Rabu, 24 Juni 2009

Harga Saham Tidak Selalu Linier dengan Laba Perusahaan


Laba Bersih Naik, Harga Saham Tidak Selalu Linier
Kamis, 11 Juni 2009
Oleh : Eva Martha Rahayu

Ketika mayoritas emiten kinerjanya biasa-biasa, bahkan anjlok, sejumlah perusahaan berhasil mencetak kenaikan laba bersih di atas 100%. Siapa saja mereka dan bagaimana korelasinya dengan harga saham di pasar?

Wajah-wajah semringah mewarnai raut muka direksi PT BISI International Tbk. Mereka lega bisa menutup tahun 2008 dengan kinerja keuangan yang jempolan. Selasa 2 Juni 2009, bertempat di ballroom Hotel JW Marriott Jakarta, Jemmy Eka Putra, Presdir BISI, mengumumkan kenaikan laba bersih perusahaan 162,26% dari Rp 150,19 miliar menjadi Rp 349,4 miliar dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.

Namun, pengumuman prestasi itu mendadak membuat investor ciut hatinya, manakala Jemmy melanjutkan presentasi dengan mengatakan, “Tahun ini perusahaan tidak membagikan dividen.” Karena merasa penasaran, Hendra, investor perorangan, mengacungkan tangan dan bertanya, “Mengapa tidak dibagi?” Lalu, Jemmy dengan ramah menegaskan bahwa laba bersih tahun buku 2008 ditahan untuk menambah modal kerja perusahaan. Sebenarnya tidak ada yang ganjil dalam kasus BISI itu. Artinya, perusahaan yang mencetak laba sah-sah saja tidak membayarkan sebagian keuntungan itu kepada investor.

Keberhasilan BISI membukukan profit besar bukanlah pekerjaan mudah. Maklum, tahun lalu krisis global masih menghantui dunia bisnis, sehingga banyak emiten yang rapornya merah. Toh, BISI dan sebagian kecil emiten lainnya bisa unjuk gigi menunjukkan rapor birunya dengan nilai yang cemerlang.

Selain BISI, ada sejumlah emiten lain yang berhasil mengukir laba bersih signifikan. Dari 397 emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), ada puluhan emiten yang laba bersihnya naik di atas 100%. Siapa saja mereka dan bagaimana prestasi itu bisa diraih?

Laba bersih PT Medco Energy Internasional Tbk. adalah yang paling tinggi kenaikannya, yakni mencapai 4.145%, dari US$ 6,6 juta menjadi US$ 280,2 juta. Lonjakan ini akibat naiknya pendapatan sebesar 19% dari US$ 1,1 miliar menjadi US$ 1,3 miliar, serta penjualan dua anak perusahaan (Apexindo dan Medco E&P Tuban).

Sementara itu, PT Adaro Energy Tbk. juga membukukan kenaikan laba bersih yang fantastis: 902%, yaitu dari Rp 88,53 miliar pada 2007 menjadi Rp 887,2 miliar di tahun 2008. Peningkatan laba bersih produsen batu bara itu terutama disebabkan kenaikan perolehan harga jual dan kenaikan produksi.

Setelah Adaro, PT Capitalinc Investment Tbk. tidak mau kalah. Perusahaan investasi ini memperoleh kenaikan laba bersih 1.001%, dari minus (Rp 71 miliar) pada 2007 menjadi Rp 640 miliar tahun lalu. Kemudian PT Ancora Indonesia Resources Tbk., laba bersihnya melonjak 458% dari Rp 2,99 miliar pada 2007 menjadi Rp 16,74 miliar tahun 2008.

Begitu halnya PT Indo Tambangraya Megah Tbk., laba bersihnya melesat 390%, yang di tahun 2008 tercatat Rp 2,57 triliun, padahal tahun sebelumnya hanya Rp 525,44 miliar. Juga, PT Multi Bintang Indonesia Tbk., laba bersih terdongkrak 163,46% dari Rp 84,38 miliar pada 2007 menjadi Rp 222,31 miliar tahun 2008.

Hanya itu? Tidak. Coba tengok PT Jasa Marga Tbk., perusahaan operator jalan tol ini mampu membukukan kenaikan laba bersih 154,6% dari Rp 277,98 miliar menjadi Rp 707,79 miliar. Pemicu lonjakan ini adalah naiknya pendapatan setelah dibuka beberapa jalur baru dan kenaikan tarif tol.

Sementara itu, laba bersih PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. naik 135,12% dari Rp 726,21 miliar menjadi Rp 1,71 triliun. Peningkatan laba ini disebabkan kenaikan harga komoditas batu bara di pasaran dunia sebagaimana yang dialami oleh Adaro.

PT Ciputra Property Tbk. (divisi properti Grup Ciputra khusus proyek komersial/nonpermukiman) laba bersihnya juga naik 135% dari Rp 80 miliar menjadi Rp 188 miliar. Peningkatan ini akibat kenaikan pendapatan dari lima anak usaha: hotel dan mal Ciputra Semarang, hotel dan mal Ciputra Jakarta, serta Apartemen Myhome. Tak lupa PT Ace Hardware Indonesia Tbk. berhasil meraih kenaikan laba bersih 117% dari Rp 60,07 miliar pada 2007 menjadi Rp 130,64 miliar di tahun 2008.

Jika dilihat dari sektor industri emiten yang mencetak kenaikan laba bersih tajam itu kebanyakan dari sektor komoditas, seperti batu bara, migas, dan perkebunan, selain sektor infrastruktur. Ini bisa dimengerti lantaran tahun 2007-2008 harga komoditas sedang tinggi-tingginya. Wajar saja, sebagai pembanding, Juni 2007 harga minyak dunia mencapai US$ 147/barel, lalu tahun berikutnya berangsur turun menjadi US$ 30-an/barel, dan kini US$ 60-an/barel. “Selain itu, biasanya kontrak perdagangan komoditas itu berlangsung cukup panjang, sehingga bisa saja transaksi tahun 2007 masih berimbas di 2008,” tutur Pardomuan Sihombing, Kepala Riset PT Paramitra Alfa Sekuritas.

Saham-saham emiten yang unggul laba bersihnya itu pun tak semuanya tergolong blue chips. Tolok ukurnya mudah sekali, perhatikan apakah saham-saham itu masuk deretan indeks LQ 45, Jakarta Composite Islamic Index, atau Kompas 100. Misalnya, saham Jasa Marga, Indo Tambangraya Megah, Capitalinc Investment, Ciputra Property, Ace Hardware Indonesia dan lainnya, tidak masuk saham unggulan tersebut.

Lalu, apakah kenaikan laba bersih tiap emiten itu berkorelasi positif terhadap harga sahamnya? “Tepat sekali. Itu otomatis,” ujar Pardomuan tandas. Namun, datangnya respons itu bervariasi rentang waktunya. Ada kalanya investor langsung menanggapi seketika, baru bereaksi seminggu kemudian pasca RUPS, atau merespons justru sebelum diumumkan resmi lewat RUPS. Jadi, informasi yang didapat investor itu dari rumor. Mengapa ini bisa terjadi? Menurutnya, hal itu disebabkan tiga faktor: pasar modal kita masih kecil, kurang efisien, dan investornya belum well-educated. Dengan demikian, bila ada sesuatu yang sensitif, maka pasar cepat bereaksi dengan euforia.

Jika terjadi kenaikan harga saham, besarnya peningkatan itu pun bervariasi. Pardomuan memberi contoh, jika ada emiten X yang laba bersihnya tumbuh 50%, bisa saja harga sahamnya malah terkerek naik 100%. Demikian sebaliknya. Yang jelas, umumnya sentimen kenaikan laba bersih itu akan ditanggapi dalam tempo 1-2 minggu. Maklum, berikutnya yang menjadi benchmark adalah kinerja keuangan per kuartal.

Ketika harga saham sudah naik, investor bisa merespons dengan mengambil posisi buy atau sell. Untuk posisi beli, pertimbangannya adalah prospeknya bagus untuk jangka panjang. Sementara itu, yang ambil posisi jual menilai, inilah momentum yang tepat untuk merealisasikan untung berupa capital gains. “Bila ambil posisi beli, sebaiknya saham yang dipilih terdiversifikasi,” ujar Pardomuan mengingatkan. Diversifikasi ini maksudnya kombinasi antara saham yang mature dan growth. Umumnya, karakter mature stock dimililiki oleh sektor consumer goods, telekomunikasi dan perbankan. Sebaliknya, growth stock melekat pada bidang properti, multifinance, farmasi, dan transportasi.

Menurut Ikhsan Binarto, kenaikan laba bersih tidak selalu linier dengan harga sahamnya. Analis PT Optima Securities itu mengungkapkan, harga saham itu juga dipengaruhi oleh profil risiko investor dan faktor eksternal, yaitu kondisi pasar. Sebagai contoh, tahun 2008 sentimen pasar kurang bagus. Bisa diduga, ketika laba bersih naik gila-gilaan, harga saham tidak sekonyong-konyong naik seperti lonjakan laba bersih. Belum lagi jika karakter pemodalnya itu risk averse, maka saham yang dibeli akan di-keep untuk jangka panjang, sehingga tidak ada trading yang membentuk harga. “Tidak selinier itu korelasinya. Asalkan fundamental bagus, maka jangka panjangnya bagus pula. Ibaratnya itu kenaikan yang tertunda saja,” ia menerangkan.

Untuk lebih jelasnya, gambaran harga saham sejumlah emiten yang laba bersihnya naik tajam adalah berikut ini. Pada 4 Juni 2009, harga saham Multi Bintang Indonesia Rp 110 ribu, Indo Tambangraya Megah Rp 21.800, Tambang Batubara Bukit Asam Rp 13.150, dan Jasa Marga Rp 1.660.

Anehnya, likuiditas saham-saham dari emiten yang laba bersihnya naik tajam itu kurang. Pardomuan tidak terkejut dengan kenyataan itu. “Sebab saham-saham itu di-keep oleh pihak-pihak tertentu, sehingga jumlah saham yang beredar terbatas,” ia menjelaskan. Contohnya, founder yang ingin menjadi pengendali saham mayoritas. Akibatnya, harga saham yang dilepas ke publik cuma 10%. Untunglah, aturan baru Bapepam saat ini mensyaratkan minimum 20% dari total saham yang disetor.

Lantas, apakah emiten yang laba bersihnya naik signifikan itu juga selalu membagikan dividen? Kalau kita simak kasus BISI, jawabannya tidak selalu. Akan tetapi, investor pasti akan lebih senang jika emiten bersedia menyisihkan keuntungan untuk mereka. “Kalau perusahaan itu mature, biasanya laba akan dikembalikan pada investor. Contohnya Unilever rajin bagi dividen tiap tahun,” ungkap Pardomuan. Juga, sebagaimana diungkapkan Boy Garibaldi Thohir, Dirut PT Adaro Energy, tahun ini perusahaan yang sahamnya juga dimiliki mantan Presdir Astra International TP Rachmat itu membayar dividen tunai Rp 377,43 miliar atau 42,5% dari total laba bersihnya. Di samping itu, disepakati penyisihan cadangan Rp 44,36 miliar, dan laba ditahan Rp 465,4 miliar.

Di luar Adaro dan Unilever, beberapa emiten pun sepakat membagi dividen untuk tahun buku 2008, antara lain, Multi Bintang Indonesia yang membayar dividen Rp 15 ribu/saham, Indo Tambangraya Megah Rp 1.345/saham, Tambang Batubara Bukit Asam Rp 371,05/saham, dan Jasa Marga Rp 52/saham.

Investor menyambut sukacita pembayaran dividen emiten yang laba bersihnya naik tajam. Sebab dividen adalah salah satu pertimbangan investor dalam memilih saham. “Tentu saja prioritas kita membeli saham itu masuk kategori blue chips dengan likuiditas bagus, kapitalisasi pasar besar, fundamental oke dan dividen itu masuk fundamental juga,” kata Ferry Kojongian, Presdir PT Gani Asset Manajemen yang ogah membeberkan berapa total dana kelolaan perusahaannya.

Sumaryono pun tergolong investor yang loyal pada emiten yang rajin membagi dividen. Bagi dia, idealnya laba bersih yang diraih emiten itu tidak 100% untuk penambahan modal perusahaan. “Sebaiknya sih 50% untuk dividen dan 50% untuk laba ditahan,” ujar investor perorangan yang juga Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia itu menyarankan. Dia mengaku sekitar lima tahun terakhir menikmati dividen Unilever, meski laba bersih raksasa consumer goods itu tidak naik lebih dari 100%.

Ke depan, prospek saham sejumlah emiten yang laba bersihnya naik di atas 100% diperkirakan analis masih menjanjikan. Baik Pardomuan maupun Ikhsan setuju, meski tidak semua saham emiten yang labanya terkerek lebih dari 100% itu blue chips, sektor industrinya mendukung, banyak emiten yang melakukan efisiensi, dan kondisi bursa tahun 2009 lebih baik dari sebelumnya. Saat ini, IHSG sudah menembus angka 2.000 dan rata-rata nilai transaksi harian BEI mencapai Rp 5-8 triliun.


Riset: Dumaria Manurung


URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/portofolio/details.php?cid=1&id=9318

Tidak ada komentar:

Posting Komentar