Kamis, 10 Desember 2009

Mendag 'Ditelanjangi' DPR Gara-Gara FTA


Selasa, 17/11/2009 08:28 WIB
Mendag 'Ditelanjangi' DPR Gara-Gara FTA
Suhendra - detikFinance


Foto: Depdag

Jakarta - Suara-suara keberatan anggota DPR terhadap keputusan-keputusan yang telah diambil mengenai kerjasama perdagangan internasional khususnya soal Free Trade Agreement (FTA) terus bermunculan.

Dalam acara rapat dengar pendapat (RDP) antara Departemen Perdagangan dengan Komisi VI DPRI RI di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Seninn malam (16/11/2009) banyak anggota DPR yang mempertanyakan perundingan FTA yang dilakukan oleh pemerintah khususnya dialamatkan kepada Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Anggota Komisi VI dari Fraksi PKS Mukhamad Misbakhun mengatakan sampai saat ini ia menilai Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kurang berkomitmen dalam penyelesaian RUU perdagangan terkait payung hukum perjanjian perdagangan internasional khususnya FTA.

Hal yang senada pun keluar dari mulut anggota DPR lainnya yaitu Lili A. yang mempertanyakan RUU perdagangan yang sudah 5 tahun berjalan RUU belum selesai juga.

"Harusnya ibu malu pakai stadblad 38 (aturan Belanda), karena tidak ada payung hukum yang jelas itu. Sering kali kebijakan perdagangan internasional itu improvisasi lebih pada mendag," tegas Misbakhun.

Misbakhun menambahkan dalam setiap perundingan FTA selama ini, dinilainya tidak ada transparansi dari pemerintah. Padahal kata dia, dalam setiap proses FTA seharusnya dibuat naskah penelitian yang independen dan bisa dipublikasikan kepada pemangku kepentingan soal kelayakannya.

"Stakeholder seperti Kadin memang diajak bertemu tapi hanya formalitas, undangan mendadak dan sangat terbatas sehingga mereka tidk bisa siapkan masukannya," ketusnya.

Dikatakannya, secara kelembagaan dalam setiap perundingan FTA akan melibatkan departemen perdagangan, departemen pertanian, departemen perindustrian, departemen keuangan dan departemen luar negeri. Namun kata dia dalam prakteknya ujung tombak perundingan ada di departemen perdagangan.

"Keputusan tetap di depdag, nasib Indonesia di depdag itu cuma di tangan segelintir orang di depdag tanpa pengawasan dari DPR. FTA ASEAN Australia- New Zealand itu kok tidak perlu persetujuan DPR, Thailand saja meminta persetujuan DPR," sergahnya.

Ia mengatakan masalah besar akan muncul ketika nantinya kesepakatan bilateral Australia dan New Zealand dengan Indonesia telah dibuka terutama untuk pasar produk pertanian dan peternakan. Kalau ini terjadi maka peternak lokal akan terpukul, kalah bersaing yang bisa menimbulkan pengangguran.

Sedangkan penerapan bea masuk 0% untuk produk-produk Indonesia seperti sepatu, garmen, tekstil justru sia-sia karena tanpa 0% pun, lanjut dia, produk Indonesia sudah bisa bersaing di dua negara tadi.

"Mohon didalami agar Indonesia tidak hanya jadi pasar," serunya.

Misbakhun juga mengkritik soal peran aktif Indonesia dalam forum organisasi perdagangan dunia (WTO), yang diibaratkan sebagai sebuah persekongkolan global tanpa memikirkan perlindungan pasar dalam negeri dari serbuan produk impor.


(hen/qom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar