Oleh
Donald Banjarnahor
Senin, 06 Februari 2012 | 17:31 WIB
JAKARTA: Meskipun tidak menggunakan sistem bunga, tetapi
perbankan syariah selama ini menjadikan tingkat bunga di industri
konvensional sebagai salah satu acuan untuk menentukan tingkat bagi
hasil dan margin pembiayaan.
Hal tersebut disebabkan karena industri keuangan syariah selama ini belum memiliki acuan dalam menetapkan imbalan atas pembiayaan kepada masing-masing sektor industri.
Namun, pengaruh bunga di pasar konvensional terhadap industri syariah dinilai akan berkurang karena Bank Indonesia (BI) segera meluncurkan indeks tingkat imbal hasil sektor riil di Tanah Air.
“Bulan ini kami akan luncurkan indeks sektor riil yang bisa dipakai oleh perbankan syariah untuk menentukan pricing pembiayaan bagi sektor tertentu,” ujar Rifki Ismal, Peneliti Senior Direktorat Perbankan Syariah BI, hari ini.
Dia menjelaskan indeks tersebut akan memperkuat prinsip syariah dari industri, yang selama ini masih terpengaruh tingkat bunga yang ada di pasar konvensional. “Kalau kontrak syariah masih mengacu pada bunga konvensional maka dia belum 100% syariah,” jelasnya.
Indeks sektor riil merupakan proyek tahun jamak (multiyears) Bank Indonesia dibantu oleh sebuah konsultan riset sejak 2010. Dalam proyek ini ada 11 sektor usaha yang diteliti oleh bank sentral untuk melihat besaran imbal hasil dari masing-masing sektor. Sektor yang diteliti a.l. agrikultur, pertambangan, dan energi.
Meski demikian, lanjut Rifki, indeks ini hanya acuan dan tidak dapat dipaksakan kepada bank syariah untuk segera menerapkannya.
“Untuk penerapan ke depan paling tidak ada tiga faktor yakni kondisi ekonomi, kemauan dari bank serta kalkulasi dari bank terhadap komponen dari pembiayaan,” jelasnya.
Berdasarkan data sementara Bank Indonesia, tingkat bunga di konvensional pada akhir November 2011 berkisar antara 11,59% untuk kredit investasi, 12% untuk modal kerja dan 13,37% untuk konsumsi.
Sementara itu, tingkat margin dan ekuivalen bagi hasil industri perbankan syariah sebesar 9,49% untuk pembiayaan konsumsi, 14,49% untuk investasi dan 15,73% untuk modal kerja.
Bambang Widjanarko, Direktur Bisnis Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah), mengatakan tingkat bunga bank konvensional masih berpengaruh cukup besar, karena pangsa pasar industri keuangan syariah yang relatif masih kecil, yakni di bawah 4%.
“Namun, suku bunga di pasar konvensional hanya salah satu faktor, karena bagi bank syariah ada tiga komponen dalam menentukan bagi hasil, yakni biaya dana, biaya operasional dan premi risiko,” ujarnya kepada Bisnis.
Untuk itu, lanjutnya, digunakan atau tidaknya indeks acuan dari BI masih akan dihitung kembali oleh masing-masing bank dengan memperhitungkan tiga komponen tersebut.
“BI tentunya memiliki formula dalam menentukan indeks masing-masing sektor, mudah-mudahan cocok sehingga bisa diserap. Jangan sampai terlalu memberatkan bagi bank,” jelasnya.
Dia menambahkan selama ini BNI Syariah juga telah meneliti beberapa sektor usaha guna menghitungkan premi risiko masing-masing sektor. Hal serupa juga telah dilakukan oleh bank syariah lainnya.
“Kalau sektor itu berisiko tinggi, maka premi lebih tinggi yang mengakibatkan tarifnya lebih mahal. Namun, kalau sektor itu tergolong lancar maka preminya bisa lebih rendah,” jelasnya. (faa)
Hal tersebut disebabkan karena industri keuangan syariah selama ini belum memiliki acuan dalam menetapkan imbalan atas pembiayaan kepada masing-masing sektor industri.
Namun, pengaruh bunga di pasar konvensional terhadap industri syariah dinilai akan berkurang karena Bank Indonesia (BI) segera meluncurkan indeks tingkat imbal hasil sektor riil di Tanah Air.
“Bulan ini kami akan luncurkan indeks sektor riil yang bisa dipakai oleh perbankan syariah untuk menentukan pricing pembiayaan bagi sektor tertentu,” ujar Rifki Ismal, Peneliti Senior Direktorat Perbankan Syariah BI, hari ini.
Dia menjelaskan indeks tersebut akan memperkuat prinsip syariah dari industri, yang selama ini masih terpengaruh tingkat bunga yang ada di pasar konvensional. “Kalau kontrak syariah masih mengacu pada bunga konvensional maka dia belum 100% syariah,” jelasnya.
Indeks sektor riil merupakan proyek tahun jamak (multiyears) Bank Indonesia dibantu oleh sebuah konsultan riset sejak 2010. Dalam proyek ini ada 11 sektor usaha yang diteliti oleh bank sentral untuk melihat besaran imbal hasil dari masing-masing sektor. Sektor yang diteliti a.l. agrikultur, pertambangan, dan energi.
Meski demikian, lanjut Rifki, indeks ini hanya acuan dan tidak dapat dipaksakan kepada bank syariah untuk segera menerapkannya.
“Untuk penerapan ke depan paling tidak ada tiga faktor yakni kondisi ekonomi, kemauan dari bank serta kalkulasi dari bank terhadap komponen dari pembiayaan,” jelasnya.
Berdasarkan data sementara Bank Indonesia, tingkat bunga di konvensional pada akhir November 2011 berkisar antara 11,59% untuk kredit investasi, 12% untuk modal kerja dan 13,37% untuk konsumsi.
Sementara itu, tingkat margin dan ekuivalen bagi hasil industri perbankan syariah sebesar 9,49% untuk pembiayaan konsumsi, 14,49% untuk investasi dan 15,73% untuk modal kerja.
Bambang Widjanarko, Direktur Bisnis Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah), mengatakan tingkat bunga bank konvensional masih berpengaruh cukup besar, karena pangsa pasar industri keuangan syariah yang relatif masih kecil, yakni di bawah 4%.
“Namun, suku bunga di pasar konvensional hanya salah satu faktor, karena bagi bank syariah ada tiga komponen dalam menentukan bagi hasil, yakni biaya dana, biaya operasional dan premi risiko,” ujarnya kepada Bisnis.
Untuk itu, lanjutnya, digunakan atau tidaknya indeks acuan dari BI masih akan dihitung kembali oleh masing-masing bank dengan memperhitungkan tiga komponen tersebut.
“BI tentunya memiliki formula dalam menentukan indeks masing-masing sektor, mudah-mudahan cocok sehingga bisa diserap. Jangan sampai terlalu memberatkan bagi bank,” jelasnya.
Dia menambahkan selama ini BNI Syariah juga telah meneliti beberapa sektor usaha guna menghitungkan premi risiko masing-masing sektor. Hal serupa juga telah dilakukan oleh bank syariah lainnya.
“Kalau sektor itu berisiko tinggi, maka premi lebih tinggi yang mengakibatkan tarifnya lebih mahal. Namun, kalau sektor itu tergolong lancar maka preminya bisa lebih rendah,” jelasnya. (faa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar