MARTIONO HADIANTO: Potret usaha tambang baru sebatas jualan konsesi
Oleh
Firman Hidranto
Rabu, 28 Desember 2011 | 09:45 WIB
JAKARTA: Menjelang tutup tahun 2011, tercatat sedikitnya ada 8.000
izin usaha pertambangan (IUP) yang telah dikeluarkan. Dari total izin
sebanyak itu, 6.000 IUP berpotensi terjadi tumpang tindih satu sama
lain.
Munculnya kondisi itu tidak terlepas dari kewenangan izin yang berada di daerah sesuai dengan amanat UU No. 4.2009 tentang Mineral dan Batu bara. Pemberian kewenangan itu juga sebagai wujud merespon semangat UU No. 34/2004 mengenai Otonomi Daerah.
Berkaitan dengan itu, Ketua Indonesia Mining Association (IMA) Martiono Hadianto menyoroti potret industry pertambangan khususnya mineral di penghujung tahun dan kebijakan yang perlu diperbaiki ke depannya pada satu perbincangan di bilangan Mega Kuningan, akhir pekan lalu. Berikut petikannya;
Apa yang Anda amati mengenai industri pertambangan secara umum?
Saya sebagai pelaku industri pertambangan cukup surprised ketika mengetahui kini ada sedikitnya 8.000 IUP yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pasca UU No. 4/2009. Padahal, dari 398 kabupaten di Indonesia, hanya sekitar 30 kabupaten yang memiliki potensi tambang. Artinya, setiap kabupaten yang memiliki potensi tambang itu ada sekitar 267 IUP.
Dari sisi jumlah, izin yang dikeluarkan bisa dikatakan luar biasa. Pada konteks ini ada beberapa pertanyaan yang muncul, apakah izin yang dikeluarkan itu sudah memenuhi persyaratan, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi bagi daerah yang bersangkutan atau tidak?, Pada tataran itu, kita bisa mengetahuinya dari perusahaan yang mengajukan izin itu masuk katagori perusahaan besar, menengah atau kecil?
Pertanyaan berikutnya, bagaimana mereka melakukan eksplorasi dan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan UU seperti kewajiban reklamasi atau CSR (corporate social responsibility)? Saya tidak yakin perusahaan yang memiliki IUP saat ini memiliki kemampuan sesuai dengan ketentuan-ketentuan itu. Saya yakin mereka memiliki motif ekonomi yang sesaat, ambil untung cepat, yakni jualan konsesi saja.
Artinya, menurut pandangan Anda, ada yang salah dalam UU Minerba itu?
Pada tataran regulasi, kewenangan izin yang diserahkan kepada pemda telah menyebabkan terjadinya obral pemberian izin. Padahal, Pasal 33 UUD 1945 sangat jelas menjelaskan kekayaan itu dikuasai oleh Negara. Dengan pendekatan itu, potret industri pertambangan masih jauh dari harapan, yakni menciptakan pertumbuhan ekonomi. Implikasi lanjutan lainnya adalah kerusakan lingkungan semakin massif.
Pemerintah kini sedang melakukan verifikasi atau audit terhadap 6.000 IUP yang berpotensi tumpang tindih. Apakah ini akan menyelesaikan masalah?
Saya tidak yakin bisa dituntaskan segera. Investor memiliki izin legal sesuai dengan UU, yakni izin dari pemda. Memang persoalan tumpang tindih pada akhirnya berakhir ke pengadilan. Namun sampai berapa lama. Saya berpendapat perlu terobosan. Bentuk yang menarik bisa kita contoh dalam praktik usaha di sector perkebunan, berupa konsep inti-plasma. Ini bisa menyelesaikan persoalan izin di sector pertambangan.
Pada tataran regulasi, rezim perizinan harus dikembalikan kepada pemerintah pusat. Dengan demikian, ada alat control terhadap izin itu. Pemda bisa memberikan usulan bahkan menarik investor, namun izin itu tetap ada di pusat. Begitu juga dengan adanya kewenangan di daerah, saya meragukan kemampuan perangkat yang dimiliki satu pemda untuk memverifikasi kemampuan investor, pertama kemampuan SDM dalam konteks pertambangan, data soal kekayaan SDA, dan kemampuan analisa perusahaan. Itu semua tidak dimiliki oleh pemda. Akibatnya, mereka bisa didikte oleh investor. Ujungnya bisa kita lihat terjadinya obral konsesi.
Begitu juga pada UU Minerba, harus dipisahkan regulasi yang menyangkut usaha pertambangan batu bara dan mineral. Meskipun sama-sama usaha pertambangan, kedua tambang itu memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain.
Pemerintah juga kini sedang melakukan renegosiasi. Alasannya, kontrak pertambangan di masa lalu dinilai tidak adil dan menciderai asas keadilan bagi rakyat. Sampai sejauh ini, bagaimana perkembangannya dari renegosiasi tersebut?
Inti dari renegosiasi itu adalah bersifat sukarela. Namun, dalam beberapa kali perundingan dengan pemerintah, renegosiasi itu sudah mencapai beberapa kemajuan yang sangat berarti. Tentunya, renegosiasi kontrak itu jangan sampai menjadi disinsentif bagi iklim investasi di sektor tambang, yang kini saya nilai belum menarik. Bandingkan dengan China memberikan semua fasilitas karena tujuan akhir dari datangnya investor itu adalah tersedianya lapangan kerja. (faa)
Munculnya kondisi itu tidak terlepas dari kewenangan izin yang berada di daerah sesuai dengan amanat UU No. 4.2009 tentang Mineral dan Batu bara. Pemberian kewenangan itu juga sebagai wujud merespon semangat UU No. 34/2004 mengenai Otonomi Daerah.
Berkaitan dengan itu, Ketua Indonesia Mining Association (IMA) Martiono Hadianto menyoroti potret industry pertambangan khususnya mineral di penghujung tahun dan kebijakan yang perlu diperbaiki ke depannya pada satu perbincangan di bilangan Mega Kuningan, akhir pekan lalu. Berikut petikannya;
Apa yang Anda amati mengenai industri pertambangan secara umum?
Saya sebagai pelaku industri pertambangan cukup surprised ketika mengetahui kini ada sedikitnya 8.000 IUP yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pasca UU No. 4/2009. Padahal, dari 398 kabupaten di Indonesia, hanya sekitar 30 kabupaten yang memiliki potensi tambang. Artinya, setiap kabupaten yang memiliki potensi tambang itu ada sekitar 267 IUP.
Dari sisi jumlah, izin yang dikeluarkan bisa dikatakan luar biasa. Pada konteks ini ada beberapa pertanyaan yang muncul, apakah izin yang dikeluarkan itu sudah memenuhi persyaratan, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi bagi daerah yang bersangkutan atau tidak?, Pada tataran itu, kita bisa mengetahuinya dari perusahaan yang mengajukan izin itu masuk katagori perusahaan besar, menengah atau kecil?
Pertanyaan berikutnya, bagaimana mereka melakukan eksplorasi dan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan UU seperti kewajiban reklamasi atau CSR (corporate social responsibility)? Saya tidak yakin perusahaan yang memiliki IUP saat ini memiliki kemampuan sesuai dengan ketentuan-ketentuan itu. Saya yakin mereka memiliki motif ekonomi yang sesaat, ambil untung cepat, yakni jualan konsesi saja.
Artinya, menurut pandangan Anda, ada yang salah dalam UU Minerba itu?
Pada tataran regulasi, kewenangan izin yang diserahkan kepada pemda telah menyebabkan terjadinya obral pemberian izin. Padahal, Pasal 33 UUD 1945 sangat jelas menjelaskan kekayaan itu dikuasai oleh Negara. Dengan pendekatan itu, potret industri pertambangan masih jauh dari harapan, yakni menciptakan pertumbuhan ekonomi. Implikasi lanjutan lainnya adalah kerusakan lingkungan semakin massif.
Pemerintah kini sedang melakukan verifikasi atau audit terhadap 6.000 IUP yang berpotensi tumpang tindih. Apakah ini akan menyelesaikan masalah?
Saya tidak yakin bisa dituntaskan segera. Investor memiliki izin legal sesuai dengan UU, yakni izin dari pemda. Memang persoalan tumpang tindih pada akhirnya berakhir ke pengadilan. Namun sampai berapa lama. Saya berpendapat perlu terobosan. Bentuk yang menarik bisa kita contoh dalam praktik usaha di sector perkebunan, berupa konsep inti-plasma. Ini bisa menyelesaikan persoalan izin di sector pertambangan.
Pada tataran regulasi, rezim perizinan harus dikembalikan kepada pemerintah pusat. Dengan demikian, ada alat control terhadap izin itu. Pemda bisa memberikan usulan bahkan menarik investor, namun izin itu tetap ada di pusat. Begitu juga dengan adanya kewenangan di daerah, saya meragukan kemampuan perangkat yang dimiliki satu pemda untuk memverifikasi kemampuan investor, pertama kemampuan SDM dalam konteks pertambangan, data soal kekayaan SDA, dan kemampuan analisa perusahaan. Itu semua tidak dimiliki oleh pemda. Akibatnya, mereka bisa didikte oleh investor. Ujungnya bisa kita lihat terjadinya obral konsesi.
Begitu juga pada UU Minerba, harus dipisahkan regulasi yang menyangkut usaha pertambangan batu bara dan mineral. Meskipun sama-sama usaha pertambangan, kedua tambang itu memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain.
Pemerintah juga kini sedang melakukan renegosiasi. Alasannya, kontrak pertambangan di masa lalu dinilai tidak adil dan menciderai asas keadilan bagi rakyat. Sampai sejauh ini, bagaimana perkembangannya dari renegosiasi tersebut?
Inti dari renegosiasi itu adalah bersifat sukarela. Namun, dalam beberapa kali perundingan dengan pemerintah, renegosiasi itu sudah mencapai beberapa kemajuan yang sangat berarti. Tentunya, renegosiasi kontrak itu jangan sampai menjadi disinsentif bagi iklim investasi di sektor tambang, yang kini saya nilai belum menarik. Bandingkan dengan China memberikan semua fasilitas karena tujuan akhir dari datangnya investor itu adalah tersedianya lapangan kerja. (faa)
http://www.bisnis.com/articles/martiono-hadianto-potret-usaha-tambang-baru-sebatas-jualan-konsesi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar