Kamis, 10 Desember 2009

DPR Desak SBY Negosiasi Ulang FTA China

Kamis, 10/12/2009 20:02 WIB
DPR Desak SBY Negosiasi Ulang FTA China
Wahyu Daniel - detikFinance


Foto: dok.detikFinance

Jakarta - Komisi VI DPR meminta Presiden SBY melakukan renegosiasi ulang perjanjian kerjasama perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Area ) dan menunda pemberlakuan ratifikasi perjanjian tersebut.

Demikian disampaikan oleh Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto dalam siaran pers yang diterima detikFinance , Kamis (10/12/2009).

"Kami meminta Presiden menunda pemberlakuan ratifikasi perjanjian itu, terutama bagi sektor-sektor yang terkait perdagangan bebas FTA ASEAN-China," tuturnya.

Permintaan ini sudah disampaikan kepada Presiden melalui surat bernomor TU.001/0021?DPR-RI/XII/2009 tanggal 3 Desember 2009.

"Surat sudah kami sampaikan. Kalau tidak, industri dalam negeri akan hancur," tandas Airlangga.

Menurutnya, masalah FTA ini adalah masalah serius, karena jika tidak memperhatikan daya saing industri dalam negeri, maka industri akan makin terpuruk.

Kemudian, Komisi VI telah mengkaji dan menemukan kemungkinan akan hancurnya industri dalam negeri bila FTA ini diberlakukan.

"Ini bukan soal siap atau tidak siap menjalankan FTA, namun pemerintah harus melihat lebih detil tentang daya saing, kapasitas, keseimbangan hulu dan hilir, serta kebijakan makro industri lainnya yang belum siap," jelasnya.

Adapun 11 sektor industri yang belum siap dalam penerapan FTA ASEAN-China ini adalah:

1. Tekstil dan produk tekstil
2. Makanan dan minuman
3. Petrokimia
4. Alat-alat dan Hasil Pertanian
5. Alas kaki
6. Sintetik Fibre
7. Elektronik (Kabel, peralatan listrik)
8. Industri Permesinan
9. Jasa Enginering dan sektor-sektor lain yang terkena dampak
10. Besi dan baja
11. Industri komponen manufaktur otomotif
(dnl/dnl)

FTA ASEAN-China 3 Pekan Lagi, RI Masih Ribut Tidak Siap


Senin, 07/12/2009 19:30 WIB
FTA ASEAN-China 3 Pekan Lagi, RI Masih Ribut Tidak Siap
Suhendra - detikFinance


Foto: dok.detikFinance

Jakarta - Sekitar kurang lebih 3 pekan lagi pelaksanaan perdagangan bebas atau ASEAN China Free Trade Agreement (AC-FTA) maupun AFTA (ASEAN) pada 1 Januari 2010, namun Indonesia masih sibuk dengan ketidaksiapan.

Bahkan dalam acara rapat dengar pendapat antara dunia usaha dengan Menteri Perindustrian bersama Departemen Perdagangan hari ini di kantor Departemen
Perindustrian, jumlah sektor industri yang menyatakan meminta penundaan perdagangan bebas semakin bertambah.

Setidaknya ada 14 sektor yaitu tekstil, baja, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, kosmetik, aluminium, elektronika, petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan kendaraan bermotor.

Padahal sebelumnya Menteri Perindustrian MS Hidayat menyatakan ada kurang lebih 10 sektor industri yang menyatakan untuk dilakukan penundaan FTA ASEAN China.

"Saya tadinya cuma mengundang 20 orang, yang hadir 100 orang, ini artinya persoalannya serius, kira-kira dari 10 asosiasi, sebagian besar meminta penundaan dengan reasonnya masing-masing," kata MS Hidayat di kantornya, Jakarta, Senin (7/12/2009).

Sedangkan untuk perdagangan bebas AFTA setidaknya dari 928 pos tarif yang sebelumnya disepakati untuk dihapuskan tarif bea masuknya pada 1 Januari 2010, ada 784 pos tarif CEPT yang diminta untuk ditunda oleh beberapa sektor seperti kimia hulu dan hilir, logam, makanan minuman, mesin, tekstil. Elekttonika, dan lain-lain.

"Nanti akan direspon, mereka saya minta bikin reason -nya, dan mereka sudah mengemukakan, ada yang reasonable , plastik hilir mereka minta kalau di hulunya dilindungi, di hilirnya juga dilindungi, sebab mereka juga yang dirugikan, karena itu yang diperlukan harmonisasi kebijakan," kata Hidayat.

Namun hingga acara selesai pemecahan masalah terhadap usulan-usulan tersebut masih sebatas ditampung belum ada keputusan yang signifikan. Departemen

Perindustrian pun belum secara rinci dan resmi menyatakan sektor apa saja yang akan diajukan penundaannya. Sementara pihak Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan yang diwakili Badan kebijakan Fiskal (BKF) yang turut hadir belum berani memutuskan langkah-langkah nyata terhadap usulan-usulan tersebut.

"Besok saya melapor ke rapat menko perekonomian, kemudian berkonsultasi dengan presiden, setelah diputuskan, negosiator kita bicara dengan ASEAN," kata Hidayat.

Seperti diketahui dalam Common Effective Preferential Tariff (CEPT) AFTA diatur mengenai jadwal penurunan tarif secara bertahap yaitu:

1. Inclusion list (IL) yang terdiri dari 8626 pos tarif

ASEAN 6 yaitu pada tahun 2003 60% pos tarif bea masuknya 0%, tahun 2007 80% pos tarfi bea masuknya 0% dan mulai tahun 2010 sebanyak 100% pos tarif tingkat bea masuknya 0%

ASEAN plus (Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam) Untuk Kamboja yaitu pada tahun 2010 60% total pos tarif bea masuk 0%, tahun 2015 100% pos tarif tingkat bea masuknya 0%.

Untuk Loas dan Myanmar tahun 2008 60% pos tarif bea masuknya 0%, tahun 2012 80% pos tarif bea masuknya 0% dan tahun 2015 100% pos tarif bea masuk 0%.

Untuk Vietnam tahun 2006 60% pos tarif bea masuknya 0%, tahun 2010 80% pos tarif bea masuk 0% dan tahun 2015 100% pos tarfi bea masuknya 0%.

2. Non Inclusion list

Mencakup Temporary Exception list /TEL sebanyak 16 pos tarif, sensitive list yang mencakup sensitive list yaitu seperti beras, highly sensitive list yaitu seperti gula dan general exception list sebanyak 96 pos tarif.

Sedangkan dalam konteks ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA) telah ditandatangani pada November 2002, disepakati mengenai penurunan atau penghapusan tarif bea masuk terbagi dalam tiga tahap yaitu:

Tahap pertama yaitu early harvest programme (EHP) yaitu penurunan atau penghapusan bea masuk seperti produk pertanian, kelautan perikanan, makanan minuman dan lain-lain, yang dilakukan secara bertahap sejak 1 Januari 2004 hingga 0% pada 1 Januari 2006.

Tahap Kedua, yaitu Normal Track 1 (NT 1) dan NT 2. Khusus untuk NT 1 yaitu penurunan bea masuk sejak 20 Juli 2005 hingga menjadi 0% pada 2010. Sedangkan untuk NT 2 diterapkan hingga 0% pada tahun 2012.

Tahap ketiga adalah sensitive track (ST) dan Highly Sensitive Track (HST), yaitu untuk produk kategori ST penurunan hingga 0%-20% dilakukan mulai 2012 sampai dengan 2017 dan selanjutnya menjadi 0%-5% pada tahun 2018. Untuk kategori HST sampai dengan 0%-50% mulai dilakukan pada tahun 2015.
(hen/dnl)

FTA ASEAN-China Dorong Industri Beralih Jadi Pedagang

Kamis, 10/12/2009 18:30 WIB
FTA ASEAN-China Dorong Industri Beralih Jadi Pedagang
Suhendra - detikFinance


Foto: dok.detikFinance

Jakarta - Pelaksanaan perdagangan bebas ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA) diperkirakan justru akan menguntungkan para industriawan lokal yang pragmatis alias mudah beralih jadi pedagang daripada jadi industriawan.

Beberapa sektor industri yang berpeluang terjadinya pergeseran antara lain seperti sektor paku, elektronik makanan dan minuman dan lain-lain.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Komite Tetap Bidang Distribusi dan Keagenan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Natsir Mansyur dalam acara rapat dengar pendapat dunia usaha soal FTA di kantor Kadin, Jakarta, Kamis (10/12/2009).

"Dengan adanya FTA orang yang biasa berdagang akan menjadi lebih happy . FTA ini membahayakan sekali ini pemerintah harus tahu ini," kata Natsir.

Dikatakannya selama 5 tahun terakhir masyarakat Indonesia sudah dimanjakan dengan produk China yang terkenal murah meriah. Dengan adanya FTA dimana bea masuk dikenakan 0% barang-barang China akan lebih murah.

"Di sektor paku sudah terjadi, sektor elektronik paling gampang, mamin pun begitu," katanya.

Ia mengatakan ditengah krisis saat ini memungkinkan dunia usaha industri yang pragmatis lebih memilih menutup pabriknya dan beralih jadi pengusaha pedagang karena produk-produk impor lebih murah. Sedangkan keuntungan sudah diperoleh tanpa harus bersusah payah mengelola industri.

"Kalau ini terus terjadi akan semakin minus neraca perdagangan kita," katanya.

Sementara itu Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan dan Distribusi Kadin Benny Soetrisno mengakui adanya kemungkinan hal itu dimana pelaku usaha bermacam-macam dari banyak sektor.

"Semua sektor ada saja, kalau pedagang itu jika untung dia dagang kalau nggak untung dia tidur. Kalau industri ada atau tidak ada yang beli tetap produksi," katanya.

(hen/dnl)

ASEAN-India Teken FTA

Kamis, 13/08/2009 18:40 WIB
ASEAN-India Teken FTA
Nurul Qomariyah - detikFinance


Foto: Reuters

Bangkok - ASEAN dan India akhirnya menandatangani kesepakatan perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA), setelah 6 tahun melakukan negosiasi. FTA India-ASEAN ini diharapkan menaikkan nilai perdagangan antara kedua kawasan menjadi US$ 60 miliar pada 2016.

Namun kesepakatan ini tidak termasuk FTA untuk software dan teknologi informasi. Perjanjian ini akan efektif berlaku mulai 1 Januari 2010.

Seperti dikutip dari Reuters, Kamis (13/8/2009), FTA ini akan mengeliminasi tarif untuk produk-produk termasuk elektronik, kimia, tekstil dan permesinan yang mencakup lebih dari 80% dari total perdagangan barang-barang antara dua kawasan.

Tarif untuk produk-produk yang masuk dalam FTA ini akan dikurangi menjadi nol persen antara 2013 hingga 2016. Tarif untuk produk-produk yang sensitif akan dikurangi menjadi 5% pada 2016, sementara tarif untuk 489 produk-produk yang sangat sensitif akan dipertahankan.

"FTA ASEAN-India akan menjadi mekanisme yang penting untuk negara-negara anggota ASEAN untuk memperkuat dan mengembangkan perdagangan dan investasi dengan India. Kesepakatan ini datang pada saat yang tepat di saat krisis ekonomi global saat ini,' ujar Menteri Perdagangan Thailand Porntiva Nakasai dalam pernyataannya.

Total perdagangan antara ASEAN dan India pada tahun lalu mencapai US$ 47 miliar, dan diharapkan bisa meningkat menjadi US$ 60 miliar dengan adanya FTA.

ASEAN beranggotakan Brunai Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. (qom/dnl)

FTA ASEAN-India Diteken, RI Tetap Lindungi Sejumlah Produk


Jumat, 14/08/2009 10:27 WIB
FTA ASEAN-India Diteken, RI Tetap Lindungi Sejumlah Produk
Suhendra - detikFinance


Foto: Reuters

Jakarta - Perjanjian Perdagangan Bebas atau Free Trade Agreement (FTA) ASEAN dan India sudah diteken. Namun Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan, Indonesia tetap melindungi sejumlah produk-produk yang sangat sensitif.

Mendag menjelaskan, dari kepentingan defensif yang selama ini dikhawatirkan oleh banyak kalangan di dalam negeri, Indonesia hanya memberikan komitmen pembukaan akses pasar komoditi impor asal India sebesar 42,5% hingga tahun 2013 dari total pos tarif nasional.

Sebagian besar lainnya akan berada dalam kelompok sensitive track yang umumnya hanya diturunkan tarifnya menjadi 5% dengan batas waktu terakhir tahun 2019.

"Hal tersebut berarti akan ada cukup waktu untuk melakukan langkah-langkah antisipatif yang diperlukan," tegas Mari dalam siaran persnya, Jumat (14/8/2009).

Mendag menambahkan, posisi defensif Indonesia tersebut ditujukan untuk kelompok produk yang cukup sensitif antara lain tekstil produk tekstil (TPT), besi dan baja, mesin, otomotif, produk aneka, kimia dan produk kimia serta beberapa komoditi pertanian seperti daging, produk perikanan dan buah-buahan.

FTA ASEAN-India diteken bersamaan dengan pertemuan ke-41 Tingkat Menteri Ekonomi ASEAN (AEM). Penandatanganan persetujuan ini memiliki arti yang sangat penting bagi ASEAN selain karena telah melalui proses negosiasi yang cukup memakan waktu dan tenaga sejak tahun 2005.

Perundingan ini juga memperhatikan posisi India yang selama ini dikenal sebagai salah satu pasar dengan struktur tarif yang tinggi, rata-rata tingkat tarif bea masuk impornya diatas 30%-40% dan bahkan banyak komoditi yang memiliki tarif 80-90%.

Mendag menambahkan, bagi Indonesia sebagai negara anggota ASEAN, persetujuan ini akan melengkapi berbagai kerjasama FTA yang selama ini telah berjalan sejak beberapa tahun lalu. Target yang diharapkan dengan terbentuknya ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) adalah meningkatnya hubungan perdagangan ASEAN dan India secara signifikan dengan saling menguntungkan.

"Khusus bagi Indonesia dan India, keduanya telah sepakat untuk mentargetkan nilai perdagangan bilateral kedua negara agar dapat menembus angka 2 digit atau US$ 10 miliar pada tahun 2010," ungkap Mendag.

Selain itu, AIFTA diharapkan memberikan peluang lebih besar bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke India, karena bila melihat realisasi dagang pada tahun 2008 yang telah mencapai US$ 9,57 miliar dengan posisi surplus di pihak kita sebesar US$ 4,6 miliar, artinya target US$ 10 miliar pada tahun 2010 sudah
tercapai pada tahun 2008.

Dari kepentingan ofensif perdagangan Indonesia, kesepakatan yang dicapai dalam AIFTA memberikan arti yang strategis bagi peningkatan ekspor berbagai komoditi unggulan di tanah air. Hal ini tercermin dari komitmen India yang akan menurunkan dan menghapuskan sebagian besar tarifnya (±85% dari total pos tarifnya) dalam kurun waktu 2010-2019.

Sebagai gambaran, akses pasar ekspor ke India akan meningkat secara tajam dengan adanya program penghapusan tarif atas 70,18% dari total pos tarifnya pada tahun 2013 dan akan terus meningkat menjadi 79,35% pada tahun 2016.

Menurut Mendag, AIFTA akan membuka peluang bagi peningkatan ekspor Indonesia khususnya untuk komoditi-komoditi seperti sayuran, buah-buahan, lemak dan minyak nabati, coklat, pupuk, bahan samak dan celup, plastik, produk karet, produk kulit, kertas, tekstil dan produk tekstil, batubara, biji tembaga, kaca, perkakas, mesin, otomotif dan lainlain.

"Bagi Indonesia, AIFTA memiliki arti penting karena India bersedia untuk menurunkan tarif bea masuk komoditi CPO dan RPO yang selama ini tidak pernah berhasil disepakati untuk diturunkan baik dalam kerangka perundingan bilateral ataupun regional," tambahnya.

Dengan adanya AIFTA maka bea masuk produk yang cukup sensitif di India tersebut akan diturunkan secara bertahap menjadi 37,5% dan 45% pada tahun 2019 (saat ini bound tariffs India untuk kedua komoditi ini adalah 80% dan 90%). Demikian pula untuk batubara, yang merupakan komoditi ekspor utama kedua Indonesia ke pasar India, Indonesia akan menikmati tarif 0% mulai 1 Januari 2013.

(qom/dnl)

Menperin: FTA Harus Ditunda


Selasa, 18/08/2009 11:33 WIB
Menperin: FTA Harus Ditunda
Suhendra - detikFinance


Foto: dok.detikFinance

Jakarta - Menteri Perindustrian Fahmi Idris menegaskan pelaksanaan perdagangan bebas (Free Trade Agreement /FTA) ASEAN dengan negara-negara lainnya harus ditunda, untuk melindungi industri di dalam negeri terutama untuk sektor yang daya saingnya masih lemah.

Hal ini disampaikan oleh Fahmi Idris di sela-sela acara pameran Jacraft di kantor Departemen Perindustrian, Jakarta, Selasa (18/8/2009).

Fahmi mengatakan FTA yang paling mengancam industri di dalam negeri adalah perjanjian FTA ASEAN dengan China yang mulai berlaku pada tahun 2010 nanti, khususnya untuk sektor manufaktur seperti tekstil dan garmen, karena China sangat unggul di sektor tersebut.

"Ditunda, bisa saja. Ini kan negeri kita, kenapa harus takut," tegas Fahmi.

Ia menjelaskan FTA dengan China menjadi ancaman karena produk kedua negara relatif sama. Fahmi mencontohkan dalam kasus perdagangan bebas dengan Jepang melalui Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) relatif lebih aman karena bentuk kerjasama saling menutupi kebutuhan dua negara misalnya sektor otomotif.

"Beda dengan Jepang, yang kebetulan kita belum bisa membuatnya. Kalau diserbu dengan produk otomotif kita tidak terlalu terpengaruh," katanya.

Fahmi menjelaskan produk China yang menjadi ancaman dalam FTA antara lain produk tekstil dan permesinan, China sangat unggul dalam dua sektor tersebut. Maklum, pada dua sektor tersebut China menguasai industri dari hulu ke hilir, sedangkan Indonesia belum terintegrasi karena untuk kapasnya saja Indonesia harus impor.

"Kalau China sama dengan produk kita, matilah kita, perlu kajian mendalam misalnya tekstil," jelasnya.

Untuk itu ia mengharapkan perlu ada perundingan dengan negara-negara yang sudah ada kesepakatan untuk FTA termasuk dengan China untuk melakukan penundaan.

"Mau pilih FTA atau membunuh industri kita," tegasnya.

(hen/dnl)

3 Sektor Manufaktur Terancam FTA ASEAN-China


Selasa, 18/08/2009 12:20 WIB
3 Sektor Manufaktur Terancam FTA ASEAN-China
Suhendra - detikFinance


(foto: dok detikFinance)

Jakarta - Departemen Perindustrian mencatat, setidaknya ada tiga sektor yang perlu mendapat perlindungan khusus dari imbas perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) ASEAN dengan China di 2010 nanti. Tiga sektor itu antara lain tekstil-garmen, permesinan dan baja.

Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan daya saing industri ketiga sektor tersebut dengan China sangat tertinggal. Mengingat pihak China sangat kompetitif dengan kemampuan memiliki penguasaan industri hulu-hilir di tiga sektor tersebut.

"Pertama sektor tekstil, kedua adalah permesinan, kalau sektor baja tidak terlalu lah, so so lah," kata Fahmi saat ditemui di sela-sela acara Jacraft, di kantor Depperin, Selasa (18/8/2009).

Meskipun ia mengakui persaingan dengan produk-produk China disektor mana pun sangat berat, karena selama ini negeri tirai bambu itu sangat maju diberbagai bidang industri.

Ia mencontohkan produk China yang sangat mengancam dalam perdagangan bebas nanti di 2010 adalah tekstil dan produk tekstil (TPT). China selama ini sangat menguasai sektor hulu-hilir di TPT karena memiliki industri terintegrasi dari bahan baku sampai produk jadi.

"Kalau China dari hulu dan hilir punya. Tingkat persaingan sangat tergantung dari rangkaian hulu dan hilirnya. Kita kapasnya saja masih impor," jelasnya.

Untuk kesekian kalinya, Fahmi mengharapkan semua proses kesepakatan perdagangan bebas dengan China sebaiknya ditunda. Sehingga perlu perundingan kembali dengan China, karena ia menilai itu sah-sah saja tidak akan terkena penalti atau kompensasi lainnya.

"Kalau dengan China kita inferior, terutama untuk tekstil," imbuhnya.

(hen/dro)

Produk Furnitur RI Terancam FTA dengan China


Selasa, 18/08/2009 17:29 WIB
Produk Furnitur RI Terancam FTA dengan China
Suhendra - detikFinance


Produk Mebel RI (dok detikFinance)

Jakarta - Penerapan Free Trade Agreement (FTA) dengan China untuk produk mebel pada 2010 diperkirakan akan memangkas komposisi pasar permebelan lokal di pasar dalam negeri dari 80% menjadi 55%.

Produk mebel Indonesia berbasis panel akan sulit bersaing dengan produk mebel panel asal China yang terkenal murah.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Sae Tanangga Karim saat ditemui di kantor Departemen Perdagangan, Selasa (18/8/2009).

Ia mengatakan dampak perdagangan bebas dengan China dari sisi ekspor tidak akan berpengaruh besar bagi produk permebelan Indonesia, namun yang dikhawatirkan adalah dampak impornya akan sangat terasa jika FTA dengan China di lakukan pada 2010.

"Akan ada kenaikan impor, pengusaha dalam negeri yang berorientasi lokal akan kena dampaknya karena didominasi asing karena barangnya murah. Sekarang penguasaan produk kita di didalam negeri masih 80 % kalau FTA masuk maka bisa 55-60% saja," terangnya.

Karim memperkirakan konsumsi mebel di dalam negeri per tahunnya rata-rata mencapai US$ 1,5 miliar. Dari nilai sebesar itu produk-produk mebel berbasis kayu ukiran klasik seperti Jepara akan bisa bertahan, namun untuk jenis mebel seperti panel akan sangat tergerus oleh produk China.

"Sekarang ini harga produk mebel China lebih murah 20%, kalau ada FTA maka bea masuknya 0%, jadi bisa lebih murah lagi. Itu yang mengerikan," tandasnya.

Harga yang lebih murah hingga 20% bagi produk China tersebut padahal sudah dikenakan bea masuk sebesar 15%. Sedangkan jika FTA berlaku maka produk tersebut dikenakan 0%, maka sudah dapat dipastikan berapa besar penurunan harganya.

"Kalau tahun 2010 pajaknya 0%, sedangkan sekarang 15% saja sudah murah, kalau 0% bisa mati semua. Mungkin 2012 itu, atau 2-3 kedepan baru bisa dilaksanakan," ucapnya.

Ia mengharapkan agar pemerintah mempertimbangkan penundaan selama 3 tahun bagi produk mebel dalam perdagangan bebas China atau mulai berlaku pada 2012 dari jadwal yang ditetapkan 2010. Hal ini penting untuk persiapan bagi industri dalam negeri untuk memperluas pangsa pasarnya.

"Kalau tahun 2010 industri kita belum siap," jelas Karim.



(hen/qom)

Menperin Melunak Soal FTA China


Senin, 24/08/2009 12:48 WIB
Menperin Melunak Soal FTA China
Suhendra - detikFinance


Foto: dok Depperin

Jakarta - Menperin Fahmi Idris selama ini selalu menyatakan penolakannya atas Perjanjian Perdagangan Bebas atau Free Trade Agreement (FTA) antara ASEAN-China karena dinilai akan merugikan industri Indonesia. Namun sikap Fahmi kini tak lagi segalak dulu.

"FTA pada dasarnya untuk mendukung sektor industri dan perdagangan antara Indonesia dan China," jelas Fahmi saat menyambut kunjungan delegasi provinsi Henan, di kantor Depperin, Jakarta, Senin (24/8/2009).

Ia juga menjelaskan, industri China saat ini sudah sangat siap menghadapi perdagangan bebas FTA ASEAN-China. Sementara Indonesia sendiri belum siap menghadapinya.

"Memang pihak RRT sangat siap sekali, dibeberapa sektor dibandingkan China, jauh sekali bedanya. Komoditi tekstil saat ini RRT produsen tekstil bukan hanya terbesar dan efisien tapi kompetitif harganya. Hulu hilir di RRT sangat lengkap sekali," katanya.

Dikatakan Fahmi, China memiliki bahan baku untuk industri tekstil yaitu kapas dan permesinan tekstil sehingga kemampuan memproduksi tekstil China sangat tinggi sekali. Sedangkan Indonesia saat ini hanya baru melakukan langkah-langkah peremajaan mesin tekstil.

"Memang siapa pun untuk komoditas bidang tekstil dengan RRT sulit sekali (bersaing) termasuk Indonesia," katanya.

Namun kata dia dengan adanya forum kerjasama kedua belah pihak, diharapkan bisa mengetahui kelemahan dan kemajuan masing-masing pihak, sehingga FTA tidak mengurangi potensi masing negara dalam perdagangan.

Padahal sebelumnya Fahmi meminta agar FTA ASEAN-China ditunda demi melindungi industri dalam negeri. Menurutnya, FTA dengan China menjadi ancaman karena produk kedua negara relatif sama. Fahmi mencontohkan dalam kasus perdagangan bebas dengan Jepang melalui Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) relatif lebih aman karena bentuk kerjasama saling menutupi kebutuhan dua negara misalnya sektor otomotif.
(hen/qom)

FTA ASEAN-China Bisa Ditunda

Senin, 24/08/2009 13:30 WIB
FTA ASEAN-China Bisa Ditunda
Suhendra - detikFinance


Foto: dok.detikFinance

Jakarta - Pihak pemerintah China memberi sinyal terhadap kemungkinan penundaan pelaksanaan penundaan perdagangan bebas (Free Tree Agreement ) antara ASEAN dengan China. Hal ini mematahkan dugaan sebelumnya kalau pihak China sangat bersikukuh untuk tetap melaksanakan perdagangan bebas 1 Januari 2010.

Hal ini disampaikan oleh Duta Besar Indonesia Untuk China Sudrajat saat ditemui di sela-sela acara kunjungan delegasi Provinsi Henan di Departemen Perindustrian, Senin (24/8/2009).

"Bagi China terserah negara ASEAN, kalau di-reschedule nggak ada masalah, mereka fleksibel saja," kata Sudrajat.

Meskipun Sudrajat mengakui sampai saat ini belum ada pernyataan resmi dari pihak pemerintah China, itu hanya sinyal yang ia tangkap sebagai pihak kedutaan di China. Sudrajat mengatakan pihak China berpegang pada prinsip bahwa kesepakatan itu harus berdasarkan dari dua belah pihak.

"Dari pemerintah (China) belum menyatakan itu tapi mereka sangat fleksibel," terangnya.

Meskipun ia mengatakan FTA ASEAN-China mulai efektif pada Januari 2010 nanti, pihak China telah menyambut dan sangat siap melaksanakan perdagangan bebas.

Mengenai wacana penundaan, menurutnya hal itu perlu dibicarakan kembali antara 10 negara ASEAN dan China sendiri, mengingat dari anggota-anggota ASEAN memiliki masalah dan kondisi ekonomi yang berbeda-beda.

"Harus melihat FTA dengan China ASEAN ini harus dibicarakan 11 negara, apakah ada kecenderungan tetap 2010, ataukah ada konsilidasi, untuk reschedule ini yang belum tuntas," katanya.

Namun kembali lagi ia menegaskan, secara total dari kesiapan China sudah sangat siap sekali menghadapi perdagangan tersebut.

Ia mengutarakan jika memang ada keinginan dari 10 negara ASEAN atau dari salah satu dari anggota ASEAN untuk meminta reschedule maka perlu dibicarakan bersama-sama.

"Sampai sekarang ini belum ada pikiran-pikiran untuk menunda atau pun tetap," ujarnya.

(hen/dnl)

2 Sektor Manufaktur Ajukan Penundaan FTA ASEAN-Cina

Kamis, 17/09/2009 08:56 WIB
2 Sektor Manufaktur Ajukan Penundaan FTA ASEAN-Cina
Suhendra - detikFinance


Foto: dok.detikFinance

Jakarta - Setidaknya ada dua asosiasi di bidang manufaktur yang mengajukan penundaan pemberlakuan perdagangan bebas Cina-ASEAN kepada Menteri Perindustrian yaitu asosiasi tekstil dan asosiasi baja.

Kedua sektor itu meminta penundaan pelaksanaan perdagangan bebas dari tahap normal track yang berlaku awal 2010 menjadi tahap sensitive track hingga 2017.

"Mereka sudah mengajukan ini kepada Menteri Perindustrian," kata Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Depperin Ansari Bukhari saat ditemui digedung DPR RI, Rabu malam (16/9/2009.

Menurut Ansari beberapa sektor tersebut mengajukan beberapa produk tertentu untuk diundur menjadi sensitive track dari sebelumnya normal track untuk produk baja, tekstil dan lain-lain. Secara teori pengunduran ini mungkin namun perlu negosiasi ulang dengan pihak Cina dan anggota ASEAN lainnya.

Ia menambahkan sektor-setor tersebut secara prinsip saat ini saja sebelum dikenakan tarof 0% sudah mengalami imbas negatif dari serbuan produk China yang kompetitif.

Selain itu, kata Ansari,selain dua sektor tadi ada beberapa sektor yang mengajukan hal serupa seperti kimia dan elektronika. Pengajuan pengunduran ini tidak terlepas dari ketidaksiapan sektor manufaktur lokal dalam menghadapi perdagangan bebas Cina-ASEAN.

"Untuk baja dan tekstil itu ditempat saya, elektronik dan kimia juga," katanya.

Seperti diketahui dalam ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) telah ditandatangani pada November 2002, disepakati mengenai penurunan atau penghapusan tarif bea masuk terbagi dalam tiga tahap yaitu:

Tahap pertama yaitu early harvest programme (EHP) yaitu penurunan atau penghapusan bea masuk seperti produk pertanian, kelautan perikanan, makanan minuman dan lain-lain, yang dilakukan secara bertahap sejak 1 Januari 2004 hingga 0% pada 1 Januari 2006.

Tahap Kedua, yaitu Normal Track 1 (NT 1) dan NT 2. Khusus untuk NT 1 yaitu penurunan bea masuk hingga menjadi 0% sejak 20 Juli 2005 hingga menjadi 2010. Sedangkan untuk NT 2 diterapkan hingga 0% pada tahun 2012.

Tahap ketiga adalah sensitive track (ST) dan Highly Sensitive Track (HST), yaitu untuk produk kategori ST penurunan hingga 0%-20% dilakukan mulai 2012 sampai dengan 2017 dan selanjutnya menjadi 0%-5% pada tahun 2018. Untuk kategori HST sampai dengan 0%-50% mulai dilakukan pada tahun 2015.
(hen/dnl)

Industri Plastik RI Juga Terancam FTA-ASEAN


Selasa, 27/10/2009 15:38 WIB
Industri Plastik RI Juga Terancam FTA-ASEAN
Suhendra - detikFinance


Ilustrasi (Ist)

Jakarta - Sektor usaha industri plastik tergabung dalam Asosiasi Industri Olefin aromatik dan plastik Indonesia (INAplas) mendesak pemerintah untuk menunda pelaksanaan Free Trade Agreement (FTA) ASEAN termasuk dengan mitra negara seperti China, India dan lainnya.

INAplas mengharapkan agar pemerintah menunda pelaksanaan FTA-ASEAN hingga 2015 dari seharusnya pada Januari 2010.

"Memang permintaan seperti ini, di sektor lain juga melakukan permintaan penundaan. Dari kami terutama dari hilir (barang jadi) akan terpengaruh, hasilnya permintaan ke kita (plastik hulu) juga akan terpengaruh," kata Wakil Ketua Umum INAplas Edi Riva'i dalam acara konferensi pers di Jakarta, Selasa (27/10/2009).

Edi menjelaskan alasan penundaan ini tidak terlepas dampak negatif yang akan terjadi jika FTA-ASEAN dilakukan. Berdasarkan kajian lembaga riset LETMI-ITB, lanjut dia, disumpulkan bahwa penerapan perdagangan bebas akan menghambat pertumbuhan laju industri plastik termasuk sektor hulu.

"Kalau implementasi ditunda, maka kita bisa mendapat kesempatan untuk meningkatkan kapasitas hingga 2015," katanya.

Ia mengatakan FTA tersebut juga akan menghantam sektor industri plastik secara keseluruhan dari sisi hulu dan hilir. Dikatakannya FTA-ASEAN dengan China memberi peluang besar bagi terancamnya sektor hilir plastik (barang jadi) produk dalam oleh produk China karena bea masuknya 0%.

"Cepat atau lambat akan banyak industri yang terpaksa mengurangi produksi atau menutup pabriknya karena kalah bersaing dengan produk dari luar," katanya.

Ia mengatakan kondisi industri khususnya untuk sektor hilir seperti pabrik karung, kantong plastik, BOPP dan IPP, peralatan rumah tangga, kantong makanan dan air minum dalam kemasan memiliki tingkat pemanfaatan kapasitas produksi dikisaran 80% sampai 100%.

Jika FTA terjadi pada tahun depan utilisasi tersebut dikhawatirkan akan turun menjadi 58% karena membanjirnya produk impor termasuk dari negara ASEAN dan China.

Tambah Kapasitas Produksi Untuk Atasi Defisit

Dalam menghadapi pemenuhan kebutuhan dalam negeri, pelaku usaha produsen plastik hulu (polypropylene/bahan baku plastik) akan melakukan peningkatan kapasitas produksi yang ditargetkan pada tahun 2011 akan beroperasi. Saat ini utilisasinya sudah mencapai 90%, artinya sudah mendekati titik maksimum produksi.

Saat ini produksi sektor hulu produk polypropylene (PP) mencapai 850. 000 ton, dengan kebutuhan dalam negeri mencapai 860.000 ton sehingga kondisinya masih defisit.

Rencana tambahan kapasitas produksi berasal dari rencana ekspansi tambahan 180.000 ton oleh PT Tri Polyta dan 100.000 ton oleh PT Polytama mulai pertengahan tahun 2010 nanti.



(hen/qom)

DPR: Kesepakatan FTA Masih Tergantung Intuisi Menteri


Rabu, 11/11/2009 16:54 WIB
DPR: Kesepakatan FTA Masih Tergantung Intuisi Menteri
Suhendra - detikFinance


Foto: dok.detikFinance

Jakarta - Beberapa kesepakatan perjanjian perdagangan internasional termasuk perdagangan bebas (free trade agreement /FTA) telah disepakati oleh pemerintah. Namun DPR menilai kesepakatan tersebut belum memiliki dasar hukum bahkan yang celakanya lagi setiap, keputusan atau pertimbangan masih mengacu pada intuisi Menteri (Menteri Perdagangan).

"Perjanjian perdagangan yang kita lakukan dengan negara manapun nggak ada payung hukumnya. Hanya tergantung intuisi menterinya sendiri," kata anggota fraksi PKS Mukhamad Misbakhun dalam acara rapat dengar pendapat Kadin-Komisi VI, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (11/11/2009).

Ia berharap sebaiknya pemerintah harus mengkaji benar-benar dalam menerapkan FTA dengan negara lain. Misalnya penjajakan FTA dengan Australia dan Selandia Baru, harus ada keseimbangan timbal balik yang sepadan dan saling menguntungkan.

"Jangan kita hanya dijadikan daerah tujuan (pasar) saja," katanya.

Ia menyarankan untuk menghadapi masalah ini, perlu adanya percepatan realisasi RUU Perdagangan. Nantinya RUU ini akan menjadi panduan dan dasar dalam menentukan kebijakan perdagangan termasuk perdagangan bebas dengan negara lain.

"Sehingga bisa menjadi landasan kebijakan perdagangan," katanya.

Sementara itu Wakil Ketua Kadin Bidang Perdagangan Benny Soetrisno di tempat yang sama mengatakan mendesak pemerintah untuk mereview ulang semua perjanjian free trade agreement (FTA) dan menahan pembentukan FTA baru sebelum mendapatkan formula yang pas, agar kesepakatan tersebut tidak merugikan perdagangan dan industri dalam negeri.

"Selain itu perlu adanya percepatan SNI wajib untuk produk-produk manufaktur yang disepakati oleh produsen dengan mengadopsi standar negara lain, ini sebagai technical barrier dalam menghadapi FTA," ucap Benny.

Seperti diketahui Indonesia telah menyepakati perjanjian perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN seperti dengan China, India. Bahkan dalam kerangka bilateral Indonesia telah mengimplementasikan perdagangan bebas dengan Jepang melalui Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA).

(hen/dnl)

APEC Sepakat Tolak Proteksi Dagang


Minggu, 15/11/2009 14:30 WIB
APEC Sepakat Tolak Proteksi Dagang
Luhur Hertanto - detikFinance


(Ilustrasi foto: dok detikFinance)

Singapura - Pemimpin APEC sepakat membentuk jalur yang saling terhubung antar negara. Hal ini guna mempertahankan perdagangan bebas dan menolak segala bentuk proteksi yang diberlakukan suatu negara.

Demikian disampaikan Perdana Menteri Singapira Lee Hsien Loong dalam pertemuan para pemimpin APEC dari 21 negara di Retreat Session Istana Singapura Sabtu (14/11/2009).

Sidang Economic Leaders’ Meeting (AELM) berlangsung selama 2 hari, dan dipimpin oleh PM Lee Hsien Loong. Sidang berlangsung disela-sela acara APEC 2009 dengan tema "Sustaining Growth, Connecting the Region".

Agenda sidang, fokus pada pembahasan koneksitas antar negara-negara anggota APEC. Hasil sidang menyepakati, agar terus dilakukan usaha secara politik atas konvensi Doha, dalam perundingan WTO pada akhir 2010

Ada kebutuhan yang mendesak agar mempertahankan perdagangan bebas. Pemimpin APEC ini juga menegaskan komitmen mereka untuk menolak segala bentuk proteksi yang diberlakukan satu negara.

Kesepakatan juga terjadi pada visi jangka panjang dari Free Trade Area on the Asia-Pacific (FTAAP), yaitu membangun blok-blok bangunan dan saling terhubung, melalui jalur antar negara. Para pemimpin APEC setuju akan hal ini, guna merealisasikan visi dan tema mereka, "Connecting the Region".

Melalui persetujuan Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement (TPP), jalur ini menjadi sangat potensial dan menjadi fokus beberapa pemimpin negara.

"Langkah yang signifikan seperti halnya TPP sangat penting guna menjaga momentum dalam usaha kami mewujudkan visi FTAAP," kata PM Singapura, Lee Lee Hsien Loong.

Dia menjelaskan, bagaimanapun juga, peranan politik menjadi penting sebelum perundingan perluasan wilayah FTAAP diluncurkan.

Isu pedagangan bebas menjadi pembicaraan yang hangat antar pemimpin APEC. Mereka bersepakat bahwa selain perdagangan tradisional dan investasi, ada isu lain yang menjadi fokus yaitu tumbuhnya reformasi regulasi dan konektivitas guna menghubungkan pasar.

Beberapa pemimpin menyarankan, agar koneksi regional terjadi, maka perlu peningkatan transportasi lintas batas (darat, udara ataupun laut). Fokus lain dalam reformasi struktural, menurut mereka, dibutuhkan peningkatan produktivitas dan meningkatkan daya saing ekonomi kawasan.

PM Lee dalam sambutannya, mengaku bahwa tanda-tanda pemulihan global mulai terlihat, namun risiko atas pengangguran,tingkat konsumsi rendah, dan kebijakan proteksi, tetap saja bisa muncul pada ekonomi dunia.

Kedepan, prioritas anggota APEC adalah mendukung pemulihan ekonomi dunia, menguatkan dasar ekonomi, dan meneruskan stabilitas pertumbuhan yang berkelanjutan.

Para pemimpin mencatat, usul yang dituangkan tersebut dapat memangkas biaya ekonomi di kawasan APEC sebesaaar 25% pada 2015. untuk itulah, usul menjadi sangat penting dan perlu.

Beberapa pemimpin APEC berbicara tentang pentingnya menjembatani kesenjangan pembangunan. Ke depan, APEC harus memperluas agenda untuk memenuhi tantangan baru seperti menutup kesenjangan teknologi informasi dan meningkatkan ketahanan pangan dan manusia.
(dro/dro)

Mendag 'Ditelanjangi' DPR Gara-Gara FTA


Selasa, 17/11/2009 08:28 WIB
Mendag 'Ditelanjangi' DPR Gara-Gara FTA
Suhendra - detikFinance


Foto: Depdag

Jakarta - Suara-suara keberatan anggota DPR terhadap keputusan-keputusan yang telah diambil mengenai kerjasama perdagangan internasional khususnya soal Free Trade Agreement (FTA) terus bermunculan.

Dalam acara rapat dengar pendapat (RDP) antara Departemen Perdagangan dengan Komisi VI DPRI RI di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Seninn malam (16/11/2009) banyak anggota DPR yang mempertanyakan perundingan FTA yang dilakukan oleh pemerintah khususnya dialamatkan kepada Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Anggota Komisi VI dari Fraksi PKS Mukhamad Misbakhun mengatakan sampai saat ini ia menilai Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kurang berkomitmen dalam penyelesaian RUU perdagangan terkait payung hukum perjanjian perdagangan internasional khususnya FTA.

Hal yang senada pun keluar dari mulut anggota DPR lainnya yaitu Lili A. yang mempertanyakan RUU perdagangan yang sudah 5 tahun berjalan RUU belum selesai juga.

"Harusnya ibu malu pakai stadblad 38 (aturan Belanda), karena tidak ada payung hukum yang jelas itu. Sering kali kebijakan perdagangan internasional itu improvisasi lebih pada mendag," tegas Misbakhun.

Misbakhun menambahkan dalam setiap perundingan FTA selama ini, dinilainya tidak ada transparansi dari pemerintah. Padahal kata dia, dalam setiap proses FTA seharusnya dibuat naskah penelitian yang independen dan bisa dipublikasikan kepada pemangku kepentingan soal kelayakannya.

"Stakeholder seperti Kadin memang diajak bertemu tapi hanya formalitas, undangan mendadak dan sangat terbatas sehingga mereka tidk bisa siapkan masukannya," ketusnya.

Dikatakannya, secara kelembagaan dalam setiap perundingan FTA akan melibatkan departemen perdagangan, departemen pertanian, departemen perindustrian, departemen keuangan dan departemen luar negeri. Namun kata dia dalam prakteknya ujung tombak perundingan ada di departemen perdagangan.

"Keputusan tetap di depdag, nasib Indonesia di depdag itu cuma di tangan segelintir orang di depdag tanpa pengawasan dari DPR. FTA ASEAN Australia- New Zealand itu kok tidak perlu persetujuan DPR, Thailand saja meminta persetujuan DPR," sergahnya.

Ia mengatakan masalah besar akan muncul ketika nantinya kesepakatan bilateral Australia dan New Zealand dengan Indonesia telah dibuka terutama untuk pasar produk pertanian dan peternakan. Kalau ini terjadi maka peternak lokal akan terpukul, kalah bersaing yang bisa menimbulkan pengangguran.

Sedangkan penerapan bea masuk 0% untuk produk-produk Indonesia seperti sepatu, garmen, tekstil justru sia-sia karena tanpa 0% pun, lanjut dia, produk Indonesia sudah bisa bersaing di dua negara tadi.

"Mohon didalami agar Indonesia tidak hanya jadi pasar," serunya.

Misbakhun juga mengkritik soal peran aktif Indonesia dalam forum organisasi perdagangan dunia (WTO), yang diibaratkan sebagai sebuah persekongkolan global tanpa memikirkan perlindungan pasar dalam negeri dari serbuan produk impor.


(hen/qom)

FTA Indonesia-China, Berpotensi Hancurkan Industri Nasional


Selasa, 17/11/2009 17:40 WIB
FTA Indonesia-China, Berpotensi Hancurkan Industri Nasional
Wahyu Daniel - detikFinance


Foto: dok.detikFinance

Jakarta - Penerapan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Area /FTA) antara Indonesia dengan China bisa menghancurkan industri nasional dan memunculkan PHK secara besar-besaran.

Hal ini disampaikan oleh Executive Committe Indonesian Iron and Steel Industry Association Purwono Widodo dalam siaran pers yang diterima detikFinance , Selasa (17/11/2009).

"Karena kebijakan yang membebaskan biaya masuk impor menjadi 0% tersebut merupakan berkah bagi China untuk melakukan kolonialisme pasar di Indonesia. Produk-produk China yang terkenal murah adalah saingan terbesar dan terberat bagi industri baja di Indonesia. Sebab itu, bisa diperkirakan akan banyak industri baja yang gulung tikar bila kerjasama tersebut diterapkan," tuturnya.

Bukan hanya sektor industri baja saja yang mengharapkan adanya penundaan penerapan FTA Asean–China ini, tetapi juga sektor industri lainnya seperti tekstil, makanan/minuman, furniture, dan lain-lain.

Purwono menjelaskan, adanya ketidaksiapan sektor industri baja dalam menghadapi penerapan FTA Asean–China ini antara lain karena adanya ketidaksiapan perangkat Counter Measures seperti AD, CVD dan safeguard dan juga karena adanya faktor-faktor eksternal lainnya yang kurang mendukung keberadaan industri baja Nasional.

"Yang diharapkan dari sektor industri baja Nasional adalah agar dalam FTA Asean – China, sektor industri baja dimasukkan dalam kategori HSL (Highly Sensitive List ), yang mana penerapannya dimulai pada tahun 2018," ujarnya.

Menurut Purwono, apabila penerapan FTA Asean–China tetap dipaksakan, maka akan berakibat membanjirnya produk impor dari China yang tentunya akan menghancurkan industri baja Nasional dan memunculkan PHK secara besar-besaran.

Kesiapan industri domestik merupakan acuan utama dalam pembukaan kanal perdagangan bebas. Apabila acuan tersebut diabaikan, maka kenaikan angka pengangguran dan matinya industri dalam negeri pun akan terjadi.

Sementara itu, Ekonom FEUI Faisal Basri mengatakan, kebijakan pemerintah dalam mengatur pola industrialisasi, utamanya harus berorientasi pada market nasional.

Pola-pola tersebut sudah diterapkan Negara-negara Asia Timur melalui substitusi impor dengan proteksionismenya. Aliran ekspor kemudian menjadi konsen selanjutnya ketika membicarakan masalah aktivitas perdagangan internasionalnya.

(dnl/qom)

Pidato SBY Soal Kesiapan FTA Indonesia Mengecewakan


Rabu, 18/11/2009 08:21 WIB
Pidato SBY Soal Kesiapan FTA Indonesia Mengecewakan
Whery Enggo Prayogi - detikFinance



Jakarta - Di dalam forum KTT APEC di Singapura beberapa hari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan kesiapan Indonesia dalam program Free Trade Area (FTA). Pernyataan tersebut dinilai tidak tepat karena Indonesia belum pantas untuk ikut dalam kesepatan FTA, selama jalur ekonomi di negeri ini belum terintegrasi.

"Saya tidak ada masalah, dengan free trade. Yang saya kecewakan adalah pidato Presiden di Singapura yang mengaku siap dengan free trade, padahal ekonomi kita belum terintegrasi," kata pengamat ekonomi Faisal Basri dalam diskusi Economic Outlook 2010 di hotel Ritz Calton SCBD, Jakarta Selasa (17/11/2009) malam.

FTA, menurut Faisal, sangat bermanfaat bagi suatu negara karena terjadi proses integrasi jalur ekonomi di negara-negara kawasan. Namun infrastruktur Indonesia yang buruk, menyebabakan pengitagrasian ekonomi dalam negeripun belum tercapai.

"Ekonomi kita justru sudah terintegrasi dengan China, Shanghai, ataupun California. Sedangkan untuk Jakarta ke Berastagi ataupun ke Gorontalo sama sekali belum," jelas Faisal.

Faisal mencontohkan, beras yang diangkut dari Berastagi susut 10%, karena perjalanannya menuju Jakarta. Harga jeruk China dinilai lebih murah ketimbang jeruk lokal. Harga pasar untuk jeruk China Rp 6 ribu, sedangkan jeruk lokal mencapai Rp 12 ribu, padahal buah sama-sama diperdagangkan di Jakarta.

"Kondisi tersebutkan tidak masuk akal. Secara jarak, tentu berbeda. Harusnya jeruk lokal jauh lebih murah, jeruk Berastagi harga pokoknya hanya Rp 3 ribu, masak dijual lebih tinggi dari jeruk China," jelasnya.

Ditambahkan Faisal, integrasi ekonomi dengan daerah di luar pulau juga belum terjadi. Waktu angkut dari California menuju pulau Jawa lebih cepat, dibandingkan yang berasal dari Gorontalo.

"Ini kan ngga masuk akal. Mau free trade gimana, kalau kondisinya seperti ini," tanya Faisal.

Solusi yang paling memungkinkan adalah, dengan memperbaiki sistem transportasi laut. Dengan mendirikan pelabuhan yang berkualitas, adalah cara yang efektif untuk mengitegrasikan ekonomi dalam negeri.

"Perbaiki sistem transportasi laut. Efektifkan jalur angkut yang ada di pelabuhan saat ini. Selama ini terlalu banyak otoritas di sana, hingga terjadi ekonomi biaya tinggi," terang Faisal.

(wep/qom)

Anggota DPR Usulkan Hak Angket FTA ASEAN-China Suhendra - detikFinance

Rabu, 25/11/2009 15:10 WIB
Anggota DPR Usulkan Hak Angket FTA ASEAN-China
Suhendra - detikFinance



Jakarta - Sejumlah anggota DPR dari Komisi VI DPR RI berniat menggulirkan hak angket kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Agreement/ACFTA). Mereka menilai industri dalam negeri belum siap, namun pemerintah sudah berani menandatangani ACFTA.

Anggota DPR Komisi VI DPR RI Nasril Bahar mengatakan jika memang memungkinkan perlu dilakukan hak angket terkait ACFTA. Menurutnya hal itu perlu, terkait adanya penjelasan dari pemerintah soal pertanggungjawaban menteri perdagangan mengenai kesiapan Indonesia menyongsong ACFTA, padahal menurutnya industri dalam negeri belum siap.

"Akan dicetuskan nanti di 2010, kita minta pertangungjawaban Bu Menteri Perdagangan, kalau perlu dicopot," katanya usai acara raker Depperin dengan komisi VI, DPR-RI, Rabu (25/11/2009).

Dikatakannya, jika memang nanti angket bergulir, maka yang perlu patut dipertanyakan adalah masalah keputusan pemerintah dalam memposisikan industri dalam negeri sudah siap menyambut FTA.

Soal usulan pencopotan menteri perdagangan diakuinya tidak akan menyelesaikan masalah, namun kata dia, setidaknya itu sebagai pertanggungjawaban.

"Soal ready, perlu dibertanggungjawabkan, kalau pelaku usaha tutup dan gulung tikar karena FTA bagaimana. Sesungguhnya kita belum siap. Ini (angket) usulan Faisal Basri yang akan disambut oleh komisi VI," katanya.

Sementara itu anggota komisi VI lainnya Airlangga Hartarto mengatakan dalam mekanisme angket harus memiliki landasan yang kuat termasuk soal kemungkinan pelanggaran undang-undang. Sehingga adanya keinginan angket FTA dinilai tidak memiliki dasar yang kuat karena, ACFTA itu sendiri sudah memiliki dasar agreement yang jelas.

"Angket itu kan sekarang hanya Century, kalau angket perlu ada pelanggaran undang-undang, FTA ini kan sudah ada kesepakatan agreement-nya," katanya.

Airlangga justru mengatakan masalah FTA dengan China sebaiknya pemerintah melakukan review ulang kembali terhadap sektor-sektor industri apa saja yang belum dan sudah siap. Semuanya hal itu akan mengacu pada hasil masukan dari dunia usaha dan asosiasi melalui departemen perindustrian.

Dirjen Industri Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka (ILMTA) Ansari Bukhari mengatakan bahwa saat ini pemerintah telah menerima permintaan dari berbagai dunia usaha seperti baja, tekstil, petrokimia dan elektonik untuk dilakukan pengkajian atau review pelaksanaan ACFTA.

Pelaksanaa ACFTA itu sendiri sebenarnya sudah berlaku sejak 2005 lalu, namun khusus untuk 1 Januari tahun 2010 nanti akan mengacu pada perdagangan bebas berbasis produk manufaktur.

"Bukan tidak siap, tidak keluar, mereka minta di-review, bisa jadwalnya," tambah Ansari.


(hen/qom)

6 Sektor Industri Berpeluang Dapat Penundaan FTA China


Rabu, 25/11/2009 16:06 WIB
6 Sektor Industri Berpeluang Dapat Penundaan FTA China
Suhendra - detikFinance


Foto: dok.detikFinance

Jakarta - Menteri Perindustrian MS Hidayat menyatakan siap melakukan renegosiasi terkait pelaksanaan perdagangan bebas ASEAN dengan China (ASEAN-China Free Trade Agreemen t/ACFTA) untuk sektor industri yang belum siap menghadapinya.

Setidaknya sudah ada 6 sektor industri dalam negeri yang menyatakan ketidaksiapannya dan akan mengajukan penundaan, diantaranya tekstil, mainan, baja, petro kimia, alas kaki, dan makanan.

"Banyak sektor merasa belum siap, saya akan renegosiasikannya dengan cara beberapa asosiasi yang merasa belum siap akan saya pertemukan dengan Depdag. Yaitu mencoba melakukan keberatan secara tertulis dan resmi kepada ASEAN," katanya di Gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta, Rabu (25/11/2009).

Hidayat menjelaskan jika negara-negara ASEAN menyepakati usulan Indonesia tersebut maka hal itu akan disampaikan oleh pemerintah China untuk melakukan perpanjangan/penundaan bagi sektor-sektor tadi karena sejatinya dalam ACFTA pembebasan tarif 0% berlaku bagi produk manufaktur dilakukan pada 1 Januari 2010.

"Asosiasi yang menyatakan keberatan, mereka harus memberikan alasan yang bisa diterima karena minta diperpanjang. Saya sudah membicarakan hal ini dengan Pak Gusmardi (Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Depdag)," jelasnya.

Dikatakannya dari sektor-sektor tadi yang mengajukan ketidaksiapan, maka harus melakukan pembenahan daya saing jika pengajuannya diterima atau dikecualikan jadwalnya dari proses renegosiasi yang sedang diusahakan pemerintah terkait ACFTA.

"Kalau toh sampai diberi, tapi daya saing itu harus ditingkatkan, setelah itu tidak ada perpanjagan, kita menghadapi persaingan global yang telah berlangsung," tegas Hidayat.

Dijelaskannya jika skenario penundaan atau perpanjangan jadwal bagi sektor-sektor industri yang belum siap disetujui, maka bukan berarti pelaksanaan ACFTA per tanggal 1 Januari 2010 ditunda. Proses jadwalnya tidak akan mengalami perubahan, namun dikecualikan bagi sektor-sektor yang belum siap.

Indonesia Berjalan Sendirian, Peluang Bakal Berat

Sampai saat ini negara yang akan melakukan langkah renegosiasi hanyalah baru Indonesia. Kondisi ini peluangnya sangat berat karena selain melobi negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia juga harus mendapat persetujuan China.

Namun kata dia, berbagai upaya harus dilakukan termasuk memperjuangkan renegosiasi demi kepentingan nasional untuk menyelamatkan industri dalam negeri.

"Supaya anda tahu kelihatanya hanya Indonesia sendiri, kalau kita mau review kita harus mengejar daya saing, seperti teksil yang akan mengajukan Indonesia. Kalau itu kepentingan nasional saya akan coba," katanya.

(hen/dnl)

DPR Minta FTA ASEAN-China Dinegosiasikan Ulang

Senin, 30/11/2009 17:01 WIB
DPR Minta FTA ASEAN-China Dinegosiasikan Ulang
Angga Aliya ZRF - detikFinance


Jakarta - Komisi VI DPR merasa keberatan dengan pemberlakuan kawasan perdagangan bebas negara-negara ASEAN (AFTA) maupun perdagangan bebas ASEAN- China (ASEAN-China Free Trade Agreement/ACFTA) pada 1 Januari 2010.

Menurut Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima pemerintah harus melakukan negosiasi ulang terhadap perjanjian tersebut sebelumnya mulai diberlakukan.

"Kita (Komisi VI) keberatan kalau diberlakukan 1 Januari 2010. Harus ada negosiasi ulang dulu," ujarnya usai Rapat Kerja dengan Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (30/11/2009).

Ia mengatakan, pemberlakukan kedua perjanjian perdagangan bebas itu diperkirakan akan memukul 10 sektor usaha.

Menurutnya, 10 sektor itu di antaranya industri permesinan, sektor-sektor perkebunan dan pertanian, makananan dan minuman, petrokimia, manufaktur dan plastik, tekstil, alas kaki, elektronik khususnya kabel dan peralatan listrik, industri besi baja, dan jasa engineering.

Ia mengaku, saat ini pihaknya sedang membuat daftar sektor industri tersebut yang nantinya akan disampaikan kepada departemen terkait, seperti Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, dan Kementerian Negara BUMN.

"Draftnya sudah disusun, mungkin besok disampaikan begitu sidang selesai," tambah Aria.

Salah satu alasan mengapa DPR keberatan, menurut Aria, infrastruktur dan prasyarat objektif Indonesia dinilai belum memadai untuk dipakai dalam perdagangan bebas. "Selain itu, tidak ada pijakan dalam negeri yang mengharuskan Indonesia sepakat dengan perjanjian AFTA maupun ACFTA," tegasnya.

Ia menambahkan, salah satu sektor industri yang harus direnegosiasikan antara lain industri baja. Menurutnya, industri baja dalam negeri akan sangat terpukul dengan adanya perdagangan bebas tersebut.

Secara terpisah, Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar mengaku pihaknya siap untuk membicarakan kembali masalah ini dengan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Menteri Perindustrian MS Hidayat.

(ang/dnl)

Daya Saing Industri Indonesia


Kamis, 10/12/2009 18:12 WIB
Persiapan FTA ASEAN-China
Kebakaran Jenggot, Dunia Usaha Bentuk Tim Daya Saing
Suhendra - detikFinance



Jakarta - Seakan kebakaran jenggot menghadapi perdagangan bebas yang sudah di depan mata, para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) akan membentuk sebuah tim daya saing.

Tim ini nantinya akan merumuskan dimana saja kelemahan dan keunggulan daya saing industri dalam negeri.

"Kita akan bentuk tim daya saing, untuk mengkaji daya saing kita," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi, Logistik Benny Soetrisno usai pertemuan dengar pendapat persiapan FTA ASEAN-China, di Menara Kadin, Jalan HR Rasuna, Jakarta, Kamis (10/12/2009).

Ia menjelaskan dalam tim tersebut akan dirumuskan beberapa hal. Misalnya untuk energi listrik, akan dibandingkan sejauh mana kompetitif atau tidak harga listrik di Indonesia dengan negara ASEAN lainnya. Selain itu, masalah upaya tenaga kerja termasuk etos kerja dan produktivitas dan lain-lain juga akan dirumuskan.

"Kita akan kaji listrik dari sisi cost , buruh, pajak, ongkos pelabuhan, bunga kredit dan lain-lain," katanya.

Benny menjelaskan nantinya dari hasil tim itu akan dituntaskan penyelesaiannya di setiap kewenangan masing-masing pengambil keputusan. Yaitu ada hal-hal yang harus diselesaikan oleh pemerintah, dunia usaha, maupun BUMN.

"Setelah tahu, maka kita putuskan, sebenarnya kita sudah punya datanya," katanya.

Ia mencontohkan masalah biaya pelabuhan dan listrik pihak yang akan mengambil keputusan adalah BUMN. Sedangkan mengenai pajak adalah departemen keuangan yaitu pemerintah.

Mengenai persiapan negosisasi FTA ASEAN China, lanjut Benny, pihaknya telah mengumpulkan dunia usaha yang meminta penundaan untuk segera mengumpulkan matrik data-data harmonize system (HS) produk-produk yang akan ditunda.

Setidaknya sampai saat ini pihaknya telah membuat dua skenario untuk mengundur atau memajukan setiap tahapan dari normar track sampai sensitive list . (hen/epi)

‘Free Trade’ Gerus Manufaktur

09/12/2009 - 11:58

Pemberlakuan FTA Asean-China
‘Free Trade’ Gerus Manufaktur
Ahmad Munjin & Ari Purwanto

Djimanto

INILAH.COM, Jakarta – Industri manufaktur diharapkan bisa masuk exclusion list (pengecualian) pada FTA ASEAN-China yang mulai 1 Januari 2010. Jika dipaksakan, kebangkrutan mengancam.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Djimanto mengatakan barang-barang industri yang belum siap menghadapi Free Trade Area (FTA) Asean-China seharusnya dimasukkan terlebih dahulu dalam katagori exclusion list (pengecualian). Setelah itu, daya daya saingnya diusahakan ditingkatkan dan tidak diproteksi secara total.

Menurutnya, harus ada tenggang waktu tertentu untuk meningkatkan daya saing. Ia mencontohkan industri manufaktur yang membutuhkan waktu 10 tahun agar bisa terjun dalam FTA.

Karena Indonesia harus membenahi infrastruktur, listrik, pelabuhan, jalan, perhubungan, kapal-kapal, dan reformasi birokrasi,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Selasa (8/12).

Djimanto mengungkapkan hal itu mengomentari inisiatif Menteri Perindustrian, MS Hidayat yang membentuk tim kecil yang terdiri Menperin, Mendag dan Menkeu untuk membahas dispensasi Free Trade Area ASEAN-China.

Tim kecil akan dibentuk Jumat (11/12) untuk membahas persoalan tersebut. "Hasil rapat ini akan dilaporkan ke presiden untuk dibawa ke sidang kabinet, karena begitu urutannya," kata Ketua Kadin ini.

Namun sebelum dibahas di tingkat kabinet, pihaknya masih akan mempertegas alasan pelaku industri yang masih keberatan dengan pelaksanaan FTA ASEAN-China pada 1 Januari 2010.

"Sebelum rapat itu kita meminta alasan pelaku industri (yang belum siap) semacam verifikasi. Kalau dianggap reasonable (alasan cukup kuat), nanti akan dirapatkan di tingkat menteri. Saya cenderung beberapa sektor seperti baja dan tekstil diperjuangkan," jelasnya.

FTA ASEAN-China akan dimulai 1 Januari 2010 yang berarti perdagangan antar negara tanpa bea masuk. Beberapa sektor industri belum melakukan revitalisasi mesin-mesin industri. Sehingga beberapa sektor menyatakan belum siap.

Menurut Djimanto, tim kecil itu semestinya bisa mengakomodasi keluhan pihak industri yang tidak siap menghadap FTA Asean-China. Hal itu bisa dilakukan jika tim bersedia mendengarkan suara dunia usaha.

FTA bisa diberlakuakan jika daya saingnya sudah seimbang. Ukurannya adalah ritel-price (harga eceran) di pasar. Jika harga eceran sudah bisa bersaing, bisa dilepas dalam Free Trade Area.

Barang-barang yang tidak bisa bersaing dan belum siap dalam FTA adalah barang-barang rumah tangga (consumer good) seperti garmen, sepatu, elektronik, kompor, pompa air, dan alat-alat listrik lainnya. “Semuanya dalam industri manufaktur,” imbuhnya.

Menurutnya, tim kecil yang dibentuk harus bisa memastikan industri mana yang masuk katagori jangka pendek 2015, menengah pada 2018 dan exclusion list. “Manufaktur harus masuk katagori exclusion list,” tukasnya.

Jika dipaksakan, lanjut Djimanto, Indonesia akan kebanjiran barang-barang luar negeri. Pasar Indonesia akan disuplai barang-barang impor. “Akibatnya, Indonesia akan dibanjiri pengangguran yang menyebabkan meningkatnya kemiskinan,” pungkasnya. [mdr]