Jumat, 10 Juli 2009

Bisnis Top di ASEAN

Indonesia Unggul dalam Kuantitas
Top 100 ASEAN:
Kamis, 25 Juni 2009
Oleh : Dede Suryadi

Ada 44 perusahaan di Indonesia yang berhasil menerobos Top 100 ASEAN. Sayang, di peringkat atas, perusahaan asal Malaysia mendominasi. Seperti apa potret peringkat 100 perusahaan terbaik di Asia Tenggara ini?

Dalam peringkat Top 100 ASEAN 2009, jumlah perusahaan di Indonesia yang menerobos makin banyak, yakni 44 perusahaan. Padahal, tahun lalu hanya 20 perusahaan. Bandingkan dengan Malaysia, tahun ini hanya menempatkan 30 perusahaan dalam Top 100 ASEAN, disusul Singapura 19 perusahaan dan Filipina 6 perusahaan.

Sayangnya, di peringkat atas jumlahnya justru turun. Tahun lalu, ada tiga perusahaan yang masuk 10 terbaik, yakni PT Telkom, Bumi Resources dan INCO, tetapi tahun ini hanya satu perusahaan: Bank Central Asia (BCA). Perusahaan dari Malaysia cukup mendominasi di peringkat atas. Di urutan 10 terbaik, Malaysia menempatkan 6 perusahaannya, sedangkan Singapura hanya tiga perusahaan.

Sebagaimana tahun lalu, pemeringkatan Top 100 ASEAN 2009 ini menggunakan metode Wealth-Added Index (WAI™) untuk mengukur nilai tambah kekayaan yang dihasilkan suatu perusahaan. Di samping itu, perusahaan juga dibandingkan secara relatif terhadap perusahaan sejenis (peer) dengan menggunakan metode Relative Wealth-Added (RWA™). Angka RWA™ menggambarkan sejauh mana perusahaan mengungguli perusahaan sejenis lainnya dalam menciptakan kekayaan untuk pemegang sahamnya. Pada peringkat RWA™, sejumlah perusahaan di Indonesia mampu menjadi jawara di sektornya, seperti Telkom di industri telekomunikasi, Astra International (otomotif dan komponen), Lippo Karawaci (real estate), Kalbe Farma (obat-obatan dan bioteknologi), INCO (material), dan United Tractors (barang modal).

Pemeringkatan Top 100 ASEAN yang kedua kalinya dilakukan ini menyaring 350 perusahaan di negara-negara Asia Tenggara. Rinciannya: Indonesia 100 perusahaan, Malaysia (100), Singapura (100), dan Filipina (50) – yang pemilihannya didasarkan pada nilai kapitalisasi pasar terbesar tahun 2007 di masing-masing negara, serta sesuai dengan klasifikasi industri global (global industry classification).

Penghitungan untuk pemeringkatan mencakup periode 8 tahun lingkaran bisnis (business cycle), yaitu 1 Januari 2001 hingga 12 Desember 2008 sesuai dengan MSCI Index. Secara detail, lingkaran bisnis ini terdiri dari dua: periode ekspansi (expansion) – 1 Januari 2001 hingga 10 September 2007; dan periode kontraksi (contraction) – 10 September 2007 hingga 12 Desember 2008. Jadi lingkaran bisnis ini dihitung atas dua periode ekspansi dan kontraksi. Dan, seperti bisa diduga, tak banyak perusahaan yang mampu menciptakan kekayaaan untuk pemegang sahamnya. Dari 100 perusahaan terbaik di Asia Tenggara, hanya 20 perusahaan yang membukukan WAI positif, satu perusahaan angkanya nol, dan sisanya negatif.

Peringkat pertama dalam Top 100 ASEAN 2009 ditempati Public Bank Bhd. dari Malaysia yang membukukan WAI Rp 23,41 triliun. “Ini sebuah bank swasta di Malaysia yang saya ketahui dikelola dengan sangat baik. The best managed bank di Malaysia,” ujar Erick Stern, President International Stern Stewart & Co. Ia menilai, bisnis inti bank ini berjalan dengan baik sekali, seperti memberikan kredit dengan memperhitungkan risiko secara hati-hati.

Lalu di urutan kedua dan ketiga juga dari negeri jiran, yakni Time Dotcom Bhd. (WAI Rp 18,79 triliun) dan PPB Group Bhd. (WAI Rp 15,48 triliun). Nah, di urutan keempat adalah BCA yang membukukan WAI Rp 14,42 triliun.

Erick menilai, BCA hampir sama dengan Public Bank, yaitu dikelola dengan baik dan hati-hati. “Yang harus dilakukan oleh BCA untuk bisa menempati peringkat teratas adalah dengan memberikan keuntungan kepada para nasabahnya yang saat ini tak semua bank dapat memberikannya,” katanya memberi saran. Pasalnya, beberapa bank besar di Indonesia termasuk Merrill Lynch juga bermasalah dan tidak lagi eksis. Oleh karena itu, BCA harus mampu mengambil kesempatan di masa krisis, menemukan lini-lini bisnis potensial dan bekerja sama dengan partner yang mungkin merupakan perusahaan atau lembaga yang berasal dari dalam atau luar negeri.

Jahja Setiaatmadja, Deputi Presdir BCA, berkomentar, dalam rangka meningkatkan angka WAI-nya, pada dasarnya sumber peningkatan aset bagi perbankan adalah dari funding, baik tabungan, giro maupun deposito. Komposisi struktur biaya pada bank sering berbeda-beda, ada yang porsi tabungan dan gironya lebih tinggi daripada deposito. Di BCA, komposisi tabungan dan giro lebih banyak daripada deposito berjangka, yaitu 75%-80%. Bunga giro tergolong sangat kecil dan bunga tabungan sedikit lebih tinggi, tetapi yang tertinggi adalah bunga deposito berjangka. “Bagi bank seperti BCA, yang cost of fund-nya lebih dominan pada giro dan tabungan, berarti biaya modal kami relatif sudah kecil,” ujar Jahja.

Ditambah lagi, pendapatan yang diperoleh BCA yang bersumber dari spread bunga kredit, surat berharga dan sebagainya sama dengan harga pasar. Karena pendapatannya setara dengan harga pasar pada umumnya, sedangkan cost of fund lebih kecil, maka peluang BCA untuk lebih unggul dari segi profitabilitas lebih besar. Meski saat ini masuk dalam lima besar Top 100 ASEAN, BCA belum berencana membuka cabang hingga ke lingkup regional atau di negara lain selain Indonesia. Saat ini, BCA baru melayani remittance business atau kiriman uang dari negara-negara yang banyak terdapat tenaga kerja Indonesianya, seperti Timur Tengah, Singapura, Malaysia, Taiwan, Brunei Darussalam dan sebagainya, serta layanan ekspor-impor. BCA hanya memiliki kantor perwakilan di Singapura dan Hong Kong, serta perusahaan remittance di Hong Kong.

Sebenarnya, menurut Erick, Indonesia, seperti industri perbankannya, tidak seterpuruk seperti di negara lain, meski punya banyak perusahaan yang berbasis komoditas, seperti Bumi Resources, Astra Agro Lestari, serta perusahaan minyak dan gas. Seperti diketahui, harga komoditas dunia tahun lalu turun drastis. Ini menimbulkan dampak buruk, yaitu berjatuhannya perusahaan berbasis komoditas di pasar modal Indonesia. Salah satunya, Grup Bakrie.

Memang, pertumbuhan ekonomi Indonesia ketika krisis tahun 2008 jauh lebih rendah dibanding tahun 2007 yang tumbuh hingga 6%. Dengan harapan akan membaiknya perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun mendatang, maka diperkirakan angka pertumbuhan di Indonesia akan kembali ke 6% atau 7%, bahkan jika beruntung mungkin bisa mencapai 8%. “Jika itu terjadi, angka WAI juga akan sangat tinggi,” kata Erick memprediksi.

Ia juga mengutip data dari Majalah The Economist, bahwa tiga minggu lalu Produk Domestik Bruto Indonesia di tahun 2009 masih -1,3% dan sekarang telah menjadi +2,4%. Sementara itu Malaysia masih -3%, Cina +6,5% dan India +5%. Dengan melihat data ini, perekonomian Indonesia memang telah mulai positif, tetapi masih lebih rendah dibanding satu-dua tahun yang lalu. “Untuk itu Indonesia harus dapat memperbaiki pertumbuhan ekonominya hingga 6%-7%. Jika ini dilakukan, maka diharapkan dapat tercapai ‘major improvement’,” ia mengungkapkan.

Akan tetapi, menurut Hendra Bujang, pengamat pasar modal, kompetensi perusahaan Indonesia di tingkat ASEAN boleh dibilang belum bisa berbicara banyak. Hal yang perlu diperhatikan yaitu skala bisnisnya. Ini berkenaan dengan faktor efisiensi dan SDM dalam penguasaan teknologi. Sebetulnya, dalam pemberian keuntungan kepada para pemegang saham, perusahaan di Indonesia masih bisa memberikan lebih baik, meskipun di saat kondisi krisis seperti saat ini.

Perusahaan untuk bisa berkompetensi di tingkat global, khususnya regional ASEAN, masih tergantung pada beberapa faktor internal dan makro. Ia mengatakan, faktor makro harus stabil, harus ada peraturan yang mendukung kepentingan pebisnis. Di sisi lain, faktor internal perusahaan juga harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas SDM dan penguasaan teknologi. “Kebanyakan masih tradisional, sehingga kalau bicara volume dari segi efisiensi, maka tidak efisien,” katanya

Sejauh mana efisiensi dan efektivitas perusahaan-perusahaan di Indonesia ini serta sejauh mana SDM di masing-masing perusahaan dapat berproduksi dengan efisien – ditambahkan Franciscus Welirang, Direktur PT Indofood Sukses Makmur – merupakan tuntutan bagi setiap perusahaan. “Dan hal itu tergantung pada bagaimana seorang pemimpin memimpin perusahaannya,” ujarnya.

Itu memang sebuah tantangan. Yang jelas, dengan menengok kondisi perekonomian Indonesia yang masih lebih baik dibanding negara tetangga, ada peluang bagi perusahaan di Tanah Air untuk meningkatkan kinerja dan membuat sahamnya lebih menarik bagi investor. Jika peluang itu bisa dimanfaatkan secara optimal, perusahan di Indonesia akan lebih kompetitif untuk bersaing dengan perusahan lain di level Asia Tenggara.


Reportase: Moh. Husni Mubarak dan Kristiana Anissa
Riset: Ratu Nurul Hanafiah


Kinerja yang Dijadikan Acuan
Erik Stern dan Martin Schwarz

Kapitalisme dan globalisasi telah mendapat pukulan telak. Perusahaan di Indonesia dalam kelompok (peer)-nya di Asia Tenggara dan di belahan dunia lainnya telah memecahkan rekor dalam hal kemerosotan perdagangan dan produksi. Indonesia memang bisa lepas dari resesi, tetapi Indonesia juga terkena pukulan. Kejatuhan harga komoditas yang tajam, investasi asing yang lebih rendah, dan penurunan ekspor telah memangkas tingkat pertumbuhan yang tinggi yang sudah dicapai akhir-akhir ini. Penutupan sementara pasar modal yang terjadi pada Oktober 2008 mengguncang kepercayaan internasional. Itulah saat Indonesia bergabung dengan penurunan ekonomi global: suatu masa ketidapercayaan dan intervensi pemerintah. Maret 2009, pasar global mencapai titik nadir. Harga komoditas mulai naik kembali (rebound). Posisi dolar makin melemah. Pertumbuhan ekonomi Cina telah membangkitkan kepercayaan.

Tahun lalu, kami memperkenalkan konsep the Wealth-Added Index (WAI™), yang menunjukkan apakah perusahaan telah mengungguli biaya kapitalnya (cost of equity/CoE). Investor mereka membutuhkan tingkat pengembalian investasi yang bisa menutup risikonya. Hal itu mengacu pada kinerja aktual versus return minimum (CoE). Di saat kondisi sedang bagus, perusahaan harus mengungguli CoE-nya, sedangkan di saat situasi sulit mereka terpaksa di bawah CoE. Hanya saja, selama lingkaran bisnis (business cycle) berlangsung – apakah dari palung ke palung, dari ombak ke ombak, atau tengah ke tengah – mereka setidaknya harus mampu menutup CoE (WAI = 0).

Perusahaan juga harus mengungguli rata-rata di kelompok mereka (peer), yakni apa yang kami sebut RWA™ (peer Relative Wealth-Added), apakah dalam periode ekspansi (kondisi pasar/ekonomi sedang bagus) ataupun kontraksi (kondisi buruk). Kami telah membuat daftar perusahaan di Asia Tenggara yang ada dalam Blomberg untuk dijadikan acuan industri bagi perusahaan yang ada dalam kelompoknya selama periode ekspansi, kontraksi dan lingkaran bisnis (ekspansi + kontraksi). Perusahaan yang berhasil dalam periode ekspansi mungkin telah mengambil risiko berlebihan yang bakal merugikan mereka ketika menghadapi situasi kontraksi. Perusahaan lain mungkin lebih bertindak konservatif selama periode booming, dan dengan demikian mereka bekerja lebih baik dalam kondisi ekonomi menurun. Kami merasa bahwa hanya ada satu cara untuk memahami apakah perusahaan menunjukkan kinerja yang bagus. Yakni, mem-benchmark mereka berdasarkan nilai (value). Peringkat ini memberikan informasi seperti itu, dan mereka mengikuti filosofi economic value-added (EVA), bahwa perusahaan, unit bisnis, proyek dan segala aktivitas harus mengungguli CoE-nya. Para eksekutif harus memfokuskan usahanya pada pemenuhan harapan pemegang saham dan mencari cara untuk memaksimalkan nilai.

Tabel peringkat SWA100 Indonesia dan Asia Tenggara yang berdasarkan WAI dan tabel RWA dapat membantu investor untuk melihat bagaimana fund manager mereka melakukan investasi. Jika Anda menginginkan investasi di perusahaan telekomunikasi, apakah mereka memilih perusahaan yang tepat? Begitu pula halnya jika Anda menginginkan berinvestasi di bank, apakah fund manager telah memilih perusahaan yang tepat? Tabel peringkat ini juga membantu para komisaris. Eksekutif dapat menunjuk faktor-faktor di luar kontrol perusahaan yang dapat memengaruhi harga saham, tetapi dengan mengabaikan peer-nya, kita mencabut banyak hal dari suara pasar, meninggalkan kinerja manajemen. Analisis ini membawa kita untuk melihat apakah investor menyukai perusahaan yang dijalankan oleh keluarga atau yang dimiliki oleh negara (BUMN) pada saat ekonomi sedang turun, dengan pertimbangan nama baik atau pemerintah membuat suatu perbedaan. Di industri komoditas, kita dapat melihat pasar mana yang lebih menyukai ketika harganya naik dan kemudian mereka jatuh. Ambil contoh Bumi Resources, saham perusahaan ini telah jatuh secara dramatis, tetapi ketika dibandingkan secara relatif dengan kelompoknya, pasar tetap memilih Bumi. Ini menujukkan kepercayaan pasar pada tim manajemen dan keunggulan komparatif perusahaan itu, yang telah berinvestasi di tengah kejatuhan harga batu bara.

Kami telah memilih perusahaan yang menjadi benchmark karena telah berhasil mengungguli perusahaan lain dalam grup dan CoE-nya. Kita dapat membandingkan mereka dengan indeks nasional. Bagi perusahaan lokal, indeks itu dapat menjadi pilihan yang baik.

Klasifikasi industri yang kami lakukan mungkin tidak terlalu tepat. Kami tidak menyusun hal ini untuk perusahaan tertentu. Dewan direksi harus menentukan peer yang cocok dan kemudian mendiskusikannya dengan investor institusional atau analis riset. Selanjutnya, mereka harus mempertahankan kesamaan, kecuali ada perubahan besar dalam industri. Dengan demikian, mereka memiliki kinerja yang kuat, baik dalam periode ekspansi maupun kontraksi. Hal itu memungkinkan boards merumuskan kompensasi bagi para eksekutif seniornya berdasarkan WAI dan RWA, memberikan pengakuan kepada mereka atas keberhasilannya mengungguli rata-rata peer-nya dan CoE, baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang.

Indonesia tidak memiliki kultur performance-based yang kuat, kendati sangat banyak entrepreneur yang mengesankan. Hukum bisnis dan ketenagakerjaan, kultur dan praktik bisnis menunjukkan pengelakan yang kuat terhadap risiko dan tidak ada kepekaan yang besar terhadap urgensi. Motivasi untuk mengungguli adalah haram bagi kemapanan, kehati-hatian, dan perspektif sempit yang banyak mereka miliki.

Anda bisa melihat pada bencana yang dihadapi perusahaan-perusahaan di Barat (Eropa dan Amerika Serikat) yang membunyai kultur performance-based yang ekstrem dan berkata: “Kami tidak ingin apa pun.” Sayangnya, variabel kultur dari perusahaan-perusahaan ini tidak berdasarkan pada nilai, melainkan variabel ukuran (size), seperti penjualan yang dihasilkan, jumlah karyawan yang dikelola, dan aset yang diinvestasikan, yang secara dramatis bertentangan dengan responsibilitas, transparansi dan akuntabilitas. Intervensi dan regulasi pemerintah telah mendorong para manajer untuk mengambil keputusan yang kurang memadai (poor decision). Kapitalisme diserang secara tidak tepat. Pemerintahan digerakkan oleh perilaku dan regulasi memang suatu keharusan. Organisasi-organisasi di Indonesia harus menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, tetapi memegang filosofi performance-based.

Indonesia harus mengemansipasi dan memobilisasi penduduknya untuk memaksimalkan nilai. Ini adalah sebuah negara yang telah selamat dari keadaan paling buruk. Lihatlah, penurunan ekonomi global telah merontokkan Singapura, Korea, Taiwan dan Jepang. Malaysia dan Filipina pun terkena pukulan. Namun, integrasi negara-negara di Asia Tenggara terus berlanjut. Pemerintah mengalami kekurangan dana untuk menyelamatkan BUMN dari situasi pasar yang memburuk. Praktik-praktik manajemen yang kuat, karyawan yang memiliki motivasi tinggi, kultur penciptaan nilai akan membantu perusahaan di Indonesia untuk bertahan dan berkembang di lingkungan seperti ini.

Kita lihat kondisi krisis sebelumnya. Organisasi-organisasi yang melakukan investasi dengan bijaksana dan mempersiapkan diri dengan baik, sehingga berbeda dari yang lainnya, kebangkitan telah terwujud bagi mereka. Sekarang saat jeda kompetisi sepak bola Eropa. Para pelatih dan pemimpin klub sedang berpacu dan bernegosiasi, berusaha mendapatkan pemain terbaik untuk membangun tim pemenang guna menghadapi kompetisi mendatang yang dimulai September 2009. Bagaimana organisasi Anda menyiapkan diri untuk tahapan pertumbuhan berikutnya? Akankah organisasi Anda menjadi pemenang dalam kompetisi yang bakal dihadapi? Siapkah Anda? Apakah rekan-rekan kerja Anda memiliki motivasi tinggi? Apakah mereka menikmati kompetisi karena mereka merasa mampu menjadi pemenang?

Peringkat WAI dan RWA seperti tabel liga dalam ekonomi pasar. Bagaimana Anda telah berjalan? Itu sejarah. Bagaimana Anda akan berjalan? Itu adalah masa depan. Akankah Anda bertahan? Akankah Anda mengungguli yang lainnya? Di mana Anda akan berdiri tahun depan dan lima tahun mendatang? Apakah organisasi Anda difokuskan pada penciptaan nilai? Apakah Anda memiliki kultur performance-based? Pada suatu kesempatan, ini membuat perbedaan, lebih dari produk, layanan dan posisi pasar Anda. Itu menentukan siapa yang akan menjadi pemenang atas kelompok mereka selama periode ekspansi dan kontraksi, dan siapa mampu mengungguli CoE-nya selama lingkaran bisnis berlangsung.

Erik Stern adalah President Stern Stewart International, dan Martin Schwarz adalah Vice President Stern Stewart International.


URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=9394

Tidak ada komentar:

Posting Komentar