Jumat, 10 Juli 2009

WAI dan RWA faktor Penilaian Bisnis Top ASEAN

Strategi Mendongkrak WAI dan RWA
Kamis, 25 Juni 2009
Oleh : Eva Martha Rahayu

Metode WAI dan RWA menjadi acuan investor untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam meningkatkan kekayaan pemegang saham. Lantas, apa yang mesti dilakukan perusahaan agar memperoleh angka WAI dan RWA yang bagus?

Sejak 15 Juni 2009, Direktur Keuangan PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. (PTBA) sibuk road show ke Singapura, Hong Kong dan New York untuk menemui para investor asing. Tujuannya, agar investor mendapatkan penjelasan langsung dari manajemen. Pengumuman di koran saja tidak cukup, karena informasinya tidak sejelas bila bertemu face to face dengan direksi. “Upaya yang kami lakukan agar tetap dipercaya investor adalah transparansi dan road show,” ujar Presdir PTBA, Sukrisno, sembari menjelaskan komposisi saham PTBA sebesar 65% dikuasai pemerintah dan 35% publik. Dari 35% saham publik itu, sebesar 14%-20% dikendalikan oleh investor asing yang jumlahnya fluktuatif sesuai dengan mekanisme pasar.

Bagi Sukrisno, kepercayaan investor sangatlah mutlak. Sebab, jika investor tidak percaya, mana mungkin harga saham perusahaan pertambangan itu diapresiasi dengan baik oleh investor. Buktinya, saat krisis global mulai menerpa tahun 2008, harga saham PTBA terjun bebas di angka Rp 3.850. Tak lama berselang, seiring perbaikan ekonomi, harga sahamnya naik menjadi Rp 4.000-an. Hebatnya, kini saham PTBA melesat menjadi Rp 13.350.

Hal yang sama juga dilakukan manajeman PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. “Semenjak 2007, dalam setahun bisa belasan kali kami melakukan non-deal road show mengunjungi stakeholder kami,” ujar Hendi P. Santoso, Presdir PGN. Di samping itu, setiap semester secara rutin mereka mengunjungi Eropa, Jepang, Australia untuk memberikan informasi perkembangan terbaru kinerja saham PGN dan apa yang hendak dilakukan mendatang.

Tentu bukan alasan kepercayaan investor dan kondisi eksternal saja yang menyelamatkan “nasib” PTBA. “Kami juga serius melakukan efisiensi operasional,” ucap Sukrisno menambahkan. Ada tiga tindakan efisiensi yang dilakukan. Pertama, penghematan harga pokok produksi (HPP) dan stripping ratio. Penekanan HPP akan mengatrol margin yang ujung-ujungnya mencetak laba. Sementara makin tinggi stripping ratio, makin mahal biaya yang dikeluarkan, sehingga harus ditekan. Kedua, membuat sistem yang memungkinkan jarak angkut lebih pendek. Ketiga, continuous mining dengan tidak tergantung pada jarak angkut menggunakan truk, tetapi bisa alternatif kendaraan lain yang lebih efisien. Hasilnya? Tidak sia-sia, revenue tahun 2008 tercatat Rp 7,2 trilun dan laba Rp 1,7 triliun. Jumlah itu naik tajam dibanding periode yang sama tahun 2007 dengan pendapatan Rp 4,2 triliun dan laba Rp 726,2 miliar.

Keberhasilan PTBA mengukir lonjakan pendapatan dan laba yang signifikan tahun buku 2008 tersebut mampu mengantarkan BUMN ini masuk jajaran tiga besar emiten dalam daftar SWA100 hasil survei Stern Stewart & Co. Peringkat menggunakan pendekatan Wealth-Added Index (WAI), yang juga dicantumkan angka Relative Wealth-Added (RWA)-nya. PTBA meraih WAI Rp 5 triliun dan RWA Rp 27,36 triliun.

Seperti yang kita ketahui metode WAI adalah metrik yang digunakan untuk mengukur kekayaan yang diciptakan atau dihancurkan perusahaan untuk pemegang sahamnya. Dan kekayaan akan tercipta bila return yang dihasilkan melebihi dari cost of equity. Sementara itu, RWA untuk mengukur bagaimana kinerja perusahaan dibanding peer (perusahaan sejenis) di sektornya. Pendekatan ini membandingkan kinerja harga saham suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan kinerja rata-rata peer grup itu, yang memperhitungkan pula penerbitan saham baru dan tingkat risiko finansial. Singkatnya, WAI untuk mengukur kinerja jangka panjang, sedangkan RWA mengukur kinerja jangka pendek.

Sebelum lebih jauh membahas bagaimana meningkatkan WAI dan RWA agar bagus, ada baiknya kita pahami dulu kondisi apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Erik Stern, President International Stern Stewart & Co. Management Consultants, kondisi dasar yang diperlukan untuk meningkatkan kekayaan pemegang saham, antara lain, pertama, pengertian yang mantap bagaimana pasar menilai bisnis. Kedua, sistem manajemen yang mengarahkan keputusan (berdasarkan perilaku pasar) tentang pengalokasian dan penanganan SDM di suatu organisasi. Ketiga, struktur insentif yang membuat manajer berpikir dan bertindak seperti pemilik perusahaan. Keempat, komitmen bagi peningkatan yang berkesinambungan ketimbang sekadar sasaran jangka pendek.

Besar-kecilnya nilai WAI dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal berasal dari luar perusahaan, misalnya kondisi makroekonomi Indonesia, ekonomi global, atau pasar internasional. Adapun faktor internal ditentukan oleh kinerja dan kondisi di dalam perusahaan itu sendiri.

Sebagai contoh faktor eksternal, gara-gara dampak krisis global 2008, perekonomian Indonesia menurun dibanding kondisi tahun 2007. Dengan harapan ekonomi Indonesia akan membaik beberapa tahun ke depan, Erik memperkirakan angka pertumbuhannya 6%-7%, bahkan bisa mencapai 8%. Nah, andai harapan itu terwujud, pencapaian angka WAI juga bakal sangat tinggi. Contoh lain, diungkapkan Erik, tentang pengaruh harga komoditas di pasar internasional. Tahun lalu tren harga komoditas cenderung melandai, sehingga beberapa perusahaan yang berbasis komoditas melemah kinerjanya. Akibatnya, hasil pemeringkatan SWA100 tahun 2009 menunjukkan penuruan level perusahaan-perusahaan itu karena pencapaian WAI-nya juga rendah. “Sebenarnya hal ini tidak berarti buruk. Hanya saja, ini mungkin merupakan dampak penurunan harga komoditas dunia beberapa waktu lalu,” ia mengungkapkan. Begitu pun dampak jatuhnya pasar modal tahun 2008 berakibat pada negatifnya WAI mayoritas emiten.

Untuk faktor internal terkait dengan apa saja yang dilakukan di dalam perusahaan untuk mendongkrak WAI. Lalu, apa yang mesti dilakukan perusahaan guna meningkatkan WAI yang ciamik? Menurut Erik, mula-mula yang mesti dicapai perusahaan adalah merebut kepercayaan investor dulu. Lihatlah kasus kebangkrutan Lehman Brothers, General Electric, General Motors yang salah satu penyebabnya: kehilangan kepercayaan investor. Sementara itu, investor hanya mau menginvestasikan modalnya di perusahaan yang benar-benar mereka percayai. Sebagai contoh, BCA yang dalam peringkat SWA100 tahun ini menempati peringkat teratas atas pencapaian WAI Rp 14,83 triliun dan RWA Rp 50,78 triliun karena lebih dipercaya pemodal. Tentu saja kepercayaan itu bukan tanpa sebab. “Saya kira BCA telah menjalankan bisnisnya dengan sangat baik dalam beberapa periode terakhir,” ujar Erik.

Jika telah berhasil merebut trust investor, langkah berikutnya yang mesti dilakukan perusahaan adalah meningkatkan manajemen pengelolaan perusahaan. BCA bisa menjadi yang terbaik lantaran dikelola dengan sangat baik, sehingga bisnis inti berjalan baik pula sebagaimana bank terbaik di Malaysia (Public Bank Bhd.).

Apabila perusahaan sudah dikelola dengan tepat, tentunya mampu menghasilkan profit bagus. Nah, ketika telah mengantongi profit, perusahaan tidak boleh mengabaikan risiko. Maklum, biasanya bank jika memiliki keuntungan oke, lanjut Erik, seolah-olah melupakan risiko. Dalam pandangan Erik, BCA dan Public Bank Bhd. memberikan kredit dengan memperhitungkan risiko yang sangat prudent.

Tahap berikutnya, perusahaan not make a stupid decision. Justru, di saat krisis perusahaan dituntut lebih kreatif dalam mengambil kesempatan dan kuat bertahan. Untuk itu, Erik menyarankan, nantinya BCA harus mampu menemukan lini-lini bisnis potensial dan bekerja sama dengan partner dari dalam atau luar negeri.

Hanya itu? Tidak. WAI memang dipengaruhi oleh size perusahaan. Karena itu, bagi perusahaan kecil, diperlukan waktu beberapa tahun lagi untuk bisa meraih angka WAI yang tinggi. Ini terkait dengan skala yang besar. “Saya percaya, masih banyak perusahaan yang dapat sukses di Indonesia. Tapi sayang, di sini masih banyak perusahaan besar yang memiliki hubungan spesial dengan pemerintah dan kurang inovatif,” tutur Erik mengkritik. Lihatlah, banyak sekali perusahaan yang menghabiskan duit gila-gilaan cuma untuk brand building, riset dan pengembangan, peningkatan SDM dan sebagainya. Padahal, masalahnya di Indonesia selama ini orientasi perusahaan yang sering masih terlalu jangka pendek.

Setelah size berangsur membesar, perusahaan tidak boleh cepat berpuas diri. Ironisnya, banyak perusahaan Indonesia yang karakternya cepat puas. Dengan demikian, perusahaan harusnya lebih terpacu untuk terus berbenah dan maju. Sadar akan hal itu, PGN melakukan revitalisasi operasional untuk pengembangan bisnisnya. “Kami sadar harus melakukan terobosan,“ kata Hendi. Terobosan yang dimaksud adalah rotasi seluruh kegiatan manajemen perusahaan, mulai dari level GM sampai kepala divisi. Selain itu, PGN pun lebih fokus menggarap segmentasi pasar melalui divisi korporat dan berbagai wilayah (ritel dan rumah tangga). Tak lupa, PGN melakukan efisiensi operasional dan menekan capital expenditure atau belanja modal. Hasilnya, tahun 2008 PGN meraih WAI Rp 5,55 triliun dan RWA Rp 31,79 triliun atau posisi kedua setelah BCA.

Tidak kalah penting, bagaimana meningkatkan jiwa entrepreneurship di lingkungan perusahaan. Wajarlah, karena jiwa wirausaha di Indonesia masih sangat minim dibanding negara-negara lain.

Untuk perusahaan yang berbasis komoditas, Erik menyarankan supaya memberi nilai tambah atas komoditas yang dieskpor. Contoh di komoditas pertanian yang menjadi keunggulan Indonesia, perlu dibenahi value chain-nya.

Bila langkah-langkah untuk mencapai WAI jempolan sudah diketahui, lalu bagaimana cara untuk mendapatkan RWA yang bagus pula? Praktis, tak ada bedanya cara yang ditempuh untuk mencapai WAI dan RWA tinggi. Hanya saja, melalui pengukuran RWA, kita dapat mengetahui kualitas manajemen, produktivitas dan sebagainya yang relatif terhadap peer grup. RWA bermanfaat pula bagi para manajer aset perusahaan, penanam modal, analis saham dan anggota lainnya dari komunitas investasi untuk menilai kinerja relatif perusahaan. Singkatnya, untuk mengetahui siapakah yang terbaik di industri tersebut, maka dapat diketahui dari angka RWA tadi.

Yang jelas, sebuah perusahaan yang mempunyai economic value-added (EVA) sangat bagus, berarti sangat profitable dan sukses, maka mereka dapat menjadi yang terbaik di industrinya. Jika mereka menjadi yang terbaik di industrinya, tentu akan memiliki angka RWA positif. Apabila perusahaan berhasil memperoleh angka RWA bagus secara kontinu, pada akhirnya perlahan tapi pasti tentu akan memiliki angka WAI yang tinggi pula.


Reportase: Eddy Dwinanto Iskandar, Herning Banirestu, Kristiana Anissa, Rias Andriati
Riset: Rachmanto Aris


URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=9390

Tidak ada komentar:

Posting Komentar