Jumat, 10 Juli 2009

SWA 100 2009


Musim Penghancuran Kekayaan Pemegang Saham
SWA100 2009:
Kamis, 25 Juni 2009
Oleh : Kusnan M. Djawahir

Krisis finansial global yang merontokkan pasar saham membuat saham-saham yang diperdagangkan di bursa saham Indonesia sulit menghasilkan return yang memadai. Ketika dihitung wealth added index-nya, banyak yang negatif. Inilah potret peringkat SWA100 2009.

Melihat hasil pemeringkatan SWA100 2009 memang bisa membuat miris. Betapa tidak, dari 100 perusahaan terpilih, hanya 13 yang mampu mencetak angka WAI™ (wealth added index) positif (lihat Tabel). Bandingkan dengan SWA100 2008, yang negatif cuma 15 perusahaan. Itu berarti, sebagian besar dari mereka justru telah menghancurkan nilai/kekayaan pemegang saham.

Sebenarnya, kondisi seperti itu telah diduga. Krisis finansial global yang berlangsung sejak pertengahan tahun lalu berimbas pada melemahnya sebagian besar bursa saham di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Maklum, banyak dana asing yang ditarik untuk menutup krisis likuiditas di Amerika Serikat -- sebagai negara yang menjadi sumber terjadinya krisis finansial global. Maka, saham-saham yang diperdagangkan di bursa pun rontok. Ini yang mengakibatkan total return untuk pemegang saham atau total shareholder return (TSR) menurun.

“TSR akan ikut jatuh jika pasar modal jatuh,” Erik Stern, Presiden Internasional Stern Stewart & Co. Management Consultants, menegaskan. Menurutya, kejadian semacam ini jarang terjadi. Namun, kejatuhan pasar modal itu menimpa hampir semua negara. Tak mengherankan, banyak perusahaan di negara lain yang juga memiliki WAI negatif.

Sedikit penjelasan, WAI mencerminkan kelebihan kekayaan yang dihasilkan di atas return minimal yang diharapkan oleh investor. Return minimal itu direfleksikan dalam bentuk cost of equity (CoE). Jadi, untuk mendapatkan WAI positif, TSR -- merupakan penjumlahan dari capital gain saham dan dividen yang dibagikan sebuah perusahaan -- lebih tinggi dari CoE-nya. Sebaliknya, jika TSR lebih kecil dari CoE, menghasilkan WAI negatif. Sebagai faktor pengalinya untuk mendapatkan angka WAI adalah nilai kapitalisasi pasar perusahaan yang bersangkutan.

Untuk menentukan perusahaan yang masuk dalam SWA100 2009, Stern Stewart memilih 100 perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di awal 2004. Kemudian, WAI perusahaan-perusahaan yang terpilih itu dihitung secara harian untuk periode 2004-08 (lima tahun). Lalu, hasil akhirnya menentukan peringkat 100 perusahaan tersebut. Dan, hasil dari pemeringkatan bisa menjadi acuan bagi para investor atau pemagang saham, sejauh mana para pengelola perusahaan telah meningkatkan kekayaan mereka, atau justru menghancurkannya.

Selain itu, Majalah SWA dan Stern Stewart juga memperkenalkan pendekatan baru dalam menilai perusahaan, yakni pengukuran kinerja dengan metode RWA™ (Relative Wealth Added). Metode ini membandingkan secara relatif nilai tambah kekayaan perusahaan terhadap pemegang sahamnya dengan nilai rata-rata perusahaan sejenis (peer group)-nya. Perusahaan yang WAI-nya negatif, bisa saja RWA-nya positif karena jika dibandingkan dengan peers-nya mereka lebih unggul. Jadi, RWA ini bisa dijadikan acuan bagi investor untuk menilai kinerja perusahaan dalam sektor sejenis. Martin Schwarz, Vice President Asia Tenggara Stern Stewart & Co., mengungkapkan, RWA cocok untuk menilai kinerja perusahaan selama 3-5 tahun, sementara WAI™ lima tahun ke atas. Ada satu lagi metode penilaian kinerja yang diperkenalkan lembaga konsultan ini, yakni EVA® (Economic Value Added), yang lebih pas untuk menilai kinerja perusahaan di bawah tiga tahun.

Kembali ke peringkat SWA100 2009, BCA ternyata tampil sebagai yang terbaik dengan mencetak WAI Rp 14,63 triliun. Tak hanya itu, salah satu bank besar Indonesia juga menjadi yang terbaik di sektornya karena mampu mencetak RWA tertinggi: Rp 5,7 triliun. Menurut Erik, kondisi perbankan di Indonesia tak seterpuruk di negara-negara lain. Itulah sebabnya, dari 13 perusahaan dalam peringkat SWA100, tiga perusahaan di antaranya berasal dari sektor perbankan: yakni BCA, Bank Internasinal Indonesia dan Bank Mega.

Jika dilihat lebih detail, saham BCA memang terus menunjukkan tren peningkatan hingga kuartal I/2008. Bahkan, kenaikannya cukup tajam. Di awal 2004, harga sahamnya masih sekitar Rp 900, selama kuartal I/2008 rata-rata berada di posisi Rp 3.600-an. Setelah itu, memang terjadi penurunan, tapi tidak tajam, bahkan di November tahun lalu sudah kembali rebound. Ditambah dengan dividen yang dibagikan kepada pemegang saham yang, menurut Jahja Setiatmadja, Deputi Presdir BCA, rata-rata 48%-59% dari laba bersihnya -- kecuali tahun 2008 yang hanya 42%, maka TSR yang dihasilkan BCA masih lebih tinggi dibandingkan dengan CoE-nya. Karena hasil dari TSR dikurangi CoE adalah positif, dan kemudian dikalikan dengan nilai kapitalisasi pasarnya di awal 2004, maka hasilnya adalah BCA mampu mencetak WAI positif Rp 14,88 triliun.

Berdasarkan penghitungan Joshepine Nicole dan Vina Vionita, analis riset dari PT Stern Stewart Indonesia, BCA memang menunjukkan kinerja yang terus membaik. NOPAT bank ini sejak 2004 selalu tumbuh. Tahun 2004, naik signifikan sebesar 38% menjadi sekitar US$ 380 juta, tahun 2005 naik 3%, 2006 sebesar 27% dan tahun 2007 naik 6%. Sementara, di tahun 2008 naik 14% menjadi kurang lebih US$ 580 juta. Di sisi lain, manajemen bank mampu menekan biaya operasionalnya. Bahkan, di tahun 2008, biaya modalnya (capital charges) menyusut sebagai akibat dari penurunan modalnya (minus 6%). Ini yang membuat EVA bank ini makin ciamik.

Terkait dengan rendahnya capital charges (biaya modal), Jahja menerangkan, peningkatan aset perbankan pada dasarnya berasal dari funding (dana pihak ketiga), baik berupa tabungan, giro dan deposito. Dan, di BCA porsi tabungan dan giro lebih banyak ketimbang deposito, yakni berkisar 75%-80%. Sebagaimana diketahui, bunga giro tergolong kecil, bunga tabungan sedikit lebih tinggi, dan yang paling tinggi deposito. “Bagi BCA, dengan cost of fund-nya lebih dominan pada giro dan tabungan, berarti biaya modal kami relatif lebih kecil,” kata Jahja.

Dengan cost of fund yang lebih rendah, BCA tetap bisa menjual kreditnya dengan bunga sesuai dengan yang berlaku di pasar. Begitu juga jika dana tersebut dibelikan surat berharga, akan mendapatkan bunga sama dengan yang diperoleh bank-bank lain. Maka, peluang BCA untuk unggul dari segi profiltabilitas menjadi lebih besar dibandingkan dengan bank lain. Keuntungan lainnya, dengan memiliki dana berbiaya rendah, BCA bisa menyalurkan kredit dengan bunga yang lebih rendah pula, tapi kualitas kreditnya lebih bagus, sehingga nonperforming loan atau NPL-nya menjadi lebih kecil. Saat ini, NPL gross BCA hanya 1,6%, dapat lebih rendah lagi jika dipotong dengan jaminan.

Selain itu, BCA sebagai transaction bank juga memperoleh pendapatan dari fee-based income, yakni pendapatan dari biaya atas transaksi yang dilakukan nasabah dan biaya bulanan dari tabungan. “Ini merupakan tambahan pendapatan yang tidak dimiliki oleh bank yang tidak mempunyai nasabah banyak,” tutur Jahja.

Tak puas hanya sampai di situ, BCA juga terus berupaya meningkatkan efisiensi dari sisi operasional. Beberapa tahun terakhir, bank ini menggunakan tenaga outsourcing untuk bagian-bagian yang tidak menjadi bisnis intinya, seperti petugas keamanan, sopir dan petugas ATM. Adapun untuk tenaga kerja di bagian bisnis inti, beberapa tahun terakhir menganut sistem zero growth. Maksudnya, perekrutan karyawan baru hanya untuk menggantikan karyawan yang keluar.

Karena itu, wajarlah saham BCA terus menjadi buruan investor. “Kami menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. BCA tidak pernah mengintervensi harga sahamnya di pasar. Yang kami lakukan hanyalah memberikan paparan kepada investor terkait kinerja dan strategi investor. Keputusan untuk berinvestasi sepenuhnya berada di tangan investor,” Jahja menerangkan. Penjelasan itu dilakukan melalui non deal road show.

Erik menyarankan, bank-bank yang perfomanya bagus di masa krisis dapat mengambil kesempatan dari situasi ini. Seperti BCA, “Harus mampu mengambil kesempatan di masa krisis, menemukan lini-lini bisnis yang potensial, dan bekerja sama dengan partner dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun, yang terpenting bagi mereka, not to make a stupid decision,” kata Erik. Untuk itu, menurut Erik, Pemerintah juga perlu memberikan stimulus ekonomi agar bank-bank lebih jeli dalam menyalurkan kredit, dan tidak memberikan kredit kepada pihak-pihak yang tidak pantas mendapatkannya.

Di bawah BCA, bertengger PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Perusahaan pelat merah ini mampu menciptakan WAI Rp 5,5 triliun. Tak hanya itu, perusahaan ini juga mampu membukukan RWA Rp 27,356 triliun. Mengomentari pencapaian perusahaan yang dipimpinnya itu, Hendi P. Santoso mengungkapkan, PGN selalu mengupayakan optimasi potensi yang dimiliki. PGN, sebagai perusahaan bisnis transimisi, sedang mengoptimasi sumber gas di hulu terhadap beberapa pasar di beberapa wilayah Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, PGN membawa sumur yang notabene berada di kepulauan yang berbeda pada konsentrasi kegiatan ekonomi yang membutuhkan gas.

“Kami sudah mengembangkan strategi bagaimana supaya tidak terimbas risiko-risiko yang dapat mengenai perusahaan. Misalnya, dengan menjual komoditas dalam mata uang US$. Pasalnya, bahan baku yang dibeli dan seluruh utang dalam mata uang dolar AS. “Dengan demikian, kami tidak terkena imbas fluktuasi rupiah,” Presdir PGN tersebut menambahkan. Selain itu, dalam dua tahun terakhir, PGN sudah merevitalisasi kegiatan operasional dengan melakukan rotasi dari seluruh kegiatan manajemen perusahaan, dari GM sampai kepala divisi.

Namun, menurut Yanuar Rizky, Mitra Pengelola Aspirasi Indonesia Research Institute (AIR Inti), PGN seharusnya sudah mulai memikirkan perubahan peta bisnis mereka. Perubahan itu terutama pada pengelolaan PGN dari yang semula hanya menjual gas menjadi membuat gas lebih bisa diolah sebagai sebuah produk energi. PGN akan lebih produktif dan makin berkembang jika mampu menghasilkan inovasi terkait dengan produknya. Akan ada nilai EVA-nya jika PGN mau membuat bisnisnya lebih industrialisasi.

Yang juga menarik dicermati dalam peringkat SWA100 2009 adalah Telkom, yang tahun lalu menduduki peringkat 1, tapi tahun ini terjun ke urutan 100. Menurut Erik, itu karena dalam beberapa tahun sebelumnya perusahaan ini mengalami pertumbuhan yang pesat. Namun, tahun lalu peningkatan bisnis yang terjadi pada Telkom tidak terlalu pesat, dari segi layanan kartu telepon seluler, Internet, dsb. Keberadaan Telkom juga sudah dapat disaingi perusahaan telekomunikasi lainnya, seperti Indosat.

Jika dilihat lebih detail, setahun terakhir Telkom seolah-olah kehilangan masa keemasannya. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan Josephine dan Vina Vionita, tahun 2008 NOPAT-nya turun 20% menjadi sekitar US$ 1,6 juta (Rp 14,73 triliun) sebagai akibat dari tarif telepon yang lebih rendah dan turunnya call rate sambungan jarak jauh. Padahal, empat tahun sebelumnya (2004-07) terus menunjukkan peningkatan. Puncaknya terjadi tahun 2007, dengan membukukan NOPAT US$ 2 juta.

Adapun faktor yang memengaruhi NOPAT itu adalah pendapatan dari fixed line yang menyusut 12%, kenaikan pendapatan operasional yang tidak signifikan diikuti dengan kenaikan biaya operasional yang sangat berarti, di antaranya, depresiasi naik 17%, biaya oparasional, pemeliharaan dan jasa telekomunikasi meningkat 27% dan biaya pemasaran bertambah 33%. Celakanya lagi, tahun 2008 perusahaan ini mengalami kerugian kurs yang sangat signifikan dari utangnya yang dalam US$.

Dampak dari penurunan NOPAT ini, EVA-nya juga merosot di tahun 2008 sebesar 30% menjadi sekitar US$ 700 ribu. Sebelumnya, EVA perusahaan perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia ini menunjukkan tren naik.

Dengan kata lain, secara fundamental, kinerja Telkom setahun terakhir menunjukkan penurunan. Hal itu tampaknya sudah terbaca oleh pasar, sehingga setalah mencapai puncaknya Oktober 2007, saham Telkom kemudian menunjukkan tren turun. Ditambah lagi dengan krisis finansial global yang juga memukul pasar saham Indonesia, saham Telkom terus melorot, dan baru naik kembali di akhir 2009. Tak mengherankan, TSR yang dihasilkan Telkom dalam lima tahun (2004-08), jika dikurangi dengan CoE-nya, menghasilkan angka negatif. Karena kapitalisasi pasar Telkom yang sangat besar, hal itu membuat angka WAI-nya negatif sangat tinggi, yakni minus Rp 81,06 triliun.

Penurunan tajam juga terjadi pada Bumi Resources, dari posisi 2 (2008) ke urutan 95 pada tahun ini. Rontoknya harga batu bara di pasaran internasional membuat harga saham Bumi jatuh. Sejak pertengahan 2008, saham perusahaan Grup Bakrie ini memang terjun bebas. Dan, sampai dengan akhir 2008, saham perusahaan ini belum menunjukkan tanda-tanda rebound. Maka, TSR yang dihasilkan selama 2004-08 tak mampu menutup CoE-nya. Akibatnya, WAI-nya negatif Rp 33,28 triliun, sedangkan tahun lalu positif Rp 109,91 triliun.

Toh, dibanding dengan perusahaan sejenis, Bumi masih tetap unggul. Dengan RWA positif Rp 50,42 triliun, perusahaan ini berada di posisi pertama di antara peers-nya. Menurut Erik, meski return Bumi merosot, pasar tetap lebih menghargai perusahaan ini karena kepercayaan investor terhadap manajemennya.

Sebetulnya, di dari sisi fundamental, Bumi menunjukkan tren yang bagus. NOPAT-nya tahun lalu melonjak lebih dari 183% menjadi sekitar US$ 750 juta. Padahal tahun 2007 hanya naik 16% dan 2006 sebesar 34%. Malah, EVA Bumi di 2008 melonjak 327% ke posisi US$ 120 juta, sedangkan dua tahun sebelumnya masih minus. Hanya saja, ketidakpercayaan pasar terhadap perusahaan yang bergerak di komoditas, khususnya batu bara, membuat investor sempat menjauhi saham-saham dari perusahaan bergerak di industri, termasuk saham Bumi.

Menanggapi hasil pemeringkatan SWA100 kali ini, Yanuar mengatakan, beberapa perusahaan yang menempati peringkat teratas adalah perusahaan yang sahamnya secara akumulasi mampu menghasilkan capital gain yang besar bagi pemegang sahamnya. Sebagai contoh, saham Lippo Karawaci, dalam beberapa tahun terakhir harganya naik cukup signifikan. Sementara, kenaikan harga saham Telkom tidak sebesar kenaikan saham Lippo Karawaci.

Namun, Yanuar pun mengakui bahwa beberapa perusahaan yang menempati tempat teratas juga merupakan index mover dan cukup likuid di pasar, misalnya BCA. BCA memang memiliki fee-based income yang bagus. Selain itu, BCA juga merupakan bank sejuta umat. “Untuk BCA ini, jelas tidak bisa dikatakan hanya mendapat uang dari ‘menggoreng’ saham. Yang pegang saham BCA juga banyak. Selain itu, Tambang Batubara Bukit Asam dan PGN juga bagus. Tapi seharusnya, di deretan atas ada juga Telkom dan Astra International,” ujar Yanuar.

Di samping itu, Norico Gaman, Head of Research Department BNI Securities, menimpali, sejumlah perusahaan yang masuk papan atas juga cukup baik dalam membagikan dividen, seperti Bukit Asam, PGN, Astra Agro Lestari dan BCA. Akan tetapi, ada juga yang tidak baik dalam memberikan dividen, seperti AKR Corporindo dan Bentoel International Investama.

Harus diakui, metode WAI dan RWA tidaklah umum bagi pegiat pasar modal atau analis pasar modal. Ini memang metode pengukuran kinerja yang baru diperkenalkan di Indonesia. Malah, Norico menilai, metode ini lebih menekankan share holder value dari pemegang saham mayoritas, bukan share holder value investor publik. Para pegiat pasar modal lebih suka mengukur kinerja perusahaan yang akan dikoleksi sahamnya dengan melihat fundamental perusahaan, laba-rugi, dan pertumbuhan industri di perusahaan itu berada. “ Untuk metodenya paling umum kami gunakan discounted cash flow, part of sum valuation, dan sebagainya,” ujar Norico.

Namun, bagi Erik, pendapat setiap orang dapat berbeda. Dan, mungkin orang berpendapat seperti itu karena ia telah mengetahui secara lebih detail kondisi pasar modal Indonesia. Yang jelas, “Angka kami tidak bias terhadap apa pun. Kami lakukan pemeringkatan di India, Indonesia, Thailand, dan negara lannya, dan hasilnya baik. Yang kami harapkan memang begitu,” kata Erik berkomentar.


Reporter: Eddy D. Iskandar, Herning Banirestu, Kristiana Annisa dan Rias Andriati/Riset: Ratu Nurul Hanifah




Pemeringkatan WAI dan RWA
bagi SWA100 dan Asia Tenggara


Martin Schwarz


Seperti tahun lalu, pemeringkatan SWA100 menggunakan metode Wealth-Added Index (WAI™). Namun, kali ini kami juga memperkenalkan peringkat perusahaan publik terbaik di Indonesia berdasarkan nilai Relative Wealth-Added (RWA™). Metode yang sama juga dilakukan untuk memeringkat perusahaan besar di Asia Tenggara, meliputi: Indonesia, Singapura, Malaysia dan Filipina. Penulisan ini menjabarkan sebuah evaluasi kinerja harga saham dari top 100 perusahaan di Indonesia dan perusahaan-perusahaan besar di Asia Tenggara.

Sebelum diperingkat, 100 perusahaan publik di Indonesia dipilih berdasarkan kapitalisasi pasar terbesar. Kemudian, kinerja mereka dievaluasi dengan berdasarkan WAI™ dan RWA™ dari tahun 2004 hingga 2008. Sementara itu, jumlah perusahaan di Asia Tenggara yang diikutkan dalam pemeringkatan ini sebanyak 350, yakni 100 perusahaan di Indonesia, 100 perusahaan di Singapura, 100 perusahaan di Malaysia, dan 50 perusahaan di Filipina.

WAI™ dikembangkan oleh Stern Stewart & Co. dan merupakan indikator adanya kelebihan kekayaan yang dihasilkan di atas harapan pemegang saham. Harapan itu sendiri berdasarkan risiko saham yang disesuaikan dengan persepsi para pemegang saham. Metode penilaian kinerja ini memberi landasan pada perencanaan strategis, yang sekiranya mengurangi beberapa praktik penyusut nilai: pengaturan pendapatan, pengaturan harga saham, dan belanja modal yang tak terkendali. Kerangka WAI™ memungkinkan para manajer untuk memadukan kinerja usaha sekarang atau Current Operating Value (COV®) dan ekspektasi di masa depan atau Future Growth Value (FGV®) dengan kebutuhan pembiayaan dan return minimum yang diharapkan pemegang saham.

WAI™ mengambil perspektif dari semua pemegang saham. Sementara total shareholder return (TSR), sebagaimana sifatnya, berasumsi bahwa setiap saham ditahan dari awal hingga akhir periode tertentu. Wealth-Added mengukur penciptaan kekayaan untuk semua pemegang saham, termasuk pembeli saham baru.

Lalu, RWA™, yang diprakarsai oleh Stern Stewart & Co., adalah pengukuran kinerja berdasarkan pasar dengan cara membandingkan kinerja harga saham dari sebuah perusahaan selama periode tertentu terhadap sekelompok perusahaan sejenis, dengan memperhitungkan saham-saham yang baru diperdagangkan dan tingkat risiko keuangan. RWA™ membandingkan nilai bagi para pemegang saham yang diciptakan oleh sebuah perusahaan dengan rata-rata dari perusahaan sejenis. Hal ini dapat diekspresikan dalam bentuk absolut atau moneter (RWA), ataupun sebagai persentase dari Nilai Perusahaan awal (%RWA). RWA™ serupa dengan WAI™, dengan pengecualian bahwa penghitungannya bukan menggunakan biaya ekuitas melainkan rata-rata TSR dari perusahaan sejenis.

TSR dan kapitalisasi pasar (secara efektif) disesuaikan agar mencakup: sebagai rata-rata tertimbang, kinerja saham-saham yang diterbitkan selama periode tersebut, dan perubahan modal lainnya.


Metodologi Penghitungan


WAI™ dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

WAI = (TSR – COE) * Market Capitalization Beginning of the Day

di mana: TSR = Total Shareholder Return Daily
COE = Cost of Equity Daily

Penghitungan ini hanya berdasarkan data pasar. WAI™ tidak memerlukan akses ke seluruh isi laporan keuangan perusahaan, dan mengabaikan pengecualian akuntansi yang terdapat dalam laporan keuangan.

TSR diperoleh dari Bloomberg TR (return harian total berdasarkan harga saham yang belum disesuaikan, dengan asumsi bahwa dividen diinvestasikan kembali). Biaya ekuitas atau cost of equity (COE) dihitung secara harian berdasarkan hari perdagangan (saham) perusahaan (Bloomberg). Risk free rate (RFR) didasarkan pada peringkat surat utang pemerintah dari berbagai negara (Bloomberg).

Levered Beta dihitung berdasarkan rasio utang dan modal (debt equity ratio) historis rata-rata perusahaan (market value of equity) dan besaran pajak (diambil dari KPMG’s Corporate and Indirect Tax Rate Survey 2008). Sementara itu, market risk premium dalam penghitungan ini adalah 5%, berdasarkan riset Stern Stewart & Co. Adapun Indeks Risiko Bisnis (Unlevered Beta) berdasarkan penghitungan Stern Stewart & Co. untuk industri tertentu.

COE disesuaikan dengan inflasi masing-masing negara. Informasi tentang inflasi diperoleh terutama dari Bloomberg dan website bank sentral, sedangkan data kapitalisasi pasar diperoleh dari Bloomberg.

WAI™ diakumulasi selama lima tahun dan dikonversi ke dalam mata uang masing-masing negara dengan menggunakan tingkat nilai tukar historis dari periode terakhir (Bloomberg).

Sementara itu, RWA™ dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

RWA = (TSR – Peer Average TSR) * Market Capitalization Beginning of the Day


di mana TSR = Total Shareholder Return Daily

Penghitungan ini hanya berdasarkan data pasar, RWA™ juga tidak memerlukan akses ke seluruh isi laporan keuangan perusahaan, dan mengabaikan pengecualian akuntansi yang terdapat dalam laporan keuangan.

TSR diperoleh dari Bloomberg TR (return harian total berdasarkan harga saham yang belum disesuaikan, dengan asumsi bahwa dividen diinvestasikan kembali). Rata-rata TSR dari perusahaan sejenis dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang dari TSR (berdasarkan kapitalisasi pasar) dari kelompok perusahaan sejenis yang telah dipilih sebelumnya. Untuk pemeringkatan Asia Tenggara, kumpulan perusahaan sejenis ini dikelompokkan berdasarkan industri tertentu.

Pemeringkatan ini berdasarkan pengetahuan umum, analisis, dan pemahaman tentang nilai, serta isu-isu tata kelola perusahaan yang dimiliki Stern Stewart & Co. Semua estimasi dan pendapat didasarkan atas pertimbangan dan penilaian kami pada saat tanggal pemeringkatan dan mungkin dapat berubah tanpa pemberitahuan sebelumnya. Tidak ada jaminan dan tidak ada tanggung jawab yang harus dibebankan kepada Stern Stewart & Co. atas kerugian yang disebabkan oleh penggunaan informasi, pendapat, rekomendasi, atau kesimpulan apa pun yang terdapat dalam pemeringkatan ini. Pemeringkatan ini hanya ditujukan kepada pihak yang berkepentingan, dan oleh sebab itu, tidak boleh direproduksi (baik secara keseluruhan maupun sebagian) kepada pihak lainnya tanpa izin tertulis sebelumnya dari Stern Stewart & Co.


Martin Schwarz, VP Stern Stewart International.


URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=9395

Tidak ada komentar:

Posting Komentar