konten-konten video seperti mulai dilakukan detikcom sekarang dengan membuat detikTV dan MyTrans ...


*) Abdul Rahman, pendiri detikcom, Dirut PT Agranet Multicitra Siberkom (Agrakom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar