Rabu, 15 Februari 2012 , 08:03:00 WIB
RMOL.Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Indonesia menyatakan, biaya logistik di Indonesia yang
mencapai 24 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB), atau senilai
Rp 1.820 triliun per tahun, merupakan biaya logistik paling tinggi di
dunia.
Anggota Lembaga Pengkajian Peneliti dan Pengembangan Ekonomi
(LP3E) Kadin Indonesia Ina Primiana mengatakan, angka tersebut setara
dengan Rp 1.820 triliun yang terbagi dalam biaya penyimpanan sebesar Rp
546 triliun, biaya transportasi Rp 1.092 triliun dan biaya
administrasi sebesar Rp 182 triliun.
Dijelaskannya, biaya logistik di Indonesia terbilang sangat tinggi
jika dibandingkan Malaysia yang hanya 15 persen, serta Amerika dan
Jepang 10 persen. Biaya penanganan kontainer di Indonesia juga paling
tinggi di antara negara-negara Asia Tenggara. Bahkan, pembayaran
biaya logistik pun harus dengan dolar AS.
“Untuk kontainer 20 kaki di Pelabuhan Tanjung Priok tarifnya 95 dolar
AS (sekitar Rp 858 ribu), sementara Malaysia hanya 88 dolar AS (sekitar
Rp 795 ribu) dan Thailand 63 dolar AS (sekitar Rp 587 ribu),” ujar Ina
di Kantor Kadin Indonesia, Jakarta, kemarin.
Selain paling mahal, mata uang yang dibayar oleh pelaku usaha dalam
membayar biaya logistik pun berbeda. Di Malaysia dan Thailand,
pembayaran bisa dibayar dengan mata uang setempat, tetapi di Indonesia
harus dengan dolar AS.
Tidak hanya itu, sambung Ina, biaya angkut antar kota dan antar pulau
di Indonesia pun terbilang mahal dibandingkan Singapura. Misalnya,
ongkos pengapalan kontainer dari Padang, Sumatera Barat ke Jakarta
mencapai 600 dolar AS (sekitar Rp 5,4 juta), sedangkan dari Singapura
ke Jakarta hanya 185 dolar AS (sekitar Rp 1,6 juta).
“Belum lagi setiap kapal yang melakukan bongkar muat di pelabuhan harus mengalokasikan dananya Rp 150 juta per hari,” keluhnya.
Menurutnya, faktor logistik yang mahal itu menjadi salah satu
penyebab sulitnya mencapai ketahanan pangan di Indonesia. “Dikarenakan
kondisi riil logistik Indonesia yang masih sangat buruk, sehingga ada
ketidaklancaran ketika dilaksanakan pengiriman dari sentra produksi
ke sentra konsumsi di Indonesia,” jelasnya.
Selain itu, regulasi dan mutu pelayanan logistik Indonesia juga masih
buruk. Karena waktu jeda barang impor di Indonesia bisa mencapai lima
sampai enam hari. Ada pula infrastruktur yang masih konvensional dan
belum ada konektivitas antar satu lokasi ke lokasi lainnya.
Kendala lainnya, Ina menyebutkan, teknologi informasi dan
komunikasi juga menjadi permasalahan dalam proses pemantauan arus
barang serta banyaknya dokumen yang harus dipersiapkan.
“Untuk meningkatkan daya saing, harus ada pembenahan infrastruktur
dan konektivitas. Selain itu, diperlukan evaluasi ulang terkait hal-hal
yang menjadi beban biaya logistik, seperti biaya antrian di
pelabuhan, biaya sewa gudang, rumitnya masalah perizinan, kepengurusan
di pabean,” beber Ina. [Harian Rakyat Merdeka]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar