Senin, 29 Juni 2009

Rating Ekonomi Indonesia Lebih Baik


Analisis Danareksa
Layak Mendapat "Rating" Lebih Baik

Senin, 29 Juni 2009 | 04:08 WIB

Baru-baru ini Moody’s Rating Agency, sebuah lembaga rating internasional, menaikkan prospek (outlook) rating Indonesia dari stabil menjadi positif. Kenaikan tersebut terasa lebih tinggi nilainya mengingat saat ini prospek dan rating beberapa negara justru turun akibat krisis ekonomi global. Budi Susanto

Perkembangan ekonomi Indonesia menarik perhatian dunia ketika pada kuartal I-2009 mampu tumbuh 4,37 persen di tengah perekonomian dunia yang sedang kontraksi. Sebelumnya, ekonomi Indonesia juga mencatat pertumbuhan mengesankan 6,06 persen pada 2008. Sebagai perbandingan, ekonomi Amerika Serikat sebagai sumber krisis hanya tumbuh 1,1 persen pada 2008.

Secara keseluruhan, ekonomi negara-negara Asia lebih tahan terhadap krisis ekonomi kali ini dan diperkirakan pulih lebih cepat dibanding kawasan dunia lainnya. Karena eksposure Asia terhadap sumber krisis relatif lebih rendah, penurunan persepsi risiko atas pasar keuangan Asia terjadi lebih cepat. Hal ini tercermin pada perkembangan credit default swap (CDS). Harga CDS atas investasi di negara-negara emerging market Asia saat ini turun cepat hingga mendekati level pertengahan 2008, yakni sebelum kebangkrutan Lehman Brother yang menyebabkan meroketnya harga CDS. Padahal, CDS untuk produk investasi negara maju seperti AS dan negara di Eropa belum kembali ke level pertengahan tahun 2008.

Pasar saham Indonesia mencatat imbal hasil tertinggi di Asia. Mungkin salah satu yang tertinggi di dunia, menghasilkan return lebih dari 50 persen hanya dalam waktu kurang dari enam bulan. Sementara itu, pasar obligasi juga mengalami pemulihan harga hingga indeks rata-rata yield obligasi pemerintah berkupon tetap sempat menyentuh kisaran 9,7 persen, turun signifikan dibandingkan level tertinggi tahun ini 13,56 persen pada awal Maret 2009.

Prospek ”rating” naik

Kinerja ekonomi yang baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang mempunyai rating yang setingkat, mendorong Moody’s menaikkan prospek rating Indonesia. Kini, Moody’s memberikan rating Ba3 kepada Indonesia untuk utang dalam mata asing jangka panjang. Kenaikan prospek adalah setengah jalan menuju kenaikan rating sehingga jika kita mampu mempertahankan prestasi yang telah dicapai, lembaga rating kemungkinan besar akan menaikkan rating menjadi Ba2. Rating Ba2 oleh Moody’s setara dengan rating BB dari Standard & Poor’s (S&P) dan Fitch Rating.

Sementara itu, saat ini S&P memberikan rating BB- kepada Indonesia untuk utang dalam mata uang asing jangka panjang, sedangkan Fitch sudah terlebih dulu menaikkan rating menjadi BB pada tahun 2008 untuk jenis utang yang sama.

Langkah Moody’s menaikkan prospek Indonesia diperkirakan tidak lama lagi akan diikuti oleh S&P. Jika dibandingkan dengan negara sepadannya (peers), rating Indonesia masih terbilang rendah. Contohnya Malaysia, mendapatkan rating A- untuk utang dalam mata asing jangka panjang dari S&P, sedangkan Thailand dan Filipina masing- masing meraih rating BBB+ dan BB- untuk jenis utang dari lembaga rating yang sama.

Dengan situasi ekonomi dan sistem keuangan Indonesia terkini dan didukung oleh kepastian hukum yang lebih baik, semestinya dapat menjadi modal besar untuk mengubah paradigma lembaga rating terhadap creditworthiness atas Indonesia. Pentingnya mendapatkan rating yang baik adalah karena rating merupakan salah satu referensi penting para investor menanamkan modalnya di suatu negara. Selain modal dalam negeri, penanaman modal dari luar negeri, terutama investasi bersifat jangka panjang, akan sangat membantu mempercepat pertumbuhan negara yang sedang membangun seperti Indonesia.

Jika dirunut ke belakang, Indonesia pernah meraih rating BBB dari S&P atau ekuivalen dengan Baa3 pada awal 1990-an. Namun, rating Indonesia turun tajam sejak krisis ekonomi, bahkan pernah mengalami tiga kali mendapat rating selective default (SD), yakni tahun 1999, 2000, dan 2002. Rating SD diberikan saat pemerintah masa itu dianggap default atas salah satu kewajiban keuangan kepada kreditor atau pihak lainnya.

Saat ini pemerintah kelihatannya lebih berkomitmen menjaga creditworthiness dan mendukung terciptanya situasi kondusif bagi investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan didukung oleh pengelolaan fiskal dan moneter yang baik, rating Indonesia terus naik dari B- (rating S&P) tahun 2003, naik 3 notch menjadi BB- di tahun 2007. Bahkan, tahun 2008 Fitch menaikkan rating Indonesia satu nocth lagi menjadi BB.

Rasio utang membaik

Selain prospek perekonomian yang kuat, pertimbangan lembaga rating menaikkan prospek rating Indonesia berdasarkan penurunan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga 31 persen pada Maret 2009. Rasio tersebut lebih baik dari negara-negara lain, misalnya G-20 emerging market (36 persen), India (81 persen), Brasil (65 persen), AS (69 persen), dan Jepang (203 persen). Kian rendah rasio utang terhadap PDB, artinya kemampuan membayar utang lebih besar.

Namun, ada sebagian kalangan yang mengkritik penggunaan rasio ini karena menganggap penggunaan rasio utang terhadap produk nasional bruto (PNB) lebih cocok bagi Indonesia. Terlepas dari perdebatan mana yang lebih baik, rasio utang terhadap PDB lebih umum digunakan di seluruh dunia sehingga lebih mudah untuk membandingkan posisi di antara negara-negara lainnya. Akan jauh lebih mudah mengetahui perkembangan kinerja pengelolaan utang dan produktivitas penggunaannya dengan menggunakan ukuran yang umum digunakan dan diperbandingkan.

Oleh pengkritiknya, PDB sebagai ukuran produktivitas yang cenderung overestimate untuk kasus Indonesia sehingga lebih baik menggunakan PNB yang lebih mencerminkan output sesungguhnya. Namun, pada praktiknya, PDB lebih umum digunakan sebagai perbandingan terhadap utang pemerintah. PDB adalah output yang dihasilkan di negeri ini yang akan menjadi obyek pendapatan pemerintah, baik yang dihasilkan oleh warga negara Indonesia maupun penduduk bukan warga negara melalui pajak, bagi hasil pendapatan, dan lain-lain. Jadi, PDB merupakan sumber pendapatan negara dan karena itu digunakan untuk mengukur leverage sebuah negara dengan cara membandingkannya dengan utang pemerintah.

Perubahan rasio utang terhadap PDB dalam tingkatan tertentu dapat mencerminkan efektivitas penggunaan utang pemerintah. Jika pertumbuhan ekonomi lebih tinggi daripada pertumbuhan utang pemerintah, rasio utang terhadap PDB cenderung turun sehingga dapat dikatakan penggunaan utang menghasilkan pertambahan output yang lebih besar dari nilai utang yang bertambah.

Pasar domestik

Fakta lainnya yang mendukung kenaikan prospek rating adalah kebijakan membatasi penarikan utang luar negeri pascakrisis ekonomi 1998 Indonesia. Walaupun utang dalam bentuk surat berharga negara (SBN) naik terus, tetapi diimbangi dengan penurunan pinjaman bilateral dan multilateral. Akhir Maret 2009, total utang dalam mata uang asing 146,9 miliar dollar AS, naik 1,3 miliar dollar AS dibanding pada akhir 2003. Sebagai gantinya, pemerintah mengandalkan sumber pembiayaan dengan surat berharga negara di dalam negeri. Sebagai perbandingan, PDB naik lebih dari dua kali lipat dari Rp 2.046 triliun pada 2003 menjadi Rp 5.488 triliun pada 2008.

Belajar dari krisis ekonomi 1998, negara-negara Asia sepakat mengembangkan pasar obligasi domestik masing-masing untuk mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan mata uang asing. Dan Indonesia termasuk negara yang serius mengembangkan pasar obligasi, hingga saat ini pemerintah telah menerbitkan beragam jenis SBN, mulai dari bertenor pendek sampai panjang, berbunga dan tidak berbunga, serta instrumen konvensional dan syariah.

Dari pembahasan di atas, rating Indonesia semestinya bisa bertambah baik pada waktu yang tidak terlalu lama lagi.

Budi SusantoHead of Debt Research – Danareksa Sekuritas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar