Selasa, 27 Oktober 2009

Indonesia alami Deindustrialisasi

27/10/2009 - 15:15

MS Hidayat Diterjang Deindustrialisasi
Ahluwalia

MS Hidayat
(inilah.com /Vina)

INILAH.COM, Jakarta - Kabinet baru, menteri perindustrian baru, namun soal industri tetap masalah lama yang memusingkan, yakni gejala deindustrialisasi. Bisakah MS Hidayat mengatasi soal ini?

Menteri Perindustrian MS Hidayat harus bekerja cerdas dan ekstra keras karena perekonomian Indonesia mengalami proses deindustrialisasi. Industri manufaktur menghadapi berbagai hambatan internal dan eksternal, sehingga tidak dapat tumbuh secara optimal. Kendala eksternal tak kalah banyaknya. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur, fisik dan nonfisik, kurang memadai.

Ekonom Faisal Basri mengingatkan bahwa pasokan energi (bahan bakar minyak, listrik, dan gas) dimonopoli badan usaha milik negara (BUMN) yang memiliki kebijakan tidak selalu sejalan dengan kebijakan energi nasional. Kebijakan ekspor energi kurang mempertimbangkan kebutuhan di dalam negeri. Contoh, gas diekspor, sementara kebutuhan bahan baku industri petrokimia, keramik, dan lain-lain belum terpenuhi.

Tak mengherankan setelah peran industri manufaktur dalam menciptakan nilai tambah mencapai puncaknya pada 2004 dengan kontribusi 28,1% pada PDB, kini cenderung merosot. Sejak 2004, perannya terus turun hingga tinggal 27,1% pada 2007 dan sedikit meningkat menjadi 27,9% pada 2008.

Penurunan peran akan terus berlanjut sejalan dengan pertumbuhan yang lebih rendah dari pertumbuhan PDB. Banyak pihak menuding perbankan nasional kurang 'bersahabat' dengan industri. Perbankan lebih senang menyalurkan kredit ke sektor nonindustri yang memiliki risiko investasi tinggi, dan masa pengembalian investasi lama, ketimbang sektor lain yang lebih 'instan' dan berisiko rendah. Perbankan lebih tertarik pada pembiayaan konsumsi dan pembangunan properti.

Penyaluran kredit perbankan ke sektor industri secara nominal memang tetap tumbuh, tetapi persentasenya makin rendah. Pada 1985, hampir 40% kredit perbankan disalurkan ke sektor industri pengolahan. Pada 2008, industri manufaktur hanya memperoleh 16% kredit perbankan.

"Perbankan nasional hanya memberikan 16% dari total kredit ke sektor manufaktur, dan lebih condong mengucurkan kredit ke sektor konsumsi dan properti berisiko rendah," kata ekonom A Tony Prasentiantono dari Universitas Gadjah Mada.

Akibatnya, pertumbuhan PDB negeri ini sekitar 60% didorong sektor konsumsi. Konsumsi mendorong impor yang menguras devisa. Total impor pangan mencapai Rp55 triliun/tahun, termasuk impor garam sekitar Rp900 miliar.

Data dari Visi 2030 dan Roadmap 2015 menyebutkan, sejak krisis ekonomi (2000-2009), industri manufaktur nonmigas rata-rata tumbuh 5,7%. Sedikit lebih tinggi dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang 5,2%. Pertumbuhan sektor manufaktur 2004-2008 hanya 5,6%.

Gejala deindustrialisasi ini juga terlihat dari konsumsi BBM industri yang terus turun sejak 2000, juga konsumsi listrik industri. Per 2008, peran industri manufaktur tinggal 27,9% dari PDB setelah sempat mendekati 35%.

Untuk mengejar pertumbuhan 7%, pemerintah tak bisa lain harus mengutamakan sektor riil, khususnya manufaktur, pertanian, dan UKM. Manufaktur tak bisa lain revitalisasi industri serta membangun infrastruktur yang kini sangat tidak memadai.

Sejak krisis ekonomi 1997-1998, industri manufaktur mengalami penurunan pertumbuhan sangat drastis. Pada 10 tahun menjelang krisis (1987-1996), industri manufaktur nonmigas tumbuh rata-rata 12%/tahun, lima poin lebih tinggi dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada waktu itu (6,9%). Setelah krisis (2000-2008), industri manufaktur nonmigas rata-rata tumbuh 5,7%/tahun, sedikit lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDB (5,2%).

Belakangan, pertumbuhan industri manufaktur cenderung turun, bahkan menjadi lebih rendah dari pertumbuhan PDB. Inilah tantangan bagi Menteri Perindustrian MS Hidayat dalam memetakan masalah dan memecahkan problemnya.

Dalam periode 20 tahun ke depan, menurut Kadin, Indonesia dapat diciptakan sebagai negara industri maju dan bangsa niaga tangguh yang makmur dalam keadilan dan kemakmuran melalui kebangkitan kekuatan rekayasa, rancang bangun, manufaktur, dan jaringan penjualan produk industri nasional. Ini terutama dengan cara menghasilkan barang dan jasa berkualitas unggul yang menang bersaing dengan produk negara-negara di kawasan Asia, seperti Vietnam, Malaysia, dan Cina, baik di pasar domestik maupun regional.

Kebangkitan kekuatan industri nasional pengolah hasil sumber daya alam dengan produk olahan bermutu terjamin sehingga dapat tercapai swasembada pangan secara lestari dan berkemampuan ekspor.

Menteri Perindustrian MS Hidayat harus bergerak ke arah sana. [mor]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar